Menyoal Nasib Indonesia, Go Open Source (IGOS)
Kita semua harus jujur bahwa perkembangan Teknologi Informasi (TI) di Indonesia masih tergolong lambat. Pemanfaatan TI belumlah merata pada seluruh wilayah Indonesia dan pada seluruh kalangan masyarakat. Faktor biaya dan kemudahan penggunaan masih menjadi alasan mendasar. Padahal, salah satu parameter kemajuan sebuah bangsa dan negara adalah bagaimana pemafaatan produk berteknologi tingga dimana TI menjadi sangat vital keberadaannya.
Di satu sisi, daya saing di bidang TI harus ditingkatkan dengan biaya serendah mungkin dan kualitas sebaik mungkin. Sementara di sisi lain, pembajakan terhadap perangkat lunak menjadi hal yang seolah-olah legal akibat monopoli pengembangan produk TI tersebut. Sebagai salah satu contoh adalah harga sebuah OS (Operating System), Vista Home Basic milik produsen Windows “hanya” dihargai sekitar 118,91 USD atau Rp 1.118.910 (jika 1 USD = Rp 10.000,00). Tak ayal, konsumen “dipaksa” untuk memakai versi bajakan seharga tak lebih dari lima ribu rupaih (harga sewa di sejumlah rental perangkat lunak) dengan kualitas yang tak jauh beda meskipun dengan lisensi yang ilegal.
Kondisi ini memperoleh jalan keluar ketika perkembangan perangkat lunak berbasis open source dimana lisensi atasnya disebarkan secara bebas alias gratis semakin pesat. Operating system berbasis open source LINUX contohnya. Dengan pengembangan dan penyebarluasan yang terbuka, LINUX ternyata mampu bersaing di tengah monopoli Windows dan Macintosh dan semakin diminati kalangan TI dunia.
Berangkat dari kondisi inilah, pada 30 Juni 2004, lima kementerian: Kementerian Ristek, Depkominfo, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Negera PAN, dan Depdiknas secara bersama-sama mendeklarasikan Indonesia, Go Open Source (IGOS). IGOS secara umum dapat dipahami sebagai sebuah program bersama untuk memanfaatkan perangkat-perangkat lunak berbasis open source.
Secara umum, ada lima aksi nyata yang hendak ditawarkan IGOS. Pertama, penggunaan perangkat lunak legal di setiap instansi pemerintah. Kedua, penyebarluasan pemanfaatan open source. Ketiga, penyiapan panduan dalam pengembangan dan pemanfaatan open source. Keempat, mendorong terbentuknya pusat-pusat pelatihan, competency center dan pusat-pusat inkubator bisnis berbasis open source di Indonesia. Terakhir, mendorong dan meningkatkan koordinasi, kemampuan, kreativitas, kemauan dan partisipasi di kalangan pemerintah dan masyarakat dalam pemanfaatan open source secara maksimal.
Saat ini atau lima tahun semenjak deklarasi IGOS, sepertinya belum ada perkembangan yang patut untuk dibanggakan atas program IGOS ini. Pembajakan hak atas kekayaan intelektual makin merajalela termasuk pembajakan perangkat lunak tentunya. Sementara proses peralihan atas perangkat lunak ilegal maupun perangkat lunak close source yang berbiaya amat tinggi terkesan sangat lambat. Proses peralihan ini kemudian semakin “dinodai” dengan ditandatanganinya kerjasama pengembangan infrastruktur TI di Indonesia antara presiden Susilo Bambang Yudoyono dengan pihak Microsoft yang jelas-jelas agen monopoli TI terbesar di dunia.
Evaluasi atas lima kebijakan di atas terlihat belum memuaskan. Pemanfaatan perangkat lunak legal dan/atau berbasis open source minimal di instansi pemerintahan belum berjalan lancar dimana mayoritas penggunaan perangkat lunak masih konvensional (baca: ilegal). Sementara itu, meskipun penyebarluasan dan pelatihan perangkat lunak berbasis open source sudah mulai marak, namun antusiasme konsumen hanya terbatas pada kalangan yang sudah melek TI saja. Sementara itu, masyarakat Indonesia secara umum yang harus diakui masih awam akan TI lagi-lagi masih menggunakan perangkat lunak konvensional (baca: ilegal) dan masih belum tertarik beralih kepada yang legal dan murah.
