Badar pun Memanggil


1000 kepala manusia pun akhirnya tertunduk lesu. 70 orang dari mereka terbunuh sementara 70 lainnya tertawan. Mereka pun harus pulang dengan membawa malu. Padahal, sebelum itu mereka telah membangun sebuah benteng kecongkakan tingkat tinggi.

Demi Allah,” Kata pemimpin mereka, Abu Sofyan, “kami tidak akan pulang sebelum tiba di Badar. Di sana, kami akan tinggal selama tiga hari, memotong ternak, makan beramai-ramai, dan minum arak sambil menyaksikan perempuan-perempuan yang menyanyikan lagu-lagu hiburan. Biarlah seluruh orang Arab mendengar tentang perjalanan kita semua dan biarlah mereka tetap gentar kepeda kita selama-lamanya.”

Mereka pun tersontak kaget. 1000 pasukan terbaik mereka pun hanya dikalahkan dalam waktu sekejap oleh pasukan kecil, 314 orang dengan persenjataan dan persiapan ala kadarnya. Mereka yang datang dengan pengalaman perang kolektif nol inipun akhirnya meruntuhkan benteng kecongkakan Abu Sofyan dan pasukannya. Tapi itulah kenyataannya.

Badar menjadi saksi atas kemenangan gilang gemilang sebuah pasukan peradaban baru di bawah kepemimpinan sang Rasul. Pasukan Muslimin itu pun akhirnya sumringah setelah sebelumnya dilanda kegetiran yang amat sangat sampai-sampai Allah Yang Kuasa pun menenangkan mereka dengan tidur yang panjang. Mereka pun pulang dengan membawa sebuah harapan baru, harapan yang mereka citakan sebelumnya dari sebuah janji sejarahNya. Inilah sejarah manis yang mungkin saja hanya terjadi pertama dan satu-satunya dalam lembar sejarah umat manusia.

Kini, Badar kembali dengan momentum dan masa yang berbeda serta manusia-manusia yang berbeda pula namun dengan substansi yang serupa. Di zamannya, dia memanggil manusia-manusia pilihan yang melahirkan sebuah keajaiban Ilahi. Saat ini pun serupa. Dia sedang memanggil manusia-manusia terpilih yang tugasnya memang untuk menuliskan keajaiban-keajaiban Ilahi di lembaran-lembaran sejarah.

Badar pun kini memanggil kita kembali. Dia sedang memanggil dan terus akan memanggil jiwa-jiwa pembaharu yang terlelap dalam hegemoni modernitas. Dia datang mengetuk pintu-pintu kepahlawanan umat Islam kini. Dan dia sedang menanti tangan-tangan perkasa yang siap tuk merebut amanah sejarah ini dari dinasti jahiliyah nan zhalim. Dia datang kembali untuk menyatukan momentum sejarah dengan orang-orangnya.

Badar pun memanggil. Dia datang memanggil kita kembali untuk bangkit dan melawan. Membangkitkan kesadaran kita untuk melawan bahwa musuh sedang mengelilingi kita dan sangat siap untuk melahap kita habis. Musuh itu kini sedang mengangkangi kita. Memainkan alam bawah sadar kita yang membuat kita tidak sadar akan posisi dan kondisi saat ini.

Mereka kini datang baik dengan wajah manusia-manusia dengan segala sistem dan konsepsi jahil maupun dengan wajah diri kita sendiri. Dan ketahuilah bahwa diri kita sendirilah yang sesungguhnya menjadi musuh utamanya. Abu Bakar r.a. pun dipaksa Sang Rasul untuk melawan dan mematikan musuh utamanya ketika di gua Tsur dalam masa hijrahnya dengan nasihat yang diabadikan dalam Kitab yang mulia. “Janganlah bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” Bahkan, Sang Maksum pun diingatkan Abu Bakar r.a. untuk mengalahkan musuh utamanya dalam perang Badar ketika hatinya menjadi tidak tenang dan berkatalah Abu Bakar, “Ya Rasul Allah, demi diriku yang berada di tangan-Nya, bergembiralah. Sesungguhnya Allah pasti akan memenuhi janji yang telah diberikannya kepadamu.”

Badar pun memanggil. Dia memanggil untuk mengajarkan kita tentang sebuah hakikat kehidupan: keyakinan. Keyakinan akan sebuah cita yang hendak diwujudkan. Keyakinan akan sebuah nilai yang diperjuangkan.

