Menuju Persatuan Gerak Gerakan Islam


Sebenarnya aku ini orang Ansar yang terbanyak hartanya”, kata Saad bin Rabi’ dari kaum Anshar kepada saudara barunya Abdurrahman bin ‘Auf dari kaum Muhajjirin. “sekarang aku hendak bagi dua, istriku pun dua, kau pilihlah mana seorang daripada mereka yang berkenan di hatimu, dan aku hendak ceraikan. Selepas habis iddahnya maka nikahilah”, lanjutnya.

“Semoga Allah memberikan keberkahan pada keluarga dan hartamu”, Jawab Abdurrahman bin ‘Auf. “ aku hanya ingin tahu dimana letak pasar." Lalu, Saad bin Rabi’ pun menunjukkan letak pasa Bani Qunaiqa’.

Inilah sebuah cerita indah dan langka yang terangkum dalam Shahih Muslim dimana persatuan serta persaudaraan melahirkan sebuah produktivitas luar biasa: peradaban Islam. Proyek persaudaraan yang dilakukan oleh Rasulullah antara Anshar dan Muhajirin itupun akhirnya menemui hasilnya. Inilah yang menjadi pondasi bagi terbentuknya peradaban Islam hingga ia tegak berdiri sampai saat ini.

Bayangkan, kondisi bangsa Arab saat itu terpecah belah dalam kabilah-kabilah yang terbagi atas dasar hubungan darah dimana perang antar kabilah seolah menjadi rutinitas mereka. Dan itulah salah satu masalah utama bangsa Arab saat itu. Bahkan, pada kasus perang Dahis dan Gambra, hanya karena suatu kecurangan pada sebuah perlombaan pacuan kuda saja, terjadi peperangan hingga 40 tahun.

Bayangkan pula jika proyek yang dilakukan oleh Rasul ini mengalami kegagalan. Bukan hanya akan menghasilkan sebuah perang baru yang mungkin saja menjadi terbesar sepanjang sejarah Arab. Akan tetapi, peradaban Islam juga tidah akan pernah tercatat dalam lembaran sejarah umat manusia. Islam hanya mampu bertahan sangat singkat ketika kondisi seperti terjadi.

Saat ini, permasalah serupa pun melanda umat Islam. Konsep nation state yang membagi-bagi dunia dalam negara-negara yang berdasarkan suku, ras, dan bangsa telah membuat umat Islam terkotakan dalam paradigma sempit. Persaudaaran hanya dikenal dan dibatasi oleh suatu kawasan geografis tertentu. Seakan-akan tidak ada hubungan apapun (kecuali hubungan kemanusiaaan) antara satu negara bangsa dengan negara bangsa lain.

Ini semakin diperparah dengan kondisi dimana umat Islam saat ini yang terpecah belah dalam bingkai madzhab, aliran, harakah, dan sebagainya. Ada madzhab yang empat: Maliki, Hambali, Syafii, dan Hanafi. Ada pula harakah atau gerakan yang bermacam-macam pula: Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, Salafy, dan sebagainya. Dalam konteks ke-Indonesia-an, ada Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Hidayatullah, dan sebagainya.

Ini menjadi sebuah permasalahan yang akut saat ini ketika perbedaaan-perbedaan yang ada sering kali mengalami pergesekan yang tak ayal membuat persaingan tidak sehat antar umat Islam itu sendiri. Ada yang merasa bangga dengan golongannya sendiri sehingga meremehkan yang lain. Ada yang merasa paling benar dengan menafikan kebenaran yang berasal dari golongan lain. Bahkan, Ada yang sengaja menjegal golongan lain padahal memiliki tujuan yang sama.

Tantangan yang ada semakin mendesak umat Islam untuk tampil di mata dunia sebagai suatu solusi atas “kekeringan” dunia akan nilai. Ini mustahil tercapai tanpa adanya sebuah sinergitas antar elemen umat Islam. Kenyataan yang ada tak bisa dipungkiri. Umat ini belum mampu bersinergi sehingga energi yang ada habis terkuras untuk permasalahan-permasalahan internal.

Sebenarnya perbedaan-perbedaan ini bukanlah sebuah permasalahan. Di zaman Rasul pun klan kesukuan di antara kaum muslimin masih tampak mencolok meskipun Islam telah hadir sebagai sebuah peradaban baru yang disegani di tengah-tengah hegemoni jahiliah. Terlihat dari berberapa perdebatan antara Muhajirin yang didominasi Quraisy dan Anshar yang didominasi oleh suku Aus dan Khajraj sebagai penduduk lokal Madinah serta Bani Hasyim sebagai suku terbaik di antara Quraisy. Namun, sosok Rasulullah mampu mengayomi semua perbedaan yang ada sehingga perselihan tidak terjadi dan kejayan Islam menjadi suatu hal yang nyata.