Melihat perkembangan IGOS yang cenderung lambat inilah, seharusnya dijadikan sebagai momentum balik untuk lebih membumikan IGOS. IGOS harus kembali menjadi semangat peningkatan kualitas TI di Indonesia sehingga harus ada kesepakatan ulang antar semua pihak yang berkentingan.
Pihak pertama adalah pemerintah. Pemerintah dituntut memiliki political will dalam pengembangan IGOS yang diwujudkan dalam bentuk regulasi. Pertama, pemerintah beserta jajaran aparatnya dituntut untuk memfasilitasi penyebarluasan perangkat lunak open source baik dalam bentuk sosialisasi, pelatihan, maupun pemasangan instalasi berbasis open source di lingkungan instansi pemerintahan serta semua badan milik negara termasuk lembaga pendidikan negeri. Kedua, pemerintah harus menutup segala bentuk pembajakan baik di tingkat produksi, distribusi maupun konsumsi. Ketiga, pemerintah harus membuat regulasi tantang konversi atas perangkat lunak ilegal dan/atau berbiaya mahal ke perangkat lunak berbasis open source yang bebas dan terbuka sehingga dapat menekan anggaran belanja negara dan pengeluaran yang berlebihan masyarakat.
Pihak kedua adalah pasar terutama produsen. Pasar hendaknya mempersempit praktek monopolinya atas TI yang membatasi pemanfaatan dan pengembangan TI secera terbuka. Pihak produsen dituntut untuk menurunkan harga jual produknya atau minimal membuat versi open source atas sekian banyak versi close source sehingga dapat dikembangkan oleh anak negeri.
Pihak ketiga adalah akademisi dan para ahli. Mereka dituntut untuk membantu pemerintah dalam hal penyebarluasan dan pengembangan perangkat lunak berbasis open source. Banyak hal yang dapat dilakukan, baik dengan membuka pelatihan, pembagian perangkat lunak secara cuma-cuma, maupun mengembangkan produk open source agar lebih mudah digunakan konsumen dengan kualitas yang lebih baik.
Pihak terakhir adalah masyarakat sebagai konsumen itu sendiri. Masyarakat dituntut untuk memiliki kesadaran yang tinggi untuk menggunakan dan memanfaatkan produk IT secara legal dan murah dengan memanfaatkan open source.
Inilah yang harus menjadi fokus utama kita sebagai salah satu pihak yang menjadi objek maupun subjek pengembangan TI di Indonesia terutama proyek besar bernama IGOS demi menatap masa depan TI Indonesia yang mandiri dan berkualitas.
Di satu sisi, daya saing di bidang TI harus ditingkatkan dengan biaya serendah mungkin dan kualitas sebaik mungkin. Sementara di sisi lain, pembajakan terhadap perangkat lunak menjadi hal yang seolah-olah legal akibat monopoli pengembangan produk TI tersebut. Sebagai salah satu contoh adalah harga sebuah OS (Operating System), Vista Home Basic milik produsen Windows “hanya” dihargai sekitar 118,91 USD atau Rp 1.118.910 (jika 1 USD = Rp 10.000,00). Tak ayal, konsumen “dipaksa” untuk memakai versi bajakan seharga tak lebih dari lima ribu rupaih (harga sewa di sejumlah rental perangkat lunak) dengan kualitas yang tak jauh beda meskipun dengan lisensi yang ilegal.
Kondisi ini memperoleh jalan keluar ketika perkembangan perangkat lunak berbasis open source dimana lisensi atasnya disebarkan secara bebas alias gratis semakin pesat. Operating system berbasis open source LINUX contohnya. Dengan pengembangan dan penyebarluasan yang terbuka, LINUX ternyata mampu bersaing di tengah monopoli Windows dan Macintosh dan semakin diminati kalangan TI dunia.
Berangkat dari kondisi inilah, pada 30 Juni 2004, lima kementerian: Kementerian Ristek, Depkominfo, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Negera PAN, dan Depdiknas secara bersama-sama mendeklarasikan Indonesia, Go Open Source (IGOS). IGOS secara umum dapat dipahami sebagai sebuah program bersama untuk memanfaatkan perangkat-perangkat lunak berbasis open source.
