Republik Rokok Indonesia
Saudara-saudaraku,
Bayangkan, saat ini kita berada di sebuah negeri dengan sejuta pesona yang nyata di depan kedua bola mata. Di negeri itu, kita merasakan seakan-akan kita berada dalam sebuah taman-taman surga firdaus. Pun, kita juga dapat menyaksikan jutaan masjid berdiri megah manandakan religiusitas yang tinggi. Kita pun menyaksikan berjuta anak negeri yang menggambarkan bahwa harapan itu masih ada.
Saudara-saudaraku,
Tahukan kalian negeri apa itu? Indonesia jawabnya. Memang benar negeri ini adalah sebuah negeri impian yang menjadi surga khatulistiwa. Tidak ada satu makhluk pun yang menyangkalnya. Itulah republik ini yang menyimpan pesona yang menyilaukan mata ini atas realita.
Saudara-saudaraku,
Namun, tahukan kalian bahwa tiap tahunnya, negeri ini sanggup membakar uang 100 triliun rupiah dengan percuma sementara anggaran pembangunan negeri ini hanya 71 triliun rupiah. Tahukah kalian bahwa tiap tahunnya negeri ini mampu menghabiskan biaya hingga 150 triliun rupiah untuk menanggung biaya pengobatan sebagai efek samping atas kesia-siaan tadi. Tahukah kalian pula bahwa sekitar 1 dari 3 anak berusia 15-19 tahun telah melakukan kesia-siaan ini.
Saudara-saudaraku,
Rokok, pengguna, dan efeknya lah yang sedang kita bicarakan saat ini. Bayangkan realita di atas. Sungguh mengerikan. Bagaimana uang sebanyak itu terbakar sia-sia hanya untuk hisapan mematikan yang telah mendarah daging. Bagaimana pula ia mampu menjadi candu yang jauh lebih berbahaya ketimbang opium. Bagaimana pula cukainya mampu menjadi salah satu penopang utama pembangunan negeri ini. Dan yang paling mengkhawatirkan adalah jumlah remaja dan anak-anak yang mengkonsumsinya. Hendak dibawa kemana negeri ini jika para pewaris sahnya malah asyik duduk di pojokan sambil memainkan lintingan rokok yang dipeluknya. Tiada yang mereka pikirkan kecuali bagaimana besok mendapatkan uang untuk kembali mengkonsumsinya.
Kita juga lihat sekarang bagaimana hamppir setiap kegiatan disponsori oleh perusahaan rokok. Mulai dari kegiatan olahraga hingga kegiatan keagamaan, perusahaan rokok menjadi tulang punggung pembiayaannya. Mulai dari pusat perkotaan hingga sudut-sudut pedesaan sekalipun iklan rokok mampu merajai persaingan yang ada. Promosinya dilakukan dengan amat sangat masif dan mampu mengalahkan promosi partai dan caleg untuk pemilu 2009. Bahkan, hampir tak ada satu warung atau toko kebutuhan pokok yang tidak ada penjualan rokok di dalamnya. Tak ayal, rokok telah menjadi telah menjadi kebutuhan primer kelima setelah sandang, pangan, papan, dan telekomunikasi.
Saudara-saudaraku,
Mari kita kembali berfikir jernih. Pernahkah kita menghitung-hitung antara kemudharatan dan kemanfaatan yang dihasilkan oleh konsumsi rokok. Kalau kita mau jujur, rokok pun memberikan kemanfaatan untuk kita. Bolehlah para perokok aktif menyebutkan kenikmatan-kenikmatan ketika menghisapnya dan ketidaknikmatan ketika tidak melakukannya. Tapi, yang pasti, rokok telah menajdi sumber devisa negara. Puluhan triliun rupiah masuk ke kas negara hanya dari cukainya. Pun, dengan pemanfaatan sumber daya manusia. Puluhan, bahkan ratusan ribu manusia negeri ini dipekerjaan untuk memproduksi rokok. Ini otomatis akan mereduksi tingkat pengangguran.
