Akar Sejarah Ghazwul Fikri*


Ghazwul fikri bukanlah hal yang baru. Konfrontasi antara Islam dan sekuler barat merupakan konfrontasi permanen. Karena secara konseptual dan praktik di lapangan, Islam dan sekulerisme sanagtlah berbeda bahkan bertolak belakang. Sejarah sekulerisme barat begitu kompleks. Berkembang atas reaksi kekangan gereja Romawi yang sangat ketat, bahkan intoleran, dan puncaknya terjadi saat perang salib. Saat perang salib, kaum “anti gereja” ini mulai merujuk pada literatur Islam, dan mulai mangalami masa “pencerahan” untuk bangkit sehingga mulai berkembanglah gerakan sekulerisme. Walhasil, sekulerisme berkembang dengan pemisahan yang tegas antara konteks agama, dalam hal ini gereja, dengan kehidupan sehari-hari. Perjalanan sejarah yang panjang ini menyebabkan masyarakat sekuler menganggap agama hanya salah satu bidang dalam kehidupan, sementara bagi Islam, Agama adalah basis kehidupan. Inilah pokok konfrontasi dalam perdebatan peradaban Islam dan sekulerisme sehingga kita akan melihat di tahun 1700an muncul pemikiran tentang matinya Tuhan.

Ada tiga fase dalam konfrontasi antara Islam dengan peradaban di sekitarnya: konfrontasi saat awal-awal dakwahnya, saat perang salib, dan saat kolonialisasi atas umat Islam. Pada masa awal berkembangnya Islam, konfrontasi muncul atas reaksi penolakan atas sebuah gerakan baru yang bertolak belakang dengan kondisi sosial budaya masyarakat Arab saat itu. Pada masa perang Salib, kondisi umat Islam sangat terpuruk bahkan ada sebagaian kaum Muslim yang malah bergabung dengan dengan kaum salibis. Pasca perang salib, gerakan anti Islam ini melakukan analisis bahwa Islam sangat sulit dikalahkan dengan gerakan fisik semata maka mulai berkembanglah ghzwul fikr. Sementara itu, pada saat kolonialisme, isu yang dibawa bukan hanya mengenai penjajahan secara fisik, namun lebih dari itu: bagaimana kolonialisme tidak menghancurkan kaum muslimin namun mengeluarkan satu per satu umat Islam dari agama sehingga keluar menjadi muslim yang tidak bangga pada agamanya. Saat kolonialisme itu, dinamika penolakan atas Hadist Rasul mulai berkembang padahal sepanjang sejarah Islam, penolakan hadist hanya terjadi di 200 tahun awal Islam. Dikembangkan oleh para orientalis, penolakan akan hadist didasari atas pendapat bahwa hadist hanyalah persinggungan sosial seorang Muhammad sehingga tidak dapat dipakai sebagai dasar hukum Islam. Walhasil, di Indonesia sempat muncul gerakan yang mengingkari adanya hadist Nabi dan menganggap al Qur’an saja sudah cukup untuk berislam.

Saat ini juga berkembang gerakan feminisme yang berpendapat bahwa Islam mengekang kebebasan berekspresi wanita dalam Islam. Selain itu, ada juga gerakan dekonstruksi terhadap al Qur’an. Sebagaimana bibel, al Qur’an dianggap sebagai produk budaya pada masanya dan tidak dapat digunakan sebagai sumber hukum dalam Islam sehingga butuh “peremajaan”. Dan lebih parahnya, pemikiran-pemikiran ngawur ini menjadi referensi bahkan kurikulum dalam lembaga-lembaga pendidikan berbasis Islam, seperti di UIN. Dan semua ini dalam gerakan pemikiran sekuler dan liberal yang tanpa disadari telah dianut oleh sebagain dari umat Islam.

Dari sejarah yang panjang ini, ghazwul fikri lahir sebagai sebuah gerakan pemikiran sistematis yang mencoba mengacaukan konsepsi Islam sehingga kehilangan nilai spiritualismenya dan nilai substansinya.

* Disarikan dari ceramah Fathurahman Kamal, Lc, MA dalam Sekolah Singkat Ghazwul Fikr Ramadhan di Kampus UGM 1431 H


Sofiet Isa M. Setia Hati


sumber gambar: 
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh4xBmX0ebEJVoM7i4Ivk-vkVPtzNxldjIyxMiLleSEoS4zuCevxG0Y7UabAgS5pOSexfJSRDVrH_GFdDFlYJwJrCpmcjxHLxPbYly4HSp8QyNGFSxJDCVytFkDrJV3za3WKbIkb0sY01t8/s1600/fikr.jpg

Komentar

Postingan populer dari blog ini

25 Facts About Sofiet Isa - Edisi Revisi

Rumahku, Madrasahku

(Bukan) Aktivis Dakwah Kampus: Maulana, Maulana!