Secara umum, ada lima aksi nyata yang hendak ditawarkan IGOS. Pertama, penggunaan perangkat lunak legal di setiap instansi pemerintah. Kedua, penyebarluasan pemanfaatan open source. Ketiga, penyiapan panduan dalam pengembangan dan pemanfaatan open source. Keempat, mendorong terbentuknya pusat-pusat pelatihan, competency center dan pusat-pusat inkubator bisnis berbasis open source di Indonesia. Terakhir, mendorong dan meningkatkan koordinasi, kemampuan, kreativitas, kemauan dan partisipasi di kalangan pemerintah dan masyarakat dalam pemanfaatan open source secara maksimal.
Saat ini atau lima tahun semenjak deklarasi IGOS, sepertinya belum ada perkembangan yang patut untuk dibanggakan atas program IGOS ini. Pembajakan hak atas kekayaan intelektual makin merajalela termasuk pembajakan perangkat lunak tentunya. Sementara proses peralihan atas perangkat lunak ilegal maupun perangkat lunak close source yang berbiaya amat tinggi terkesan sangat lambat. Proses peralihan ini kemudian semakin “dinodai” dengan ditandatanganinya kerjasama pengembangan infrastruktur TI di Indonesia antara presiden Susilo Bambang Yudoyono dengan pihak Microsoft yang jelas-jelas agen monopoli TI terbesar di dunia.
Evaluasi atas lima kebijakan di atas terlihat belum memuaskan. Pemanfaatan perangkat lunak legal dan/atau berbasis open source minimal di instansi pemerintahan belum berjalan lancar dimana mayoritas penggunaan perangkat lunak masih konvensional (baca: ilegal). Sementara itu, meskipun penyebarluasan dan pelatihan perangkat lunak berbasis open source sudah mulai marak, namun antusiasme konsumen hanya terbatas pada kalangan yang sudah melek TI saja. Sementara itu, masyarakat Indonesia secara umum yang harus diakui masih awam akan TI lagi-lagi masih menggunakan perangkat lunak konvensional (baca: ilegal) dan masih belum tertarik beralih kepada yang legal dan murah.
Melihat perkembangan IGOS yang cenderung lambat inilah, seharusnya dijadikan sebagai momentum balik untuk lebih membumikan IGOS. IGOS harus kembali menjadi semangat peningkatan kualitas TI di Indonesia sehingga harus ada kesepakatan ulang antar semua pihak yang berkentingan.
Pihak pertama adalah pemerintah. Pemerintah dituntut memiliki political will dalam pengembangan IGOS yang diwujudkan dalam bentuk regulasi. Pertama, pemerintah beserta jajaran aparatnya dituntut untuk memfasilitasi penyebarluasan perangkat lunak open source baik dalam bentuk sosialisasi, pelatihan, maupun pemasangan instalasi berbasis open source di lingkungan instansi pemerintahan serta semua badan milik negara termasuk lembaga pendidikan negeri. Kedua, pemerintah harus menutup segala bentuk pembajakan baik di tingkat produksi, distribusi maupun konsumsi. Ketiga, pemerintah harus membuat regulasi tantang konversi atas perangkat lunak ilegal dan/atau berbiaya mahal ke perangkat lunak berbasis open source yang bebas dan terbuka sehingga dapat menekan anggaran belanja negara dan pengeluaran yang berlebihan masyarakat.
Pihak kedua adalah pasar terutama produsen. Pasar hendaknya mempersempit praktek monopolinya atas TI yang membatasi pemanfaatan dan pengembangan TI secera terbuka. Pihak produsen dituntut untuk menurunkan harga jual produknya atau minimal membuat versi open source atas sekian banyak versi close source sehingga dapat dikembangkan oleh anak negeri.
Pihak ketiga adalah akademisi dan para ahli. Mereka dituntut untuk membantu pemerintah dalam hal penyebarluasan dan pengembangan perangkat lunak berbasis open source. Banyak hal yang dapat dilakukan, baik dengan membuka pelatihan, pembagian perangkat lunak secara cuma-cuma, maupun mengembangkan produk open source agar lebih mudah digunakan konsumen dengan kualitas yang lebih baik.
Pihak terakhir adalah masyarakat sebagai konsumen itu sendiri. Masyarakat dituntut untuk memiliki kesadaran yang tinggi untuk menggunakan dan memanfaatkan produk IT secara legal dan murah dengan memanfaatkan open source.
Inilah yang harus menjadi fokus utama kita sebagai salah satu pihak yang menjadi objek maupun subjek pengembangan TI di Indonesia terutama proyek besar bernama IGOS demi menatap masa depan TI Indonesia yang mandiri dan berkualitas.
Komentar
Posting Komentar