Di sinilah kelemahan umat Islam saat ini. Belum ada satu sosok pun yang mampu mengayomi seluruh umat Islam dan mampu diterima dengan baik oleh semua. Para pemimpin umat ini hadir seakan-akan hanya untuk memimpin golongan atau gerakannya saja. Umat ini rindu akan sosok Rasul, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan para Shahabat yang dengan padai memainkan peranannya masing-masing.

Selain itu, perasaan rendah hati dan open mind masih langka ditemui. Jika perasaan ini dimiliki minimal oleh para pemimpin diantara golongan dan gerakan-gerakan Islam yang ada maka akan mudah untuk menyatukan gerak demi kejayaan Islam. Tidak ada lagi egoisitas yang nampak sehingga kasus dimana anggapan Islam harus dan hanya dapat ditegakkan oleh golongan tertentu saja tidak ada lagi.

Umat ini memiliki visi yang sama: kejayaan Islam, namun menempuh jalan yang berbeda-beda. Ada yang dengan jalan keras dan terkesan radikal. Ada yang menggunakan jalan legal versi sistem yang ada. Ada pula yang menggunakan jalan yang mudah dan moderat. Seperti hendak bersafari ke suatu tempat maka banyak cara yang dapat dilakukan: berjalan kaki, menggunakan sepeda, motor, mobil, pesawat dan lain-lain. Ini bukan menjadi masalah selagi semua yang bersafari saling tolong-menolong mencapai tujuan yang sama dan tidak saling menjegal.

Untuk itulah dibutuhkan dialog antar gerakan Islam untuk saling membuka pikiran dan duduk satu forum untuk menyamakan sinergisitas gerak. Misal, dengan itu didapatkan suatu hasil bahwa gerakan A membangun Islam dengan fokus pada pembinaan umat. Gerakan B fokus pada pembangunan opini publik. Gerakan C fokus pada penyiapapan perangkat perundangan untuk legalisasi gerak sementara gerakan D fokus untuk mempersiapkan segala yang dibutuhkan jika kondisi gawat darurat (baca: perang atau revolusi) terjadi. Ini hanya dapat dilakukan jika egoisitas dihilangkan dan sikap terbuka diusung.

Dalam konteks ke-Indonesia-an, umat Islam memiliki berbagai macam forum yang mempersatukan semua gerakan. Ada Majelis Ulama Indonesia, ada Forum Umat Islam, dan masih banyak lagi forum yang berfungsi sebagai media dialog gerakan Islam. Oleh karena itu, forum-forum yang ada dituntut untuk memacu fungsi ini.

Terakhir, yang dibutuhkan umat ini adalah kefahaman lebih tentang hakikat ukhuwah Islamiyah. Pembinaan-pembinaan yang ada hendaknya mampu menghasilkan pribadi-pribadi muslim yang mampu hidup di tengah muslim lain dengan segala perbedaannya. Oleh karena itu, gerakan-gerakan yang ada dituntut sebagai fasilitator dalam membina umat ini menuju kesatuan gerak.

Betatapun sulitnya menyatukan perbedaan-perbedaan yang ada, sinergisitas menjadi kunci utama untuk membuka satu pintu kesuksesan yaitu kejayaan Islam. Saat ini yang kita harapkan hanyalah suatu waktu dimana ukhuwah Islamiyah benar-benar menjadi semen perekat untuk menyatukan batu bata peradaban Islam. Semoga Allah yang Maha Menyatukan hati memperkenanan harapan dan meridhai setiap langkah serta upaya kita menuju persatuan gerak gerakan Islam. Amin.

Komentar

  1. artikel ini ditulis tanpa landasan jelas, tanpa meneliti lebih lanjut, hanya dari otak belaka.

    BalasHapus
  2. Namanya juga opini mas.... kalo pake peneilitan namanya karya ilmiah.... hahaha..... nampak2nya artikel beserta komen yang pertama tak jauh beda....piss....

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

25 Facts About Sofiet Isa - Edisi Revisi

Rumahku, Madrasahku

(Bukan) Aktivis Dakwah Kampus: Maulana, Maulana!