Kembali ke Naungan Tarbiyah



Terik mentari Kota Jogja tak membuatnya payah. Kedua kakinya terus melangkah meskipun cucuran keringat membasahi seluruh tubuhnya. Ia tak goyah walau puluhan kawan telah menyerah kalah. Disambanginya tiap rumah yang dilalui tapak kakinya. Tiada rumah yang tak ia kunjungi. Demi satu tujuan, menangnya dakwah siyasi (dakwah politik) 2009 dari sebuah partai politik berasaskan Islam dan bervisi sebagai partai dakwah. Sebuah partai politik yang lahir dari rahim tarbiyah.
Tarbiyah, sesuai dengan diksinya yang berarti pendidikan mencirikan bahwa manhaj dakwah ini mengunggulkan proses pendidikan di atas segalanya. Tiada proses yang lebih utama ketimbang proses tarbiyah, proses pendidikan, karena mamang bukankah dakwah tujuannya adalah mengajarkan manusia. Sebuah proses panjang yang akan mengajarkan manusia dari kebodohan (jahiliyah) menuju sebuah ilmu yang amat tinggi, tauhidullah. Ia tak akan pernah kehilangan essensinya. Karena proses dakwah ini, proses tarbiyah akan tetap ada dengan ada atau tidaknya kita. Allah lah yang akan mempergilirkan dakwah dan tarbiyah ini dari satu generasi ke generasi lainnya. Dan ia tidak akan pernah mati sebagaimana pengusungnya mati kecuali hingga Allah menetapkan kematian atas dakwah ini di hari akhir.

Proses ini begitu melelahkan hingga seorang Sayyid Quthb pun bahkan mengatakan bahwa ia mampu meremukkan tulang belulang kita. Inilah dakwah yang membutuhkan bukan hanya keringat kita, tapi jiwa raga kita. Bukan itu saja, bahkan seluruh detik hidup kita hanya untuk dakwah. Tapi, ingatlah itu semua tak akan terbuang percuma. Tekad kita, semangat kita, keringat kita, darah kita, air mata kita, harta kita, waktu kita, dan jiwa kita tak akan pernah tersia-siakan. Semua jihad kita akan tergantikan dengan visi besar. Itu semua akan terbayar lunas dengan asa kita. Sebuah keyakinan kuat yang diterjemahkan dalam bahasa dakwah dan tarbiyah. Sebuah keyakian akan tibanya suatu masa dimana Islam ini akan menjadi ustadzia’tul ‘alam, soko guru bagi peradaban semesta. Cita inilah yang akan mengobati semua pengorbanan kita.

Manhaj ini pun tak hanya memiliki sebuah visi agung, tapi juga memiliki misi sebagai pengejawatahan atas visinya. Ishlahun nafs (perbaikan kapasitas personal) manjadi pondasi awalnya. Takwinu baitu muslim (membangun rumah tangga islami) menjadi anak tangga selanjutnya. Kemudian, membangun sebuah masyarakat Islami (irsyadu mujtama’) memegang peranan selanjutnya. Tak hanya sampai sana, tarbiyah mengantarkan dirinya pada tahap membebaskan negeri dari tirani kedzaliman (tahrirul wathan) kemudian memperbaiki hukum yang berlaku sehingga tegaklah hukum Ilahiah di negeri tersebut (ishlahul hukumah). Langkahnya harus dilanjutkan hingga tarbiyah dengan aksinya mampu menegakkan sebuah kedaulatan yang memegang nilai-nilai Ilahiah (iqomatu daulah). Dan pada akhirnya cita tersebut akan menghadirkan mimpi indah yang bernama ustadzia’tul ‘alam. Sebuah asa yang bukan mimpi biasa, tapi inilah ruh pendobrak yang menjadi lokomotif bagi para pemegang dakwah ini tuk bersama-sama menghadirkannya. Meskipun amat mungkin mimpi tersebut tak akan pernah hadir dalam perjuangannya secara langsung, tapi inilah yang akan menjadikkannya batu bata penyusun mimpi tersebut.

