Islam di Tengah Masa Ketidakpastian


Ada sebuah keprihatinan tersendiri saat melihat bangsa ini dilanda sebuah masa penuh ketidakpastian. Ketidakpastian akan regulasi, ketidakpastian akan kepemimpinan dan ketidakpastian akan harapan kehidupan mereka yang ditentukan oleh regulasi dan kepemimpinan tersebut. Dan itu semua menjadi sebuah hal yang sudah tidak asing lagi.

Masa kolonialisme, masa orde lama, dan masa orde baru telah menjadi saksi betapa masa ini menjadi masa-masa yang sulit. Lebih dari 400 tahun semenjak kedatangan kolonial Belanda, bangsa ini belum mengalami suatu kemajuan yang signifikan. Peralihan tampuk kepemimpinan dari masa ke masa terus bergulir, namun harapan akan sebuah kepastian memudar seiring dengan ketidakefektifnya kepemimpinan.

Kolonialisme selama berabad-abad telah melahirkan generasi-generasi bangsa yang bermental terjajah. Akhirnya kita bersuka cita dengan berakhirnya masa kolonialisme itu dengan gaung kemerdekaan. Namun yang terjadi malah suatu paradoks yang justru melahirkan kolonialisme bentuk baru. Ya, memang orde lama telah mengajari kita tentang arti sebuah persamaan, kesetaraan dan keadilan. Namun justru kesejahteraan menjadi titik terlemahnya. Ini menjadi sesuatu yang berbeda di zaman orde baru yang menjadikan kesejahteraan menjadi penopang utamanya sementara nilai-nilai keadilan, persamaan, dan kesetaraan menjadi sesuatu yang langka.

Saat ini, sudah lebih dari 10 tahun reformasi hanya berjalan di tempat. Reformasi seakan-akan diterjemahkan sebagai antitesa orde baru dan orde lama. Semua yang telah ada di orde lama dan baru dibuang jauh dari kehidupan reformasi. Padahal, kedua orde sebelumnya ini pasti memiliki kebaikan-kebaikan meskipun keburukan-keburukannya jauh lebih tampak dan lebih nyata. Reformasi yang diharapkan sebagai pemutus mata rantai ketidakpastian itu ternyata hanya melahirkan ketidakpestian-ketidakpastian baru. Tidak ada narasi besar, apalagi aksi besar. Semua yang dilakukan hanya menjadi obat penengang yang justru menjadi candu berbahaya.

Ini mungkin dapat dipahami sebagai sebuah proses pencarian jati diri bangsa dan negara. Namun, pertanyaannya adalah apakah pencarian itu harus selama ini. 64 tahun semenjak bangsa ini menyatakan kemerdekaanya dari tangan kolonialis Jepang. 64 tahun bukanlah masa yang pendek. Bukankah 64 tahun jika diibaratkan sebagai usia manusia adalah masa dimana ia telah menjadi tua dan mapan?

Bangsa dan negara ini telah mencoba segalanya. Berbagai macam sistem dan pola kepemimpinan telah coba diterapkan. Gaya sentralistik yang lebih condong ka arah tiran ala Soeharto dan kroni-kroninya telah menimbulkan berbagai macam penindasan terhadap manusia dan hak-haknya sebagai insan yang merdeka. Kapitalisme dan liberalisme khas Barat pun telah diaplikasikan namun rakyat yang mayoritas semakin tercekik oleh ulah para pemilik modal yang minoritas. Berbagai jenis demokrasi pun telah diusahakan mulai dari demokrasi terpimpin ala Soekarno yang lebih mirip emperium Soeharto hingga demokrasi yang tak bertanggung jawab seperti saat ini. Bahkan komunisme pun pernah memimpin negeri dengan konsep Nasakom Soekarno.

