“Maaf, dia gay”


Hari itu menjadi hari yang biasa bagiku. Merapikan data-data anggota, sembari merampungkan laporan akhir tahun. Oh ya, sekaligus menyelesaikan laporan kegiatan pelatihan kader tingkat akhir dua pekan lalu. Dan satu lagi, mencari referensi di dunia maya guna laporan praktikum yang kudu dikumpul lusa.

“Duh, kok ya numpuk gini sih”, gumamku.

Ya begitu lah, nasib akhir tahun. Semua tugas serasa baru bermunculan. Efek samping dari menunda. Dan akhirnya jurus maut harus dikeluarkan: kejar tayang.

“Nikmati saja, bro”, begitu aku berbicara pada diriku sendiri yang mulai lelah. “Ganbatte kudasai”, aku menyemangati diriku. Padahal aku sendiri juga tak begitu paham artinya.

Ah, siang itu menjadi siang yang sungguh sepi. Ya, maklum, pikirku. Siang bolong gini, biasa mahasiswa, kalau tak di dalam kelas ya berarti di atas kasur.

Dan anggota Rohis juga mahasiswa biasa. Jadilah di sekretariat Rohis Universitas Madani hanya ada aku dan suara keyboard komputer yang beradu dengan suara beberapa motor yang lalu lalang di depan sekretariat.

Ku putar playlist mp3 di komputer, guna menghalau sepi. “Tekad” milik grup nasyid Izzis kuputar agak kencang. Menemaniku bersama setumpuk tugas dan juga setumpuk kenangan semasa SMA yang memang ini menjadi lagu nasyid favorit kala itu.

*****

“Assalamu’alaikum”.


Suara itu terdengar samar di telingaku. Kalah dengan suara bass personel Izzis. Lalu, kumatikan sejenak “Tekad”.

“Assalamu’alaikum”. Suara itu terdengar jelas, sekarang. Mirip dengan suara adik kelas ku yang juga anggota Rohis dan memang sudah lama aku tak berjumpa dengannya. Terakhir, dia pamit hendak kerja praktek 2 bulan di Jakarta. Dan sekarang 5 bulan telah berlalu.

“Tuh kan”, pikirku.

“Wa’alaikumsalam warahmatullah” jawabku padanya. “Ahlan wa sahlan, akhi”. Kudekap ia, erat.

“Monggo-monggo, silakan masuk”

Namanya Ahmad. Mahasiswa angkatan pertengahan Fakultas Teknik. Dia ini sukunya unik. Merger antara Betawi, Jawa dan Sunda.

“Pripun kabare?” tanyaku tentang kabarnya.

“Alhamdulillah, baik mas”

“Kok, ndak kelihatan akhir-akhir ini? Bukannya kerja praktek dah selesai dari 3 bulan yang lalu? Kok baru sekarang maen lagi ke sini?” Tanyaku yang sebenarnya mirip dengan cecaran wartawan.

“Habis kerja praktek, aku langsung disuruh pulang sama ibu. Ada kerjaan di rumah.”

“Ooo.... Mau dinikahin, tho?” timpaku dengan gaya cengengesan.

“Hehe... Ndak mas”

“Ooo.... Kalau iya juga ndakpapa kok, dek... hehehe”, sempurna cengengesan¬ku.

“Kebetulan, ada mas...Gini mas... Aku mau cerita. Tapi, to the point aja ya, mas”

“Wajar sih”, pikirku. Mahasiswa Teknik memang tak suka basa-basi. Tak suka berputar sana sini dalam bertutur. Meskipun, nanti kalau jadi politisi, anak Teknik bisa jauh lebih berputar-putar ketimbang anak Sospol.

Tapi, ada yang beda. Air wajahnya itu. Menggambarkan sesuatu yang sangat membebaninya. Sesuatu yang memaksanya berbagi padaku, siang itu.

“Tapi apa? Tentang apa?” dalam benakku. “Apakah tentang virus merah jambu? Lagi?”

Ya, memang, akhir-akhir ini virus merah jambu, VMJ antar sesama aktivis sedang marak di kampusku. Tak terkecuali di Rohis ini. Laporan demi laporan masuk ke catatan internalku. ‘Cinlok’ hingga permintaan data personal beberapa anggota Rohis yang sedang di-‘cinlok’-i, membuatku seperti menjadi biro jodoh saja. Dan yang paling memberatkanku jelas. Masalah VMJ yang terjadi antar pengurus harian. Duh, Gusti!

“Tapi apakah tentang ini? Atau?” masih dalam benakku.

“Eeee... Gini mas.... Eee... Mas kan penanggung jawab biro PSDM di sini... Eee...” Ujarnya, yang nampak begitu terasa berat untuk disampaikan.

“E, iya... Ada apa akhi? Kok serius banget? Sini, di-share-kan ke mas mu ini.” Jawabku, seraya mencairkan dan meringankan suasana.

“Ee.. Gini... Mas percaya nggak, di Rohis ini ada.... Eee...” ucapnya. Masih berat. “Di Rohis ini ada yang punya penyimpangan seks”

“Maksud antum, dek”?

“Ee.... Percaya nggak, mas... Kalo ada anak Rohis yang gay?”

“Heh?”

“I, iya mas... Aku mau cerita.... Mas mungkin nggak percaya... Ada anak Rohis kita yang gay... Yang suka sesama jenis... “

Heningnya sekretariat kala itu menambah hening percakapan kami. Dan aku tak tahu mengapa anak ini tiba-tiba membicarakan sesuatu yang tak pernah aku pikirkan sebelumnya.

“Huss.... Antum ngomong apa, tho? Tahu darimana memang, dek?”

