Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2012

“Maaf, dia gay”

Gambar
Hari itu menjadi hari yang biasa bagiku. Merapikan data-data anggota, sembari merampungkan laporan akhir tahun. Oh ya, sekaligus menyelesaikan laporan kegiatan pelatihan kader tingkat akhir dua pekan lalu. Dan satu lagi, mencari referensi di dunia maya guna laporan praktikum yang kudu dikumpul lusa. “Duh, kok ya numpuk gini sih”, gumamku. Ya begitu lah, nasib akhir tahun. Semua tugas serasa baru bermunculan. Efek samping dari menunda. Dan akhirnya jurus maut harus dikeluarkan: kejar tayang. “Nikmati saja, bro”, begitu aku berbicara pada diriku sendiri yang mulai lelah. “Ganbatte kudasai”, aku menyemangati diriku. Padahal aku sendiri juga tak begitu paham artinya. Ah, siang itu menjadi siang yang sungguh sepi. Ya, maklum, pikirku. Siang bolong gini, biasa mahasiswa, kalau tak di dalam kelas ya berarti di atas kasur. Dan anggota Rohis juga mahasiswa biasa. Jadilah di sekretariat Rohis Universitas Madani hanya ada aku dan suara keyboard komputer yang beradu dengan suara bebe

Donna.. Donna..!

Gambar
Jika Anda pernah menyaksikan film ‘Gie’ besutan Riri Riza dan dibintangi Nicholas Saputra, pasti Anda tidak akan lupa dengan salah satu lagu yang menjadi soundtrack film ini. Judulnya ‘Donna Donna’, yang dalam film ini dinyanyikan oleh Sita ‘RSD’ yang memerankan tokoh Ira. ‘Donna Donna’ merupakan lagu yang dialihbahasakan dari Ibrani menjadi Inggris dengan aransemen ulang. Dan dalam ‘Gie’, ‘Donna Donna’ juga mengalami aransemen ulang. ‘Donna Donna’ menggambarkan sebuah semangat kebebasan dan perjuangan menuntut kebebasan tersebut. Sangat cocok untuk menggambarkan sosok Soe Hok Gie. Dalam ‘Donna Donna’ dikisahkan seekor anak sapi bersedih, mengeluhkan nasib dan takdir hidupnya. Ia mengeluh, mengapa takdirnya menjadi sapi, membajak sawah dan akhirnya disembelih, tanpa tahu alasannya. Ia iri pada burung, pada angin. Ia iri pada mereka yang terbang bebas di angkasa, tertawa riang sepanjang hari. Hingga seorang petani menegurnya. “Berhentilah mengeluh!”, kata petani. “Mengapa engkau

Men Are From Mars, Women Are From Venus (?)

Gambar
Alkisah, di satu masa, seorang makhluk perkasa, yang kini kita kenal sebagai lelaki, tinggal di sebuah planet bernama Mars. Di planet lain, yakni Venus, tinggal seorang makhluk cantik jelita, yang kini kenal sebagai wanita. Satu waktu, lelaki Mars ini tanpa sengaja menyaksikan keindahan rupa wanita di Venus tersebut. Hari berganti hari, hasrat dan getar cinta makin menjadi di hati lelaki. Tak kuasa, akhirnya lelaki ini pergi ke Venus, menemui wanita tersebut, menyatakan cintanya. Cinta pun bersambut. Akhirnya, mereka putuskan untuk hidup bersama, selamanya. Dan diputuskan lah juga bahwa mereka akan hidup di Bumi. Di bumi, ternyata segalanya mulai berubah. Kehangatan, cinta, romantisme dan kasih sayang kian lama kian memudar. Perselisihan, perbedaan pendapat, ego dan emosi kini mulai mengisi hari-harinya. Dan semenjak di Bumi memang mereka menjadi amnesia. Mereka lupa bahwa mereka berasal dari dua dunia yang berbeda. Berbeda lingkungan, kultur, dan budaya. ****** Cerita di atas hanya

Let It Be!

Gambar
Bagi Anda penggemar grup band asal Liverpool ‘The Beatles’, lagu ‘Let It Be’ pasti sudah tak asing lagi. Lagu ini pasti ada dalam urutan teratas dalam playlist pemutar musik gadget Anda. Ya, ‘Let It Be’ memang menjadi salah karya terbaik dari grup band paling legendaris seantero bumi ini. Lirik dan syairnya yang dalam dibungkus dengan lantunan irama yang pas, membuat tiap pendengarnya merasakan aura dan suasana batin penciptanya. Paul McCartney, vokalis sekaligus pencipta lagu ini, menuturkan bahwa ia menciptakan Let It Be setalah dalam satu malam ia bermimpi bertemu ibunya yang telah lama tiada. Ibunya, yang dalam Let It Be dipersonifikasikan sebagai Mother Mary , menasehatinya dengan kata yang akhirnya dijadikan judul lagu ini, Let It Be. Para penggemar The Beatles percaya bahwa lagu ini diciptakan Paul McCartney sebagai pergolakan batinnya atas kondisi The Beatles yang diambang bubar. Paul tak ingin grup band yang membesarkan namanya, bubar begitu saja. Dan, Let It Be jela

(Bukan) Aktivis Dakwah Kampus: Maulana, Maulana!

Gambar
Di tangannya yang tak sempurna itu, sebotol minuman keras tergenggam erat. Sementara, di sekelilingnya ada pesta ala anak muda kota Jogja. Berpasang-pasang, menghabiskan malam purnama di remang-remang lampu kota. Bukan, ia bukan seorang penjual miras. Bukan pula seorang pemabuk. Ia hanya seorang da’i jalanan. Da’i keliling, begitu ia biasa mengenalkan diri pada khalayak ramai. Namanya Ahmad Tukiran Maulana. Lahir di Ponjong, satu kawasan di pelosok Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Maulana, begitu ia biasa disapa, terlahir dengan kondisi fisik (dalam pandangan manusia) tak sempurna. Dengan kondisi fisiknya ini, ia lahir bukan untuk menjadi manusia yang mengeluh sembari meratapi nasib. Ia lahir dengan amal-amal yang luar biasa. Hari-harinya ia habiskan berdakwah dari satu tempat ke tempat lain. Dari satu masjid ke masjid lain, dari satu pengajian ke pengajian lain. Tak peduli, ia tak pernah memandang afiliasi gerakan dan pemikiran perngajian tersebut. Ia sambangi. Pun,