Semua konsepsi ini belum mampu menjawab tantangan yang ada. Baik karena konsepsi yang ditawarkan belum mampu menjawab kebutuhan Indonesia dan rakyat yang bernaung di bawahnya maupun karena pemegang kekuasaan itu itu yang tidak memiliki kapasitas yang mumpuni di bidangnnya. Atau bahkan semua konsepsi itu tidak cocok diterapakn di Negeri ini.
Harus ada alternatif baru. Kita butuh sebuah konsepsi kepemimpinan yang manawarkan solusi atas kebutuhan selain pelaksananya yang memiliki kompetensi asasi yang menjadi penopang. Bukan hanya sebuah retorika belaka yang tak berujung. Ingat bangsa dan negara ini sedang butuh solusi aplikatif. Oleh karena itu, siapapun dengan segala konsepsinya yang menghadirkan solusi aplikatif adalah masa depan.

Islamlah masa depan itu. Islamlah solusinya. Dan Islamlah alternatif baru itu. Bukan hanya karena konsepsi Islam belum pernah diaplikasikan secara total pada semua aspek kehidupan. Namun, lebih dikarenakan Islam bukanlah agama ritual belaka. Bukankah Islam mengampu 2 fungsi sekaligus yaitu Islam sebagai ad-dien atau agama yang mengatur wilayah `ubudiyah (ibadah antara insan dan Tuhannya) dan Islam sebagai ad-daulah yang mengatur wilayah muamalah (hubungan insan dan lingkungan yang ia hidup di dalamnya). Inilah sebuah konsep universalitas Islam. Islam yang tidak hanya mengatur bagaimana ritual ibadah saja, tapi Islam yang mengatur kehidupan semua golongan manusia secara menyeluruh di semua aspek manusia. Tidak ada sebuah sistem yang lebih komprehensif dari Islam. Ketika sistem dan konsepsi lain hanya menawarkan konsep lain, Islam hadir dengan tidak hanya membawa konsep ekonomi saja. Islam juga menawarkan ide politik Islam, pendidikan Islam, sosial budaya Islam, dan semua aspek kehidupan lainnya. Itulah yang menyebabkan Islam layak menjadi masa depan.

Saat ini tantangannya adalah bagaimana para penyeru Islam atau da’i mampu membumikan Islam di tengah tantangan global yang semakin memarginalkan Islam dari kehidupan berbangsa dan berbegara. Bagaimana isu islamophobia begitu kuat di lontarkan di tengah masyarakat. Bagaimana ketidakpercayaan masyarakat pada pemimpin-pemimpin Islam yang kerapkali tidak merepresentasikan Islam. Dan bagaimana kekhawatiran masyarakat jika Islam memimpin Indonesia dengan konsep syariatnya yang saat ini mengalami penyempitan dimensi dan justru mendiskreditkan Islam itu sendiri. Inilah tantangan ke depan yang harus bisa diatasi oleh kepemimpinan Islam.

Oleh karena itu, bukan saatnya lagi Islam hanya hadir di dalam Masjid dan Musholla saja. Ia harus terus dihadirkan pada semua dimensi yang ada. Bagaimana para da`I mengejawantahkan konsep Islam di tengah masyarakat. Juga penting bagaimana para da`I agar tidak kembali lagi terkukung pada sesuatu yang tidak substantif karena memang tantangan yang ada menuntut Islam agar menjadi solusi yang efektif untuk melakukan peubahan dan perbaikan. Bukankah dakwah Islam esensinya adalah at-taghyir (perubahan) dan al-ishlah (perbaikan).

Indonesia kini (tidak) berharap pada semua konsepsi kecuali pada Islam. Ia sangat diharapkan mampu menjadi pemutus lingkaran setan yang namanya masa ketidakpastian itu. Dan kita lihat hasilnya bersama-sama apakah Islam mampu menjawab panggilan itu atau justru jatuh tersungkur pada lubang yang sama untuk kesekian kalinya bersama konsepsi-konsepsi kepemimpinan lainnya. Wallahu a`lam bish-showwab.



 Sofiet Isa M. Setia Hati

sumber gambar: http://media.vivanews.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

25 Facts About Sofiet Isa - Edisi Revisi

Rumahku, Madrasahku

(Bukan) Aktivis Dakwah Kampus: Maulana, Maulana!