Tarbiyah ini pun telah jelas menerangkan secara konseptual bagaimana langkah-langkah realnya di medan dakwah. Ia dengan tegas menyatakan bahwa semua sarana dakwah ini adalah halal kecuali yang telah dilarang secara qath’i (jelas). Oleh karena itu, tarbiyah begitu lentur dalam geraknya dan ia tidak terjebak pada istilah-istilah dakwah yang acapkali membuat dakwah yang mulia ini begitu menakutkan di mata manusia. Meskipun demikian, tarbiyah tetap memiliki sebuah batasan norma bagaimana ia harus menggeliatkan pesona dakwah.

Ada sebuah istilah yang harus terus diingat oleh penggerak-pengerak dakwah tarbawi ini. Syaikhut tarbiyah, KH Rahmat Abdullah selalu mengingatkan kita untuk kembali kepada ash-sholah (keaslian) dakwah. Memang seperti itulah idealnya. Kita harus terus mengingat kemurnian dakwah ini. Bagaimanapun beratnya medan dakwah ini, tujuan tak akan pernah goyah. Meskipun amal kita begitu menguras semua energi kita, tapi terus membawa visi adalah sebuah keniscayaan. Jangan sampai kita kehilangan ruh yang harus ditransfer kepada objek-objek dakwah kita. Di sinilah kefahaman kenapa kita harus melakukan amal dakwah ini menjadi sebuah keharusan. Oleh karena itulah tidak salah mengapa Asy-syahid Hasan al-Banna menempatkan nilai kefahaman dalam nomor wahid dalam rukun ba’iat. Inilah nilai harus terus diingat dan tidak hanya diingat tapi terus menjadi inspirasi kita sebagai kader dakwah untuk selalu faham akan essensi dakwah itu sendiri.

Kini, geliat tarbiyah mulai menuai hasilnya. Semua cita itu kini tampak tak lagi paradoks. Apa yang diharapkan itu kini telah memberikan harapan-harapan baru. Bukan hanya para kader, semesta pun seakan-akan telah tercurahi oleh rahmatnya. Kini, dakwah ini, tarbiyah ini telah besar. Di berbagai negeri, tarbiyah sukses dengan berbagai wasilah (sarana) dakwahnya, entah melalui suara-suara parlemen, melalui perjuangan bersenjata, atau entah melalui seruan-seruan klasikalnya.

Satu hal yang pasti, ketika dakwah ini telah besar, tak ada alasan untuk tidak datangnya ujian yang semakin besar pula. Cobaan, fitnah, ujian, tantangan, dan hambatan yang akan dihadapi tentulah akan semakin memeras tenaga para kader dakwah. Ia jugalah yang akan menyibukkan para kader. Pun ia juga yang akan melalaikan para kader yang acapkali bahkan menggelincirkan kaki kader dari jalan panjang ini. Entah berbentuk kekuasaan, harta, jabatan, wanita, atau bentuk-bentuk semu lainnya, yang jelas ini sangat berbahaya. Bukan hanya berbahaya bagi kader, namun juga bagi dakwah itu sendiri. Ia akan mengubah tujuan kader dan dakwah. Ia juga akan mengaburkan visi kader untuk berdakwah. Padahal, semua bentuk ujian itu dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Namun, ia juga dapat menipu dengan menjadikannya sebagai terminal akhir dakwah ini.

Tiada kata lain, selain kembali menghadirkan visi dan cita kita. Hadirkan kembali bayangan indah tentang akhir dakwah ini yang berujung pada kemenangan. Kembalilah pada tujuan dakwah ini yang mulia. Dan kembalilah kepada naungan tarbiyah.



Sofiet Isa M Setia Hati

sumber gambar: http://fazzaro.files.wordpress.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

25 Facts About Sofiet Isa - Edisi Revisi

Rumahku, Madrasahku

(Bukan) Aktivis Dakwah Kampus: Maulana, Maulana!