“Andi, mas... Mas tahu Andi, kan?”

Dan namanya langsung membawa pikiranku terbang, ke beberapa waktu lalu. Awal tahun ini.
Ya, Andi. Lengkapnya, Ari Affiandi. Sahabat dekat Ahmad. Sangat dekat, bahkan. Ku kenal Andi sejak awal tahun. Kala itu, dia ditemani Ahmad berkunjung ke sekretariat Rohis. Mendaftar menjadi anggota baru Rohis Universitas Madani.

Ia anak yang sangat ceria meski dengan rambut ikal yang sedikit tak terurus. Cepat sekali ia beradaptasi dengan lingkungan Rohis. Juga, cepat akrab dengan sesama anggota Rohis. Hingga, sulit bagiku membedakan ia dengan anggota lama.

Perkenalannya di Rohis dimulai saat ia ku ajak ikut pelatihan kader tingkat awal. Konsep diri hingga konsep dakwah menjadi sajian utamanya kala itu. Lalu, selang dua bulan. Kuajak ia ikut pelatihan kader tingkat lanjut. Satu tingkat lebih advence. Maskipun sebenarnya pelatihan ini lebih diutamakan bagi anggota lama, tapi Andi nampak menikmatinya.

Pun, hari-harinya di Rohis diisi dengan aktivitas yang sama dengan anggota lain. Menjadi panitia di acara ini itu. Dan ia juga aku ajak ikut dalam kelompok mentoring Rohis dimana aku menjadi mentornya. Islam, dakwah, dan kajian kontomporer menjadi menu-nya.

Tapi, sebelas dua belas dengan kepergian Ahmad yang kerja praktek, Andi pun mulai menghilang. Entah kemana ia sekarang. HP nya pun sudah tak bisa dihubungi lagi,
“Kemana ya dia?” tanyaku dalam hati.

*****

“Ee.... Andi, mas..” Ucapan Andi membuyarkan khayalku kala itu.

“Maaf, dia gay...”

“Hah?!” responku atas infonya, speechless. Tak percaya!

“Iya mas... Eee.. Maaf baru cerita sekarang... Mas kan tahu kalo sama Andi itu deket banget. Aku nge-kost disamping kamar dia sejak awal kuliah.”

“Kalo malam, mas, temennya sering nginep di kamarnya. Temannya yang sering nginep juga gonta-ganti. Awalnya sih aku enggak curiga apa-apa. Tapi lama-lama aku sering denger suara aneh-aneh dari kamarnya... Eee... Sampai akhirnya aku mergokin dia lagi begituan sama temen cowok nya. Masya Allah, Mas!”

Tak ada yang mampu kuucapkan kala itu. Walau untuk sekedar meresponnya.

“Besoknya mas, aku tanya baik-baik sama dia. Dan dia ngaku.” Terisak, Andi mencoba melanjutkan ceritanya.

“Aku nasehatin dia sampe aku paksa dia ikut Rohis. Belajar sambil perbaiki diri disana. Dan Alhamdulillah dia mau, mas”

“Tapi sayangnya mas, kebiasaannya kambuh. Dia lagi-lagi sering bawa temannya nginep. Ya, begitulah mas. Besoknya, aku tegur dia. Tapi jawaban dia itu, mas. Katanya, udah lah lo nggak usah ikut campur urusan gw. Urus aja diri lo sendiri. Urusan hidup gw biar gw sendri yang tanggung jawab sama Tuhan.”

“Ya Allah, mas. Aku nggak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku pasrah. Semoga Allah kasih dia hidayah lagi”, sesunggukan Ahmad mengakhiri ceritanya.

******

Entah mengapa, heningnya sekretariat serasa disempurnakan dengan heningnya kami berdua. Sesak, begitu ia sangat terasa. Dan, dari airmatanya serta dari air mataku, menggambarkan satu yang sama: penyesalan.

Entah mengapa, serasa hari itu hanya ada aku dan Allah, beserta catatan seluruh amalku yang siap menghukum atas lalai ku ini. Celaka aku. Menjerit batinku.

“Duh Allah. Aku mohon maaf padamu. Pinta ampunku atas ke-taktahu-an ku ini. Taubat ku atas ke-takpeka-an ini. Aku malu padaMu. Malu ya Allah. Kenapa aku tak tahu sedari awal. Dan jua tak mencari tahu. Aku malu padaMu, Gusti. Kenapa tak menjadi seperti Sahabat. Tafahum pun aku tak mampu.”

Kabura maqtan ‘indaLlahi ‘an taquulu maa laa taf’alun. Ayat ini serasa menghukumku. Aku yang sering berbicara tentang kaderisasi yang unik, akhirnya jatuh pada ini juga. Aku bicara kalau tiap manusia unik dan butuh perlakuan unik. Tiap manusia, beda jua perlakuannya.

“Duh Allah, kenapa akhirnya aku samakan dia dengan yang lain. Ah, bodohnya aku. Aku paksa ia belajar tentang dakwah, tentang peradaban. Aku alfa, lalai kalau yang ia butuhkan adalah motivasi iman dan amal shalih.”

“Ya, Allah maafkan aku atas tak tertautnya hati ini dan hatinya. Maafkan aku atas ketakbermanfaatan ku atas semangat perbaikannya. Maafkan Aku, bukan mendekatkan hidayah-Mu, malah aku yang menjauhkannya dariMu. Maafkan aku ya Allah. Maafkan.”

Wisma Shalahuddin, 27 April 2012, 14:53
sofietisamashuri.blogspot.com

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

25 Facts About Sofiet Isa - Edisi Revisi

Rumahku, Madrasahku

Q dan Sapu-nya