Fit And Proper Test Ke-ikhwah-an Kita
Jum’at, 26 September 2008, 07:09 WIB, Gedung Jurusan Teknik Elektro FT UGM.
Kulangkahkan kedua kakiku melewati lorong Gedung Jurusan Teknik Elektro (JTE) yang begitu sunyi meskipun mentari telah tersenyum lebar di luar sana. Kuayunkan kaki-kaki ini menuju ruang kuliah E5, sebuah ruang mungil di lantai 3 gedung JTE tuk mengikuti kuliah probabilitas dan statistika.
Ada yang menggelitik hati ini kala itu. Kala ku buka pintu ruang kuliah E5, ternyata tak seorang pun berada di dalamnya. Tidak mahasiswa, tidak pula dosen pengajar berada di sana. Padahal, seharusnya kegiatan perkuliahan telah berjalan beberapa saat yang lalu. Pertanyaannya: dimana mereka semua berada.
Pandangan mataku kulempar ke arah yang lain. Tak jauh dari ruang kuliah E5, di sebuah sudut lorong gedung JTE, sekumpulan mahasiswa sedang sibuk melakukan sebuah aktivitas. Mereka sibuk dengan kertas yang akan mereka tintai. Kureka mereka sedang menulis sesuatu yang amat penting. Sebuah pemandangan yang sudah biasa bagiku kala itu karena sepekan sebelumnya dosen pengajar memberikan pekerjaan rumah. Apalagi kalau bukan proses pemindahan jawaban dari satu kertas ke kertas lainnya yang bersumber pada satu kertas “suci”. Plagiatisme!!!
Menyedihkan. Sungguh menyedihkan ketika kulihat ada segelintir orang yang kuanggap sebagai aktivis dakwah berhimpun di majelis tersebut. Mereka tidak malu bergabung dalam majelis plagiatisme. Berkoalisi demi satu tujuan yang bersama. Seakan-akan gelar aktivis dakwah itu tak pernah melekat di dada mereka. Atau bahkan gelar ini telah tergadaikan dengan selembar kertas bernama lembar jawaban. Selembar kertas yang belum jelas keshahihan isinya. Nilai-nilai Islam terabaikan. Padahal, mereka adalah AKTIVIS DAKWAH.
Pada lembar sejarah lainnya, di lembar absensi sebuah mata kuliah tertentu, terdapat sebuah tanda tangan seorang yang mengaku aktivis dakwah. Berarti ini menandakan bahwa sang aktivis dakwah ini hadir pada kuliah tesebut. Namun, setelah mata kita lelah tuk mencari batang hidung aktivis dakwah yang satu ini, hasilnya adalah nihil. Dia tidak ada di sana. Titip absen, itulah yang dia lakukan. Padahal, titip absen sejatinya akan membongkar sikap pengecut pada dirinya. Apapun alasannya. Meskipun tuk alasan jihad sekalipun, titip absen adalah sikap seorang pengecut. Nilai-nilai telah Islam terabaikan. Padahal, mereka adalah AKTIVIS DAKWAH.
Ini hanya sebagian pemandangan bagaimana keseharian para aktivis dakwah di kampusnya masing-masing. Masih banyak pemandangan “indah” lainnya yang dapat dinikmati oleh publik. Tertidur selama proses perkuliahan, berdiskusi ketika ujian akhir, terlambat menghadiri kuliah, dan masih banyak lannya telah menjadi konsumsi publik sehari-hari. Pemandangan semacam ini secara gamblang terjadi di kalangan aktivis dakwah. Nilai-nilai Islam sekali lagi telah terabaikan. Padahal, mereka adalah AKTIVIS DAKWAH.
Allah SWT telah berfirman dalam al-Qur’an yang mulia,
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS al-ahzab: 31)
Dalam ayat di atas Allah SWT menggambarkan fungsi diutusnya seorang Rasulullah, yaitu sebagai suri teladan yang baik bagi manusia lain. Rasulullah lah sumber inspirasi kita. Beliau lah sebaik-baiknya pengejawantahan dari nilai-nilai Islam yang paripurna. Dari beliau lah handaknya semua alam mengambil teladan yang baik.
Sebagai umat Rasulullah, kita ditantang untuk dapat menjadi sebagaimana Rasulullah, menjadi suri teladan bagi seluruh alam. Ini karena kita adalah pewaris dakwah Rasulullah. Kita harus menjadi panutan bagi yang lain. Di tangan kitalah para aktivis dakwah pencitraan Islam akan ditentukan.
