Menjadi Muslim Sejati, Menjadi Pemuda Prestatif








Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

(QS Ali Imron: 110)





Islam dan Paradigma Prestasi
Ada sebuah diskusi menarik tentang maksud ayat di atas terutama tentang makna umat terbaik, khoiru ummat. Umat terbaik didefinisikan bukan sebagai takdir yang Allah SWT tetapkan kepada kita selaku umat Islam. Umat terbaik bukan merupakan hadiah yang diberikan kepada kita, namun lebih sebagai tuntutan. Allah SWT dalam ayat ini menuntut kita untuk menjadi umat terbaik di antara umat-umat lain. Alhasil, setiap apa yang kaum muslimin lakukan harus diikhtiarkan dengan sungguh-sungguh untuk menjadi yang terbaik. Allah SWT telah memberikan anugrah terbaikNya pada umat manusia maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mengikhtiarkan yang terbaik dengan menjadi umat terbaik.

Dengan makna yang terkandung di dalamnya, ayat ini sangatlah cocok dengan konteks era globalisasi saat ini. Globalisasi, menurut Malcom Waters, merupakan sebuah proses sosial yang berakibat pembatasan geografis pada keadaan sosial budaya menjadi kurang penting yang terjelma di dalam kesadaran orang. Oleh karena itu, globalisasi seakan-akan mewajibkan setiap subjek yang terlibat di dalamnya untuk saling berkompetisi satu dengan yang lainnya. Suka tidak suka, berkompetesi adalah satu hal yang tak akan terpisahkan dari makna globalisasi. Kompetisi pun sudah meleburkan segala sekat yang ada. Tidak ada lagi kompetesi antar anak satu bangsa, satu agama, dan satu negara. Semua melebur menjadi kompetisi global. Di sinilah menjadi yang terbaik adalah suatu keniscayaan.

Menjadi yang terbaik dan pemenang dalam segala kompetisi, selain mampu memberikan peran lebih dalam pentas peradaban global, juga mampu mengokohkan eksistensi individu maupun suatu komunitas masyarakat sosial Tanpa menjadi pemenang dari tiap persaingan yang ada, suatu subjek globalisasi tertentu akan termarjinalkan dari peradaban global, menjadi tak akan pernah diperhitungkan zaman. Sejarah perbudakan adalah sejarah bangsa-bangsa yang kalah oleh bangsa-bangsa bermental kolonial. Itulah konsekuensi dari kekalahan.

Di lain sisi, kita harus berkaca pada kejayaan Islam masa lampau. Dengan segala kekurangannya pada masa itu, Islam terbukti mampu bersaing dan unggul. Islam menjadi pusat dan pemimpin peradaban dunia. Saat ilmu pengetahuan masih didominasi filsafat Yunani yang terlalu imajinatif dan penuh asumsi ala Socrates, Plato, dan Aristoteles, Islam mampu menggebrak. Islam mampu mewujudkan renaisans peradaban dunia yang sesungguhnya: kebangkitan segala ilmu pengetahuan. Islam pula lah yang mampu mengaplikasikan dan benar-benar mewujudkan peradaban modern yang dahulu hanya menjadi teori-teori minus aplikasi. Baghdad, Anadalusia, Cordova, dan Konstatinopel menjadi saksi peradaban Islam yang paripurna.

Jika kita mencoba menarik benang merah dan membuat satu grafik sederhana maka kita akan mendapatkan suatu korelasi yang jelas antara Islam dan prestasi: berbanding lurus. Semakin tinggi kualitas keislaman individu maupun kelompok maka semakin tinggi tingkat prestasinya dan semakin tinggi nilainya dalam percaturan peradaban global. Inilah paradigma awal yang harus dibangun oleh tiap individu kaum muslimin bahwa Islam dan prestasi adalah dua hal yang tak boleh terpisahkan karena prestasi adalah buah keislaman kita.

