Mencari Wajah Islam Indonesia


65 tahun sudah bangsa ini dengan lantangnya mengumandangkan kemerdekaan atas koloni penjajahan. Dengan penuh percaya diri Soekarno-Hatta mewakili bangsa ini menyatakan dirinya sebagai bangsa dan negara yang bebas. Bebas menentukan nasibnya. Bebas mengambil kebijkan atas tanah dan darahnya sendiri. Dan bebas dari segala hegemoni intervensi dunia.

Kita sepakat dan harus sepakat bahwa 65 tahun bukanlah masa yang singkat. 65 tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk mencari konsep Indonesia sebagai negara bangsa yang merdeka. Cukup!

Ironi. Bukan karena bangsa ini belum masuk pada jajaran negara maju sebagaimana Jepang yang menjadi negara maju setelah luluh lantah dihajar perang dunia kedua atau China dan India yang terus menampakkan geliatnya. Bukan karena bangsa ini berada pada jajaran bawah pada indeks pembangunan manusia yang menyebabkannya sejajar dengan Vietnam yang baru merdeka pada akhir milenium kedua. Atau bukan karena bangsa ini tidak becus mengelola anggaran dananya sehingga masih didapati loss APBN di atas 30%. Bukan! Ada yang jauh lebih menyesakkan.

Ternyata bangsa ini masih belum menemukan jati diri. Sebuah dasar yang harus dimiliki oleh sebuah negara bangsa yang bebas dan merdeka. Bangsa ini belum menemukannya. Bangsa ini belum mengetahui nilai apa yang harus dibawa dan harus dibawa kemana nilai itu. Belum ada tujuan dan target yang benar-benar jelas. Hendak dibawa kemana bangsa dan negara ini, kita pun masih belum tahu. Abstrak memang bangsa ini. Pancasila yang dinilai sebagai falsafah dasarnya pun masih belum abstrak. Tidak ada definisi dan penjabaran yang jelas, apalagi cetak biru. Parah!

Ini semakin diperparah dengan tak sadarnya bangsa ini terhadap tantangan arus gobal yang deras menerpa bangsa ini. Globalisasi yang diusung oleh sebagian kaum kapital diterima oleh publik tanpa curiga, termasuk Indonesia. Secara teoritis, globalisasi menjanjikan banyak kebaikan. Namun, globalisasi hanyalah sebuah topeng. Imperialisme modern menggunakan globalisasi sebagai topengnya. Liberisme, kapitalisme, dan sekulerisme pun dengan nyamannya mengatasnamakan globalisasi untuk menanamkan pemikirannya secara paksa. Bahkan, zionisme internasional pun menggunakan globalisasi sebagai kendaraan perangnya. Tak heran jika negera dunia tiga terus menerus menjadi korban. Kesenjangan antara kaum kapital yang direpresentasikan oleh Barat dan kaum marjinal yang direpresentasikan oleh negara kelas tiga termasuk Indonesia menjadi semakin menganga lebar. Dan itu tidak disadari oleh bangsa ini.

Kondisi kritis seperti ini akhirnya disempurnakan dengan kondisi kepemimpinan bangsa yang carut marut. Pentas kepemimpinan nasional hanya diisi oleh orang-orang itu. Orang-orang yang tidak memiliki nilai keindonesiaan yang akan membawa kepemimpinanya menuju Indonesia yang lebih baik. Dan regenerasi kepemimpinan pun gagal. Kaderisasi kepemimpinan nasional hanya melahirkan orang-orang yang isi otaknya sama meskipun wajahnya berbeda. Akarnya ada dua: moral dan kapasitas. Betapa banyak yang saat ini mengisi pentas kepemimpinan namun memiliki moral yang buruk. Tek heran mengapa KKN menjadi kebobrokan yang melahirkan kebobrokan-kebobrokan selanjutnya. Kapasitas pemimpin kita pun payah untuk memimpin negeri ini. Akalnya pendek sehingga akal bangsa ini pun ikut pendek. Tidak ada narasi besar apalagi perubahan besar. Perubahan yang seharusnya terjadi sebagai efek dari kapasitas besar yang dimiliki.

Di sinilah Islam Indonesia harus memainkan sebuah simfoni perubahan. Islam Indonesia dituntut untuk memainkan peran strategisnya untuk menggerakkan itu. Namun, harus diakui secara jujur bahwa realita memang masih jauh dari idealita.

Islam Indonesia saat ini masih mencari wajahnya sebagaimana Indonesia masih sibuk mencari jati dirinya. Islam Indonesia masih belum menemukan stategi efektifnya untuk membangun negeri. Ia hanya memainkan peran-peran klasikal dan tradisional saat ini. Itu pun amat terbatas. Belum ada wacana baru yang jauh lebih mengubah ketimbang saat ini. Belum terlihat ekspansi-ekspansinya. Umat dan bangsa ini masih menanti wajah Islam Indonesia akan seperti apa ia.

Dibutuhkanlah pemikir-pemikir Islam besar yang mampu menghasilkan ide-ide besar yang namanya solusi. Solusi yang akan melahirkan perbaikan negeri. Butuh rumusan pas yang akan mangantarkan Islam Indonesia kembali memainkan peran-perang startegis. Butuh strategi dan aksi cerdas yang akan membawa Islam Indonesia menemukan kembali wajahnya yang hilang. Sekali lagi, umat dan bangsa ini masih menanti dan terus menanti.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

25 Facts About Sofiet Isa - Edisi Revisi

Rumahku, Madrasahku

(Bukan) Aktivis Dakwah Kampus: Maulana, Maulana!