Mempertanyakan Kembali Kemerdekaan Kita


Tujuh belas Agustus tahun ’45Itulah hari kemerdekaan kita
Hari merdeka nusa dan bangsa
Hari lahirnya bangsa Indonesia
Merdeka...
Sekali merdeka tetap merdeka
Selama hayat masih dikandung badan
Kita tetap setia tetap sedia
Mempertahankan Indonesia
Kita tetap setia tetap sedia
Membela negara kita

Ingatkah kita dengan lirik di atas? Lirik inilah yang akhirnya menjadi sebuah lagu perjuangan nasional dan secara gamblang telah menggambarkan bagaimana bangsa ini bersuka cita terhadap kemerdekaannya. Lagu ini pula yang menginsipirasi bangsa ini tuk terus bangkit menggapai mimpi-mimpi besarnya. Mimpi-mimpi yang dibangun setelah bangsa ini terlelap di atas permadani penindasan. Mimpi yang selama ini dibangun seiring dengan desah nafas para pejuang yang tersengal-sengal. Mimpi yang tak akan pernah berujung. Mimpi tuk membangun Indonesia yang lebih baik dan bermartabat.

Kini, bangsa ini telah memasuki usia 65 tahun, usia yang tidak muda lagi untuk ukuran sebuah negara. 65 tahun telah Indonesia lalui baik dalam suka maupun dalam duka. Selama 65 tahun Indonesia mengalami jatuh bangun setiap detiknya. Suatu ketika berada di atas. Suatu ketika berada pada posisi di bawah. Selama 65 tahun pula Indonesia berada dalam pusaran keterombang-ambingan antara hidup dan mati. Dan selama 65 tahun pulalah bangsa ini berusaha menjadi sebuah bangsa yang benar-benar merdeka.

Yang menjadi pertanyaan untuk kita renungi bersama adalah apakah bangsa ini telah mampu merealisasikan mimpi-mimpi indahnya yang terajut sejak 65 tahun yang lalu. Apakah bangsa ini telah pula mampu menunjukkan jati diri sebagai bangsa yang merdeka. Atau bahkan apakah bangsa ini telah benar-benar merdeka.

Sekali-kali tidak. Bangsa ini belumlah merdeka. Bangsa ini belumlah merdeka. Sekali lagi, bangsa ini belumlah merdeka.

Kalau ada yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia telah merdeka pada 17 Agustus 1945, itu adalah sebuah kebohongan belaka. Kalau ada yang mengatakan bahwa Indonesia telah terbebas dari penjajahan, itu adalah sebuah lelucon. Kalau ada yang mengatakan bahwa hari ini bangsa Indonesia telah keluar dari penjara tirani, itu adalah sebuah kebodohan.

Jika ada yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, ya memang benar. Kala itu Soekarno dan Hatta yang mewakili rakyat Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan untuk Indonesia. Jika ada yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia telah mendapatkan dukungan internasional atas kemerdekaannya, ya memang benar. Kala itu Mesir lah yang pertama kali mendukung kemerdekaan Indonesia lalu diamini oleh negara-negara lain. Secara de jure dan de facto bangsa Indonesia memang telah merdeka. Bangsa ini telah memiliki pemerintahan, telah memiliki rakyat dengan segala potensinya, wilayah kedaulatan yang jelas, dan juga dukungan internasional terhadap kemerdekaannya. Semua perangkat kemerdekaan telah bangsa ini miliki.