Merentas Jalan Menuju Pintu Prestasi
Pertanyaan kemudian yang harus dijawab adalah bagaimana kita menumbuhkan segala potensi untuk dapat berprestasi dalam kapasitas sebagai seorang pemuda dan seorang muslim. Bagaimana pula kita mampu memainkan peran dalam era globalisasi saat ini. Setidaknya ada empat hal yang harus dipersiapkan: kapasitas intelektualitas, basis lingkungan, kepekaan sosial, dan aksi nyata.

Syarat mendasar agar sesorang mampu berprestasi adalah cerdas. Seseorang yang cerdas dalam arti memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni akan mampu membaca setiap peluang untuk berprestasi dan menurunkannya dalam strategi-strategi yang aplikatif. Dengan menjadi cerdas, seseorang juga akan menjadi rujukan banyak pihak yang secara otomatis akan meningkatkan posisinya di dalam sebuah komunitas global. Dengan menjadi cerdas pula lah sesorang mampu menghasilan masterpiece yang bermanfaat dan dikenang sejarah.

Ada tiga ranah kapasitas intelektualitas kita yang harus dimiliki dan ditingkatkan. Pertama, sudah sewajarnya sebagai seorang muslim untuk memiliki kafa’ah diniyah. Pengetahuan kita yang mendalam terhadap Islam itu sendiri menjadikan kita seorang yang memiliki basis yang kuat, baik basis intelektual maupun basis moral. Tanpa pengetahuan Islam yang memadai seseorang akan terbawa arus global yang saat ini didominasi liberalisme dan hedonisme. Dengan ini pula, dua kecerdasan sekaligus dapat dimiliki: kecerdasan spiritual (SQ) dan kecerdasan emosionla (EQ).

Kapasitas intelektual yang kedua adalah kompetensi spesifik. Harus ada satu bidang keilmuan spesifik yang kita dalami dan kita menjadi ahli dalam bidang tersebut hingga seakan-akan kita lah satu-satunya yang mampu dalam bidang tersebut. Jika ada satu hal yang menyangkut bidang tersebut maka kita yang menjadi rujukan dan publik akan mengingat kita lekat dengan keahlian kita tersebut. Jadi lah kita seperti Umar ibn Khaththab yang ahli di bidang tata negara, seperti Khalid ibn Walid yang ahli dalam strategi perang, atau seperti Habibie yang ahli dalam merancang pesawat terbang.

Terakhir, kita dituntut untuk memiliki wawasan yang luas walau tidak terlalu mendalam di banyak aspek kehidupan. Kita dituntut sedikit banyak faham tentang politik, ekonomi, sosial, budaya, bahasa, pendidikan, kesehatan, hukum, dan lain-lain. Inilah yang membuat kita mampu berbicara banyak dalam pergaulan dalam berbagai skala apapun. Tanpa wawasan yang luas, kita akan mengalami banyak kesulitan dalam membangun hubungan sosial yang akan menghambat prestasi kita. Oleh karena itu banyak membaca dan berdiskusi tanpa sekat bidang menjadi kebutuhan kita untuk berprestasi.

Sembari kita berikhtiar untuk memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni, kita dituntut untuk memiliki basis lingkungan yang mendukung. Lingkungan akan banyak menentukan kondisi sesoarang. Dalam lingkungan sosial yang kurang baik, sedikit banyak akan mewarnai karakter sesorang dan mempengaruhinya menjadi pribadi yang kurang baik. Hal ini dianalogikan dengan cerdas oleh Rasulllah SAW, “Perumpamaan teman yang shalih dengan yang buruk itu seperti penjual minyak wangi dan tukang pandai besi. Berteman dengan penjual minyak wangi akan membuatmu harum karena kamubisa membeli minyak wangi darinya atau sekurang-kurangnya mencium ban wanginya. Sementara berteman dengan pandai besi akan membakar badan dan bajumu atau kamu hanya akan mendapatkan bau tidak sedap“. (HR.Bukhari & Muslim).

