Men Are From Mars, Women Are From Venus (?)


Alkisah, di satu masa, seorang makhluk perkasa, yang kini kita kenal sebagai lelaki, tinggal di sebuah planet bernama Mars. Di planet lain, yakni Venus, tinggal seorang makhluk cantik jelita, yang kini kenal sebagai wanita.

Satu waktu, lelaki Mars ini tanpa sengaja menyaksikan keindahan rupa wanita di Venus tersebut. Hari berganti hari, hasrat dan getar cinta makin menjadi di hati lelaki. Tak kuasa, akhirnya lelaki ini pergi ke Venus, menemui wanita tersebut, menyatakan cintanya. Cinta pun bersambut. Akhirnya, mereka putuskan untuk hidup bersama, selamanya. Dan diputuskan lah juga bahwa mereka akan hidup di Bumi.

Di bumi, ternyata segalanya mulai berubah. Kehangatan, cinta, romantisme dan kasih sayang kian lama kian memudar. Perselisihan, perbedaan pendapat, ego dan emosi kini mulai mengisi hari-harinya. Dan semenjak di Bumi memang mereka menjadi amnesia. Mereka lupa bahwa mereka berasal dari dua dunia yang berbeda. Berbeda lingkungan, kultur, dan budaya.

******

Cerita di atas hanyalah ilustrasi seorang John Gray dalam bukunya, ‘Men are from Mars, Women are from Venus’ yang menggambarkan bagaimana kontrasnya kehidupan lelaki dan wanita. Ya, entah mengapa, tiap hari kita dibuat bertanya-tanya, mengapa kaum Adam dan kaum Hawa begitu berbeda.

Karakter, kultur, dan ekspresi antara lelaki dengan wanita begitu nampak berbeda. Lelaki dengan maskulin-nya dan wanita dengan feminim-nya. Dan rasa-rasanya, memang tepat jika lelaki itu berasal dari Mars dan wanita itu berasal dari Venus. Dua dunia akhirnya menciptakan dua kepribadian yang berbeda.

Wanita itu sangat ekspresif, juga sensitif alias perasa. Antar sesama pun serupa: sangat dekat. Saling menyatakan kekaguman, cinta, hingga curhat berbalas curhat. Mereka jelas ekspresinya, sedih ya memang benar-benar terlihat sedih, menangis. Bahagia ya, jelas ekspresi kebahagiaannya. Itu wanita, benar?

Nah, laki-laki? Ya, terlihat sangat kontradiktif. Cuek, acuh dan terlihat sangat introvert. Akan sangat jarang didapati lelaki yang mudah ber-curhat akan masalah-masalahnya yang sangat personal. Dan hampir langka anda menemukan lelaki yang saling memuji, menyatakan cinta, dan mengagumi dengan bahasa lugas antar sesama. Bagi mereka, mungkin ekspresi yang demikian akan dianggap sebagai penyimpangan seksualitas. Benar?

Ada sebuah guyonan yang juga menggambarkan bagaimana lelaki dan wanita itu sangat beda. Lelaki itu, mengecil-kecilkan masalah-masalah yang sebenarnya besar. Wanita itu, membesar-besarkan masalah-masalah yang sebenarnya kecil. Benar?

Andai tulisan ini menceritakan tentang seribu satu beda, antara lelaki dan wanita, sangat mungkin baru tahun depan akan rampung. Itu pun formatnya adalah sebuah kitab. Nah, dipersingkat menjadi sebuah pertanyaan mendasar, mengapa semua begitu berbeda? Apakah benar-benar lelaki-wanita memang berasal dari dua dunia yang juga berbeda?

******

Dalam sebuah diskusi dengan seorang yang memang mendalami dunia psikologi manusia, saya mendapatkan sedikit pencerahan. Kata beliau, ada dua hal utama penyebabnya.

Pertama, secara fisik, Tuhan menciptakan lelaki-wanita memang berbeda. Lelaki diciptakan Tuhan dengan porsi logika yang lebih besar. Sementara, wanita diciptakan dengan porsi emosional yang lebih besar. Fisik lelaki didesain Tuhan memang tahan banting, kuat, dan tegar. Sementara fisik wanita didesain lebih lemah dan rentan banting atau dengan bahasa yang positif, wanita diciptakan penuh kelembutan.