Namun, kita juga harus lebih jujur lagi bahwasanya efek negatif yang diproduksi sebatang rokok jauh lebih besar ketimbang efek positifnya. Dari sisi medis, jelas bahwa pendeknya usia berbanding lurus dengan tingkat konsumsi rokok. Dari sisi sosial, rokok akan menyebabkan manusia semakin konsumtif dan apatis terhadap para perokok pasif. Apalagi dari perspektif ekonomi. Rokok sejatinya menimbulkan kerugian baik bagi negara maupun manusianya.
Kita perhatikan sekarang. Majelis Ulama Indonesia telah menerbitkan fatwa “haram” atas rokok. Inti dari fatwa ini adalah rokok diharamkan bagi objek-objek tertentu dan di kondisi tertentu. Meskipun banyak kalangan yang menganggap ini sebagai fatwa banci yang amat sangat tidak jelas dan tegas serta berkelamin ganda, namun ini sanggup menyentil semua kalangan untuk memikirkan dan membincangkan kembali akan efek yang dihasilkan rokok. Yah, kita tunggu saja apa yang mampu diubah dengan terbitnya fatwa ini.
Namun, ada hal asasi yang terlupakan. Apapun fatwanya, rokok tidak akan mungkin bisa dihilangkan dari bibir-bibir penikmatnya selagi belum ada sistem yang baik. Sebuah sistem yang mampu memberikan win-win solution baik bagi produsen maupun konsumen mutlak diperlukan. Bagaimana para pengusaha dan juga karyawan tidak kehilangan pendapatannya dengan adanya sistem ini. Pun dengan konsumennya yang tidak terdzhalimi dengan sistem ini. Yah, semoga kita semakin dewasa melihat masalah konsumsi rokok dengan perspektif yang luas.
Kalau ada pihak yang menginginkan Republik ini menjadi Republik Islam Indonesia atau Republik Liberal Indonesia ataupun Republik Sosial Indonesia, maka rubahlah republik ini terlebih dahulu menjadi lebih baik sehingga bukan lagi menjadi Republik Rokok Indonesia.
Bayangkan, saat ini kita berada di sebuah negeri dengan sejuta pesona yang nyata di depan kedua bola mata. Di negeri itu, kita merasakan seakan-akan kita berada dalam sebuah taman-taman surga firdaus. Pun, kita juga dapat menyaksikan jutaan masjid berdiri megah manandakan religiusitas yang tinggi. Kita pun menyaksikan berjuta anak negeri yang menggambarkan bahwa harapan itu masih ada.
Saudara-saudaraku,
Tahukan kalian negeri apa itu? Indonesia jawabnya. Memang benar negeri ini adalah sebuah negeri impian yang menjadi surga khatulistiwa. Tidak ada satu makhluk pun yang menyangkalnya. Itulah republik ini yang menyimpan pesona yang menyilaukan mata ini atas realita.
Saudara-saudaraku,
Namun, tahukan kalian bahwa tiap tahunnya, negeri ini sanggup membakar uang 100 triliun rupiah dengan percuma sementara anggaran pembangunan negeri ini hanya 71 triliun rupiah. Tahukah kalian bahwa tiap tahunnya negeri ini mampu menghabiskan biaya hingga 150 triliun rupiah untuk menanggung biaya pengobatan sebagai efek samping atas kesia-siaan tadi. Tahukah kalian pula bahwa sekitar 1 dari 3 anak berusia 15-19 tahun telah melakukan kesia-siaan ini.
Saudara-saudaraku,
Rokok, pengguna, dan efeknya lah yang sedang kita bicarakan saat ini. Bayangkan realita di atas. Sungguh mengerikan. Bagaimana uang sebanyak itu terbakar sia-sia hanya untuk hisapan mematikan yang telah mendarah daging. Bagaimana pula ia mampu menjadi candu yang jauh lebih berbahaya ketimbang opium. Bagaimana pula cukainya mampu menjadi salah satu penopang utama pembangunan negeri ini. Dan yang paling mengkhawatirkan adalah jumlah remaja dan anak-anak yang mengkonsumsinya. Hendak dibawa kemana negeri ini jika para pewaris sahnya malah asyik duduk di pojokan sambil memainkan lintingan rokok yang dipeluknya. Tiada yang mereka pikirkan kecuali bagaimana besok mendapatkan uang untuk kembali mengkonsumsinya.
