Tantangan Pemikiran Islam*


Menjadi seorang muslim butuh usaha, bukan hanya warisan nenek moyang, karena dalam perjalanannya mempertahankan identitas diri sebagai seorang muslim tidaklah mudah. Banyak jebakan, banyak perangkap, dan ujian dalam kita menjaga identitas berislam kita. Jebakan dan perangkap inilah yang kita kenal sebagai ghazwul fikr. Bukan hanya akhlak kita yang harus diislamkan tapi juga pemikiran kita dan ghazwul fikr bermain di ranah pemikiran ini. Seperti George W. Bush pernah berucap bahwa perang bukan hanya menurunkan pasukan namun juga menurunkan ide. Sebagaimana dalam QS.2: 120, orang-orang kafir hendak menjadikan umat Islam sebagai makmum dalam segala aspek. Inilah yang menyebabkan umat Islam sebagai”peng-amin” segala bentuk pemikiran dan gerakan mereka.

Ada beberapa startegi yang digunakan mereka untuk melucuti identitas keislaman kita yang diringkas menjadi: deislamisasi politik dan depolitisasi Islam. Deislamisasai politik muncul ke permukaan dalam bentuk krisis keilmiuan islam dimana adanya pengabsurban siapa yang berhak menjadi referensi keilmuan Islam dan dalam bentuk sekulerisasi serta liberalisasi. Sekulerisasi di Indonesia berkembang sekitar 1970-1990an sementara liberalisasi berkembang sekitar tahun 2000an. Para penganut sekulerisasi mendefinisikan sekulerisasi sebagai sesuatu yang memerdekakan manusia dari agama dan melepaskan manusia dari pemikiran-pemikiran ukhrawike pemikiran-pemikiran duniawi. Mereka sering menggembor-gemborkan tentang pemisahan antara agama dan negera bahkan mengusulkan pembubaran Depertemen Agama RI. Kampanye sekulerisasi yang mereka lakukan bukan hanya dalam dunia akademisi namun juga hingga merambah pada dunia kultural populis. Sementara inti dari liberalisme adalah kebebasan sementara tunduk pada otoritas apapun adalah bentuk dari pelanggaran atas HAM. Liberalisasi berpendapat bahwa HAM harus ditempatkan pada posisi yang tertinggi bahkan mengalahkan posisi Tuhan. Dan berbahayanya, HAM seolah-olah telah menjadi isu yang sakral sekingga mereka memiliki kunci untuk membukan gerakan-gerakan lainnya.

Seperti dalam al Qur’an, apa yang mereka lakukan tidak kenal henti, maka jika mereka tidak berhenti mengapa kita (aktivis dakwah) harus berhenti?

* Disarikan dari ceramah Dr. Syamsuddin Arif (Dosen International Islamic University Malaysia dan peneliti INSIST) dalam Sekolah Singkat Ghazwul Fikr Ramadhan di Kampus UGM 1431 H, 21 Agustus 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

25 Facts About Sofiet Isa - Edisi Revisi

Rumahku, Madrasahku

(Bukan) Aktivis Dakwah Kampus: Maulana, Maulana!