Kedua, pengaruh kultur, sosiologis, dan lingkungan menjadi pembeda. Alasan kedua inilah yang menjadi dominan. Ini dilihat dari peran yang berbeda antara lelaki dan wanita.

Lelaki, dituntut oleh kultur, sosiologis, dan lingkungan menjadi seorang imam, pemimpin bagi kaum hawa. Sebagai seorang imam, lelaki dituntut tegar, berwibawa, dan tak cepat mengeluh. Ini membentuk lelaki menjadi makhluk yang harus bertanggungjawab. Ia juga ‘dipaksa’ untuk menyiapkan bahunya yang lebar sebagai tempat bersandar seorang wanita. Sedikit bicara, banyak mendengar di hadapan wanita.

Nah, apa jadinya jika kita mendapati lelaki yang sedikit-sedikit mengeluh, dan menyampaikan keluh kesahnya dihadapan publik. Pasti publik akan ‘menghukum’-nya. Lelaki macam ini pasti akan dipersangsikan ke-lelaki-annya.

Wanita, dituntut oleh faktor yang sama untuk menjadi ‘ibu’ yang lembut, penuh perasaan, dan penuh kasih sayang. Ia dituntut memang untuk sangat sensitif karena ia memang ditakdirnya sebagai ‘pendidik’. Sebagai pendidik, ia harus mengajarkan nilai dengan penuh perasaan. Menyentuh lubuk hati terdalam, hingga nilai tersebut terpatri kuat. Ia juga harus sangat sensitif dan detail untuk mengingatkan imamnya yang memang mudah salah.

Nah, apa jadinya jika kita mendapati sosok wanita yang sangat kasar, tidak peka, dan ‘dingin’. Nasibnya pun akan seperti lelaki sebelumnya: dihukum publik dan dipersangsikan ke-wanita-annya.

Kita juga mendapati bahwa lingkungan amat sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter lelaki-wanita ini. Misal, lelaki yang besar di lingkungan yang mayoritas wanita, atau mayoritas teman sepermainannya adalah wanita, atau ia adalah korban pelecehan seksual di maca kecil, maka akan didapati lelaki yang demikian memiliki sifat feminim yang kuat. Dengan kondisi yang serupa, akan didapati wanita yang memiliki sifat maskulin yang kuat.

******

Masih tentang lelaki-wanita dan dari sumber yang sama, perbedaan yang nampak itu sebenarnya hanya pada domain ekspresi. Ya, perbedaan ini hanya terletak bagaimana lelaki menyatakan suatu perasaan tertentu dan bagaimana wanita menyatakan suatu perasaan yang sama. Yang dirasakan sama, namun ekspresinya saja yang berbeda.

Jika diuji dengan kesedihan, lelaki sama sedihnya dengan wanita. Di hatinya sama-sama sedih, tidak ada beda kecuali hanya pada ekspresinya. Wanita mengekpresikan kesedihan dengan tangis yang jelas, dengan air mata yang bercucur deras. Namun, lelaki mengekspresikan dengan (cukup) raut wajah kesedihan, mungkin dengan sedikit air mata yang keluar. Bahkan lelaki, dipaksa tegar dengan ekspresi senyum saat sedih.

Begitu pun dengan perasaan-perasaan yang lain. Sakit, luka, bahagia hingga jatuh cinta akan dirasakan dengan perasaan yang sama, namun dengan ekspresi yang beda.

******

Nah, akhirnya istilah penyebutan ‘lawan jenis’ bagi lelaki dan wanita menjadi tidak relevan lagi. Sejatinya, lelaki diciptakan Tuhan untuk melengkapi wanita, pun sebaliknya. Hingga, istilah yang tepat untuk menggambarkannya adalah ‘pasangan jenis’. Lelaki-wanita adalah pasangan jenis.

(juga) Tepat memang, Tuhan menjelaskan alasan mengapa manusia diciptakan berbeda-beda, salah satunya, ada lelaki dan ada wanita. Kata Tuhan: “agar manusia saling mengenal”. Ya, lelaki-wanita harus saling mengenal, saling memahami, saling melengkapi.


Wisma Shalahuddin, 23 April 2012 14:33

sofietisamashuri.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

25 Facts About Sofiet Isa - Edisi Revisi

Rumahku, Madrasahku

Q dan Sapu-nya