Kita juga lihat sekarang bagaimana hamppir setiap kegiatan disponsori oleh perusahaan rokok. Mulai dari kegiatan olahraga hingga kegiatan keagamaan, perusahaan rokok menjadi tulang punggung pembiayaannya. Mulai dari pusat perkotaan hingga sudut-sudut pedesaan sekalipun iklan rokok mampu merajai persaingan yang ada. Promosinya dilakukan dengan amat sangat masif dan mampu mengalahkan promosi partai dan caleg untuk pemilu 2009. Bahkan, hampir tak ada satu warung atau toko kebutuhan pokok yang tidak ada penjualan rokok di dalamnya. Tak ayal, rokok telah menjadi telah menjadi kebutuhan primer kelima setelah sandang, pangan, papan, dan telekomunikasi.
Saudara-saudaraku,
Mari kita kembali berfikir jernih. Pernahkah kita menghitung-hitung antara kemudharatan dan kemanfaatan yang dihasilkan oleh konsumsi rokok. Kalau kita mau jujur, rokok pun memberikan kemanfaatan untuk kita. Bolehlah para perokok aktif menyebutkan kenikmatan-kenikmatan ketika menghisapnya dan ketidaknikmatan ketika tidak melakukannya. Tapi, yang pasti, rokok telah menajdi sumber devisa negara. Puluhan triliun rupiah masuk ke kas negara hanya dari cukainya. Pun, dengan pemanfaatan sumber daya manusia. Puluhan, bahkan ratusan ribu manusia negeri ini dipekerjaan untuk memproduksi rokok. Ini otomatis akan mereduksi tingkat pengangguran.
Namun, kita juga harus lebih jujur lagi bahwasanya efek negatif yang diproduksi sebatang rokok jauh lebih besar ketimbang efek positifnya. Dari sisi medis, jelas bahwa pendeknya usia berbanding lurus dengan tingkat konsumsi rokok. Dari sisi sosial, rokok akan menyebabkan manusia semakin konsumtif dan apatis terhadap para perokok pasif. Apalagi dari perspektif ekonomi. Rokok sejatinya menimbulkan kerugian baik bagi negara maupun manusianya.
Kita perhatikan sekarang. Majelis Ulama Indonesia telah menerbitkan fatwa “haram” atas rokok. Inti dari fatwa ini adalah rokok diharamkan bagi objek-objek tertentu dan di kondisi tertentu. Meskipun banyak kalangan yang menganggap ini sebagai fatwa banci yang amat sangat tidak jelas dan tegas serta berkelamin ganda, namun ini sanggup menyentil semua kalangan untuk memikirkan dan membincangkan kembali akan efek yang dihasilkan rokok. Yah, kita tunggu saja apa yang mampu diubah dengan terbitnya fatwa ini.
Namun, ada hal asasi yang terlupakan. Apapun fatwanya, rokok tidak akan mungkin bisa dihilangkan dari bibir-bibir penikmatnya selagi belum ada sistem yang baik. Sebuah sistem yang mampu memberikan win-win solution baik bagi produsen maupun konsumen mutlak diperlukan. Bagaimana para pengusaha dan juga karyawan tidak kehilangan pendapatannya dengan adanya sistem ini. Pun dengan konsumennya yang tidak terdzhalimi dengan sistem ini. Yah, semoga kita semakin dewasa melihat masalah konsumsi rokok dengan perspektif yang luas.
Kalau ada pihak yang menginginkan Republik ini menjadi Republik Islam Indonesia atau Republik Liberal Indonesia ataupun Republik Sosial Indonesia, maka rubahlah republik ini terlebih dahulu menjadi lebih baik sehingga bukan lagi menjadi Republik Rokok Indonesia.
Komentar
Posting Komentar