Jumlah 314 dengan kesiapan yang terbatas pun mampu mengalahkan sejumlah tiga kalinya yang memiliki pengalaman dan persenjataan perang jauh lebih baik. Keyakinanlah yang telah memenangkan mereka di samping pertolongan Sang Ilahi. Kualitas dan kuantitas yang terbatas tidak menjadi tembok penghalang bagi mereka. Bagi mereka itu menjadi tidak penting lagi. Bagi mereka yang jauh lebih penting adalah bagaimana mengoptimalkan segala potensi baik kualitas mapun kuantitas yang terbatas tersebut menjadi sebuah kekuatan yang dahsyat. Ibarat air dengan jumlah yang sama, air yang hanya diam dalam wadahnya tidak akan menghasilkan kekuatan kecuali jika ia dialirkan hingga ia mampu mentransformasikan energi potensinya menjadi energi gerak.

Badar pun memanggil. Dia memanggil untuk menyatukan kita dalam ikatan kokoh, ikatan yang dibangun atas dasar musyawarah. Potensi-potensi tak akan terbuang percuma jika musyawarah menjadi penyatunya. Partikel-partikel atomik pun saling direkatkan olehnya. Mudah bagi musuh untuk melumat daun-daun yang berserakan jika ia tidak segera diikat.

Habbab bin Mundzir pun mengajukan hak bertanya dalam persiapan menghadapi Quraisy di Lembah Badar kepada Rasul tentang pemilihan tempat pertahanan kaum Muslimin. “Ya Rasulullah, apakah dalam memilih tempat ini Anda menerima wahyu dari Allah SWT yang tidak dapat diubah lagi? Ataukah berdasarkan tipu muslihat peperangan?" Dengan jujur, Rasul menjawab bahwa ini adalah hasil pendapat Beliau pribadi. Akhirnya Rasul pun mengikuti saran Habbab bin Mundzir untuk memindahkan tempat pertahanan dengan jawaban yang bijak: “Pendapatmu sungguh baik

Inilah sebuah konsep luar biasa. Dan badar memanggil kita untuk segera merapatkan barisan, mengatur ulang mimpi serta strategi kita, dan memperjuangkan tegaknya kalimat Ilahi secara satu dan terpadu. Buang jauh jarak yang ada sebagaimana Rasul yang menerima pendapat Shahabatnya dengan musyarawarah sebagai asasnya.

Badar pun memanggil. Dia memanggil kita untuk mengembalikan semua bentuk tawakal kita hanya padaNya. Segala sesuatu ada di tanganNya. Di lembah bersejarah itu, Rasul terus menerus memanjatkan penghambaannya kepada Allah hingga terabadikan dalam Qur’an yang mulia.

(ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: "Sesungguhnya aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu Malaikat yang datang berturut-turut".(QS. 8:9)

Di sinilah segala bentuk kerja-kerja kita disandarkan. Tiada tempat mengharap. Tiada tempat kembali. Tiada tempat berkeluh kesah selain hanya padaNya. Ingatlah, Allah Maha Adil. Dia akan memberikan balasan sesuai apa yang telah kita lakukan. Yang dapat kita lakukan hanyalah mengupayakan agar kehendak kita bertemu dengan kehendak Allah. Dan inilah tawakkal itu.

Itulah Badar yang menjadi inspirasi kita. Ia terus hidup untuk memanggil kembali sang Pahlawan Ilahiah untuk bersegera bangkit dan membangun cita: tegaknya kalimat tauhid. Dan ia masih mencari. Pertanyaannya saat ini akankah kita adalah yang ia cari. Hanya kitalah yang tahu.



Sofiet Isa M. Setia Hati

sumber gambar:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEit5J2d4DQhkmRIMGdfHfP0xz7kPFTk1Q3dSZJk_o7fU6pDrcpIYGpyXoR-ttYSR4-SjseN1tI_ChX9Sf7ArnqX1g17OdJpdcRT0gSZHLDi3joUqYRKNPVKgnAHKRKSaMwpYNsKBnotlitm/s1600/a.jpg 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

25 Facts About Sofiet Isa - Edisi Revisi

Rumahku, Madrasahku

(Bukan) Aktivis Dakwah Kampus: Maulana, Maulana!