Mendapatkan lingkungan dimana nuansa kompetisi untuk saling berprestasi akan menjaga dan terus memacu ritme gelora berprestasi kita. Inilah motivasi eksternal. Ini sama pentingnya dengan motivasi internal. Tanpa motivasi eksternal dari lingkungan maka motivasi internal kita akan mudah melemah. Walau penuh bahan bakar, api yang selalu diterpa angin pasti akan mati jua. Tanpa lingkungan yang mendukung, gelora berprestasi kita pasti akan padam.

Hal ketiga yang harus dipersiapkan adalah kepekaan sosial. Seseorang yang berprestasi adalah ia yang memiliki sebanyak-banyaknya manfaat bagi yang lainnya. Semakin banyak manfaatnya makan semakin berprestasi ia. Konsep umat terbaik didefinisikan dalam lingkup yang lebih kecil oleh Rasulullah SAW, “Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain ” (HR. Bukhari). Untuk mampu berprestasi dalam cakupan paling banyak manfaatnya bagi orang lain maka kepekaan sosial harus terus diasah. Kepekaan lah yang mampu menghidupkan naluri untuk bergerak dan berkarya. Kepekaan lah yang akan terus menghidupi api motivasi internal kita.

Kepekaan akan membawa naluri berprestasi kita untuk berkarya sesuai dengan kebutuhan zaman. Tanpa kepekaan, kita tidak akan mampu mengetahui apa sebenarnya kebutuhan zaman sehingga karya kita benar-benar useless. Prestasi kita akan sia-sia, tiada bermanfaat bagi umat dan dunia. Tanpa adanya kepekaan, prestasi hanyalah kesemuan belaka karena miskin manfaat.

Hal terakhir yang harus dituntut ada dalam memacu prestasi kita adalah aksi nyata. Prestasi bukanlah sekumpulan teori-teori tanpa aplikasi. Prestasi juga bukan lompatan ide-ide “nakal” yang hanya ada di alam imajinasi. Prestasi bukan pula sederan kata-kata yang hanya tertulis rapi di buku impian kita. Prestasi butuh aksi dan aksi butuh strategi. Oleh karena itu, dalam mencapai prestasi, kita butuh strategi. Diawal, kita harus menentukan bidang spesifik apa yang akan kita jadikan medan prestasi kita. Lalu, kita tentukan apa karya yang akan kita ciptakan. Karya tersebut lalu kita turunkan dalam langkah-langkah konkret yang realistis untuk dijalankan. Terakhir, ikhtiarkan sebaik mungkin dalam menjalani langkah-langkah menuju prestasi.

Menjadi muslim sejati, menjadi pemuda prestatif
Sebagai titik refleksi kita, umat Islam saat ini berada pada titik kritis dalam peta peradaban global. Di era globalisasi ini, tantangan umat begitu besar dan mustahil dilewati tanpa adanya manusia-manusia yang berkapasitas besar. Manusia-manusia berkapasitas besar inilah yang kita sebut sebagai manusia-manusia berprestasi.

Sebagai pemuda, apalagi sebagai pemuda muslim, kita dituntut untuk memainkan peran dalam manjawab tantangan global ini. Berprestasi adalah jawaban tantangan itu. Memiliki kapasitas intelektual dalam lingkungan sosial yang selalu aktif mendukung, menjadi dasar untuk pemuda berprestasi. Disusul kemudian dengan kepekaan sosial yang akan melahirkan aksi-aksi nyata yang paling banyak manfaatnya bagi global. Dan pemuda, adalah dia yang mampu merefleksikan dirinya sebagai seorang muslim sejati, menjadi dia yang berprestasi. Wallahu a’lam bish-showwab


Komentar

  1. Tulisan yg menyadarkan ktka saya mulai merasakan kemalasan untuk berprestasi... Mengaku islam harus brprestasi..thanks

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

25 Facts About Sofiet Isa - Edisi Revisi

Rumahku, Madrasahku

(Bukan) Aktivis Dakwah Kampus: Maulana, Maulana!