Namun, proklamasi kemerdekaan yang dibacakan secara lantang oleh Soekarno terasa hambar. Dukungan dari dunia internasional pun tak menjadikan Indonesia merdeka walau hanya sedetik. Wilayah yang begitu luas tak menjadikan bangsa ini bernilai. Semua hal di atas hanyalah sia-sia. Semua itu tidak berguna sama sekali. Itu semua tidak bernilai satu sen pun.
Bayangkan saja, tidak ada satu aspek pun di negeri ini yang merdeka. Perekonomian kita masih terjajah. Campur tangan asing masih saja terlihat dengan jelasnya. Bank Dunia dan IMF masih dianggap sebagai “Tuhan” yang harus dipatuhi setiap perkataannya. Pun demikian dengan perpolitikan di Indonesia. Arah politik bangsa ini masih secara jelas menggambarkan bahwa ia masih ditunggangi oleh asing. tidak hanya politik dalam negeri, politik luar negeri pun semakin jelas arah tujuannya mau kemana ia hendak dibawa. Kebijakan-kebijakan pemerintah kita pun masih didikte setiap hurufnya. Semua itu terasa diciptakan hanya untuk kepentingan-kepentingan asing, bukan untuk kepentingan rakyat yang kian hari kian kuat suara jeritannya. Bahkan, sampai pada tataran grass root sekali pun, kemerdekaan kita hanyalah kesemuan belaka. Pemikiran dan tindakan yang dilakukan selama ini mencerminkan sebuah pola yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang gemar terjajah.

Bangsa ini lalai akan perlawan, perjuangan,dan pengorbanan semua pejuang kemerdekaan. Darah yang menjadi penyubur tanaman kemerdekaan tumpah tak berbekas setitik pun. Ruh-ruh yang telah kembali kehadapan Sang Khalik tercabut percuma dari jasadnya. Bangsa ini lalai akan semua rajutan mimpi-mimpinya. Bangsa ini telah menyerah pada kehinaan dan pasrah oleh keputusasaan.

Tak pernah ada yang namanya kemerdekaan. Tak pernah ada yang namanya kebebasan. Seakan-akan tak akan pernah ada kata merdeka dalam kamus besar bahasa Indonesia. Seolah-olah bangsa ini telah menolak segala bentuk kemerdekaan. Kemerdekaan hanya menjadi sebuah kata pemanis buatan yang sejatinya menjadi racun bagi ginjal kehidupan berbangsa dan berbegara.

Ada apa dengan semua ini? Adakah kesalahan dalam prosesi kemerdekaan kita? Ataukah ada kesalahan sejarah yang telah dilakukan oleh bangsa ini? Atau apakah bengsa ini terlalu kanak-kanak untuk menerima kemerdekaan?

Ketauhuilah, tidak ada yang salah dalam semua ini kecuali satu hal. Bangsa ini hanya belum sadar akan essensi dasar sebuah kemerdekaan. Kemerdekaan yang sejatinya berarti berdiri di atas kaki sendiri pada sebuah bingkai kehidupan malah seakan-akan menjadi dua buah mata pisau yang sama-sama mematikan. Di tingkat atas, kemerdekaan terasa hampa. Tidak ada sesuatu yang spesial dari kemerdekaan itu sendiri. Teori kepentingan selalu digulirkan di tataran para pemegang tampuk kepemimpinan Merdeka maupun tidak, bangsa ini tak pernah mampu untuk berdiri di atas kaki sendiri.. Bangsa ini belum mampu mandiri. Bangsa ini belum mampu menunjukkan tajinya di hadapan dunia.

Sementara itu, di tingkat bawah kemerdekaan memiliki makna yang dilebih-lebihkan. Kemerdekaan dengan seenaknya diartikan bebas melakukan apapun yang disuka tanpa adanya suatu bingkai kehidupan. Dibukanya segala bentuk ekspresi kemerdekaan telah menghasilkan generasi-generasi terjajah. Generasi-generasi yang terlelap oleh buai kenikmatan semu atas sebuah kemerdekaan yang juga semu.

Apa yang harus bangsa Indonesia lakukan untuk meletakkan kembali kemerdekaan ini pada rel yang tepat? Hanya ada satu jalan. Kembalilah kepada ash-shalah kemerdekaan. Kembalilah pada keaslian kemerdekaan. Kembalikan kemerdekaan pada makna yang sesungguhnya. Tidak ada jalan lain. Memang sulit untuk mengubah pola pikir terjajah menjadi pola pikir mandiri, kreatif, dan inovatif. Tapi ini adalah sebuah kemutlakan. Ketika rasionalisasi visi kemerdekan ini sukses untuk dijalankan maka yakinlah bahwa bangsa ini setapak demi setapak akan bangkit melawan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

25 Facts About Sofiet Isa - Edisi Revisi

Rumahku, Madrasahku

(Bukan) Aktivis Dakwah Kampus: Maulana, Maulana!