Memanusiakan UAN


Kembali lagi, Ujian Akhir Nasional (UAN) menjadi sorotan publik. Kebijakan pelaksanaan UAN hingga rencana pemerintah memajukan waktu pelaksanaannya kembali menuai kecaman dari beberapa pihak. Alhasil, sejumlah pihak mencoba mengadukan permasalahan ini pada Mahkamah Agung (MA) yang kemudian dijawab oleh MA dengan jawaban yang abu-abu. Dan sepertinya pemerintah masih tetap pada kebijakannya dengan melaksanakan UAN.

UAN memang penuh kontroversi. Diakui ataupun tidak metode evaluasi hasil pendidikan (baca: UAN) terbukti masih jauh dari sempurna. Jika kita mengkaji lebih dalam maka kita akan menemukan tiga faktor yang menunjukkan bobroknya sistem pendidikan Indonesia dengan UAN sebagai metode evaluasinya.

Pertama, UAN hanya dijadikan satu-satunya faktor penentu hasil pendidikan yang kemudian kita sebut dengan kelulusan. Bayangkan, bagaimana jadinya jika proses pendidikan yang lama (enam tahun untuk SD dan tiga tahun untuk SMP dan SMA) hanya ditentukan dalam UAN yang tak lebih dari satu pekan. Bukankah sangat mungkin ada faktor x yang menyebabkan peserta didik tidak berada dalam performa yang baik saat pelaksanaan UAN? UAN tidak menilai proses panjang yang dijalani peserta didik. Tak ayal terjadi instanisasi pendidikan besar-besaran terhadap peserta didik dimana keberhasilan pendidikan hanya ditentukan pada keberhasilan UAN saja.

Kedua, hanya ada satu faktor yang dievaluasi dalam sistem UAN: pemahaman peserta didik akan materi pengajaran. Dalam taksonomi Bloom yang disusun oleh Benyamin S. Bloom sangat jelas digambarkan bahwa pendidikan dapat diklasifikasikan menjadi tiga ranah: kognitif, afektif, dan psikomotor. Kognitif berisi perilaku yang mengarah pada aspek intelektual seperti pengetahuan, pemahaman, dan analisis. Afektif berisi perilaku yang mengarah pada aspek perasaan dan emosi seperti minat, moral, tingkah laku, dan apresiasi. Semetara psikomotor berisi perilaku yang menekankan pada aspek keterampilan dan berhubungan pada aktivitas fisik. Dan UAN hanya menguji pada ranah kognitif saja.

Ternyata kita selama ini terjebak pada kondisi dimana sistem yang ada hanya memperhatikan masalah pengajaran saja bukan pada masalah pendidikan. Selama ini yang terjadi hanaya lah transfer of knowladge saja dan inilah pengajaran. Tidak menjadi penting apakah dengan ilmu pengetahuan yang didapatkan, peserta didik mampu mengaplikasikannya atau tidak. Inilah ranah psikomotorik yang diabaikan. Tidak menjadi penting juga terkait moral dan tingkah laku peserta didik setelah menimba ilmu. Dan ranah afektif kembali diabaikan. Bukankah dalam UU Sisdiknas tahun 2003 telah jelas tujuan pendidikan Indonesia yang mengarahkan peserta didik pada tiga ranah: kognitif, afektif, dan psikomotor.

Ketiga, kita harus jujur mengakui bahwa kualitas dan fasilitas pendidikan Indonesia masih jauh dari ideal terlebih lagi dalam kasus pemerataannya di setiap daerah. Tak adil rasanya jika UAN dipaksakan pada seluruh daerah termasuk daerah dengan kualitas dan fasilitas pendidikan yang jauh dari standar, apalagi dengan muatan UAN yang disamaratakan.

Saat ini, kita masih menunggu kebijakan dan gebrakan apa yang akan dikeluarkan oleh pemerintah, dalam hal ini Mendiknas M. Nuh. Entah UAN masih tetap dijalankan maupun tidak. Entah masih bernama UAN maupun tidak. Yang jelas ketiga permasalahan utama harus segera diselesaikan dengan sistem yang baru (bukan berarti harus meniadakan UAN).

Bagaimana dengan sistem baru yang terkait dengan sistem evaluasi hasil pendidikan, evaluasi yang ada mencakup seluruh proses yang telah dilewati peserta didik mulai dari awal hingga akhir proses pendidikan. Bagaimana pula sistem yang baru proses evaluasi mampu menjangkau bukan hanya ranah kognitifnya saja melainkan juga ranah afektif dan psikomorik. Di sini sebenarnya guru menjadi aset paling vital dalam proses evaluasi karena seharusnya guru mampu menjadi sesorang yang mengetahui setiap detail dari peserta didiknya yang sedang menjalankan proses pendidikan. Dan terakhir, bagaimana pula dengan sistem yang baru, pemerintah dan masyarakat umum semakin bahu membahu memperbaiki kualitas dan fasilitas pendidikan sehingga semakin memperbaiki kualitas peserta didik.

Sebagai refleksi, perjalanan pendidikan Indonesia sudah sangat panjang. Kebijakan yang ada sudah pula meng-UAN-kan manusia sebagai objek pendidikan. Yang kita tunggu saat ini adalah bagaimana kebijakan yang ada mampu memanusiakan UAN.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

25 Facts About Sofiet Isa - Edisi Revisi

Rumahku, Madrasahku

(Bukan) Aktivis Dakwah Kampus: Maulana, Maulana!