Menggagas (Kembali) Media Kepenulisan Islam


Denmark, 30 September 2005, sebuah surat kabar harian di negeri tersebut, Jyllands-Posten, mempublikasikan dua belas karikatur Nabi Muhammad SAW karya Kurt Westergaard. Tidak hanya memvisualisasikan fisik Rasulullah yang hukumnya haram dalam Islam, tetapi juga kedua belas karikatur tersebut mencitrakan diri Rasulullah sebagai sosok yang penuh dengan teror. Bayangkan saja, salah satu karikaturnya menggambarkan Rasulullah sebagai seseorang yang memakai sorban meyerupai bom lengkap dengan sumbunya. Pada karikatur yang lain, Rasulullah digambarkan sedang memegang pedang dan diapit oleh dua orang perempuan bercadar hitam. Lalu, di tahun-tahun berikutnya kasus demikian menjadi “trend” terbaru dalam media massa.

Sekelumit berita di atas memberikan sedikit gambaran kepada kita mengenai kondisi media, terutama media kepenulisan dewasa ini. Harus kita akui bersama bahwa media kepenulisan akhir-akhir ini memang berkembang sangat pesat. Namun, sayangnya, media yang seharusnya menjadi sarana pencerdasan bagi kita, malah kini lebih "difokuskan" sebagai sarana pembodohan, sarana pelecehan, penghinaan dan hal-hal lain sejenisnya.

Amat ironi memang ketika kita mengkaji lebih dalam mengenai media kepenulisan di zaman ini. Di satu sisi, kita, umat Islam, sudah amat bosan dilecehkan, dihina, dan direndahkan melalui berbagai media kepenulisan yang ada, namun sekali lagi kita masih belum mampu berbuat banyak.

The men behind the gun atau lebih tepatnya the man behind the paper adalah ungkapan yang cocok untuk menggambarkan media kepenulisan yang kini dikuasai oleh umat-umat selain Islam, bahkan umat yang anti-Islam. Karena merekalah penguasa media kepenulisan saat ini maka janganlah heran andaikata media kepenulisan yang ada saat ini mereka jadikan sebagai sarana penyaluran aspirasi mereka yang seringkali tak bertanggung jawab. Aspirasi umat Islam seperti tertelan bumi. Kalaupun ada media yang meng-ekspose aspirasi-aspirasi umat, pasti ada saja media lain yang membantahnya, melawannya dan anti dengannya. Sekali lagi, kita belum mampu untuk berbuat banyak.

Di negara kita tercinta, Indonesia, kondisi media kepenulisan secara umum pun tak jauh berbeda. Pertumbuhan penduduk yang pesat tidak diimbangi dengan pertumbuhan media kepenulisan yang mencerdaskan. Jumlah media kepenulisan dan media pemasarannya yang ada pun tidak mencukupi untuk sekedar melegakan sebagian dahaga masyarakat kita akan media yang berkualitas.

Sempatkanlah diri kita untuk sekedar mampir ke loper koran yang ada di pinggir jalan. Amatilah kondisi yang tampak. Akan kita lihat bagaimana media massa berkualitas yang dijajakan di sana seperti kalah bersaing dengan media massa yang tak berkualitas sama sekali. Media-media stensilan terpampang dengan gagahnya mengalahkan media-media islami yang seolah-olah sengaja di sembunyikan oleh sang pedagang. Pun jika kita berkunjung ke toko-toko buku kondisinya tak jauh berbeda, apalagi jika kita berkunjung ke dunia maya.

Hal ini semakin diperparah dengan minat baca masyarakat kita yang amat rendah. Di Indonesia, satu surat kabar dikonsumsi oleh 45 orang (1:45). Bandingkan dengan negara tetangga kita yang baru terbebas dari perang saudara. Vietnam telah mencapai angka 1:30, sedangkan Srilangka telah mencapai angka 1:38.

Menurut data Biro Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2003, penduduk Indonesia berumur di atas 15 tahun yang membaca koran pada minggu hanya 55,11 persen. Sedangkan yang membaca majalah atau tabloid hanya 29,22 persen, buku cerita 16,72 persen, buku pelajaran sekolah 44.28 %, dan yang membaca buku ilmu pengetahuan lainnya hanya 21,07 persen. Data pada tahun 2006 menunjukan bahwa hanya 23,5 persen dari total penduduk yang merasa mendapat informasi dengan membaca. Sedangkan, dengan menonton televisi sebanyak 85,9 perasen dan mendengarkan radio sebesar 40,3 persen. Sementara itu, pada tahun 2000 International Educational Achievement (IEA) menempatkan kemampuan membaca siswa SD Indonesia di urutan ke-38 dari 39 negara atau terendah di antara negara-negara ASEAN.

Idealitas yang berkebalikan dari realitas, itulah gambaran umum media kepenulisan di negeri ini. Ketika kita butuh media-media pencerdasan, yang muncul adalah media-media pembodohan. Ketika kita butuh media-media yang mampu membuka cakrawala pemikiran masyarakat, yang tersedia hanyalah media-media yang menutup cakrawala pemikiran masyarakat kita rapat-rapat. Itulah faktanya.

Sekarang, apa yang mampu kita perbuat sebagai bagian dari umat Islam dan sebagai bagian dari bangsa Indonesia ? Jawabannya adalah kita mampu untuk melakukan banyak hal untuk menjawab semua tantangan itu. Kita mampu untuk meladeni pertarungan ini dan kitalah yang layak untuk menang. Bukan mereka, tapi kitalah yang layak untuk menguasai media.

Sekarang adalah zaman demokrasi. Zaman yang katanya kebebasan bersuara dan berekspresi dijamin. Zaman yang katanya segala macam kebebasan dijamin. Meskipun jauh dari nilai-nilai Islam, demokrasi harus kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Marilah kita manfaatkan demokrasi ini untuk semakin melebarkan sayap-sayap dakwah kita. Marilah bersama-sama kita manfaatkan demokrasi ini untuk menyalurkan aspirasi-aspirasi umat yang semakin hari semakin hilang gaungnya. Terakhir, ingatlah, kita adalah mata pena yang tajam, yang siap menuliskan kebenaran dan tanpa ragu kita akan ungkapkan keadilan. Wahai saudaraku, tetaplah menulis, tetaplah menulis, dan tetaplah menulis.


Jika emas merupakan kekuatan pertama kita untuk mendominasi dunia, maka dunia jurnalistik merupakan kekuatan kedua bagi kita.
(Rashoron 1869, seorang rabi Yahudi)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

25 Facts About Sofiet Isa - Edisi Revisi

Rumahku, Madrasahku

(Bukan) Aktivis Dakwah Kampus: Maulana, Maulana!