Namun, wajah cantik Islam telah kita coreng dengan tangan kita sendiri. Kita, sebagai aktivis dakwah sadar atau tidak telah menodai Islam dengan perilaku kita sehari-hari. Perilaku kita sehari-hari di kampus acap kali tidak menggambarkan bahwa kita adalah seorang aktivis dakwah.
Meskipun terlihat sederhana, “kasus” yang terjadi di kalangan aktivis dakwah ini akan menghasilkan sebuah paradigma baru dalam diri orang lain. Sebuah paradigma yang perlahan tapi pasti akan semakin menjauhkan orang lain dari dakwah kita.
Ketika para aktivis dakwah melakukan plagiat maka orang yang masih jauh dari Islam akan berpendapat, “ Dia saja yang alim nyontek, berarti kita boleh donk…” atau ketika itu ada segolongan yang beragama selain Islam melihat plagiat kita, maka bisa jadi mereka akan berpendapat, “ Oo.. gini ya Islam, katanya agama yang paling sempurna, tapi kok masih suka nyontek….” Paradigma dunia otomatis berubah total karena perilaku kita.
Apa yang salah dengan semua ini. Kenapa semua ini bisa terjadi. Kenapa kita lalai akan hal-hal yang kita anggap sederhana namun berdampak besar apabila kita salah melangkah.
Kalau ditanya tentang berapa lama kita telah mengenal Islam sebagai sistem hidup melalui tarbiyah atau pendidikan Islam maka sebagian besar kita telah melakukannya sejak bertahun-tahun yang lalu. Kalau seperti itu, berarti tidak ada yang salah dengan tarbiyah Islamiah kita. Karena idealnya, dengan proses selama itu kita idealnya telah menjad ikhwah yang telah membumikan ke-ikhwah-an dalam hati dan akhlaq kita. Berarti, bukan tarbiyah kita yang bermasalah.
Kalau yang kita salahkan adalah sistem perkuliahan yang memaksa kita untuk melakukan hal-hal yang jauh dari idealnya seorang aktivis dakwah maka itu tidak logis dan mendasar. Kenapa kita harus menyalahkan sistem, padahal dari sistem yang seperti ini telah lahir para pendahulu dakwah kita. Jadi, tidak ada hujjah bagi kita untuk menyalahkan sistem.
Kalau lingkungan yang telah mewarnai kita menjadi alasan semua ini terjadi, maka ini adalah sebuah lelucon. Bayangkan, seharusnya aktivis dakwahlah yang mewarnai para mad’u, namun mereka yang mewarnai mereka. Ini bukanlah alasannya.
Ada satu hal yang pasti. Kita, para aktivis dakwah seringkali lalai akan hal-hal yang sederhana. Entah terlalaikan atau melalaikan, kita lupa akan hal-hal kecil ini. Kita tersibukkan agenda-agenda besar yang kemungkinan besar masih jauh dari realisasi.
Karena alasan syuro yang padat kita melupakan amanah kita di kampus sebagai mahasiswa. Karena alasan aksi yang begitu menguras energi, kita sampai melupakan hak tubuh kita untuk menikmati indahnya istirahat. Bisa jadi, yang terjadi adalah mudharat yang lebih banyak dari manfaat.
Karena kita gagal memanajemen diri kita maka kita lalai akan semua ini. Oleh karena itu, mulailah atur kembali agenda-agenda kita. Kita rapikan kembali jadwal dakwah kita. Kita efektifkan semua nikmat yang Allah anugerahkan kepada kita. Kita atur kembali dakwah kita.
Sudah saatnya kita melakukan pengujian kelayakan kembali “fit and proper test” terhadap ke-ikhwah-an kita. Apakah kita telah layak disebut ikhwah yang menjadi penggiat dakwah ataukah belum. Apakah kita masih sering melalaikan hal-hal yang sepele karena terbuai hal-hal yang besar dalam menjalankan roda dakwah atau tidak.
Semoga kita menjadi aktivis dakwah yang memiliki mimpi besar namun tetep menjaga keberlangsungan hal-hal yang sederhana sehingga terwujudnya Islam sebagai ustadziatul ‘alam, Soko Guru bagi Alam. Wallahu ‘alam bish shawab.
Kulangkahkan kedua kakiku melewati lorong Gedung Jurusan Teknik Elektro (JTE) yang begitu sunyi meskipun mentari telah tersenyum lebar di luar sana. Kuayunkan kaki-kaki ini menuju ruang kuliah E5, sebuah ruang mungil di lantai 3 gedung JTE tuk mengikuti kuliah probabilitas dan statistika.
Ada yang menggelitik hati ini kala itu. Kala ku buka pintu ruang kuliah E5, ternyata tak seorang pun berada di dalamnya. Tidak mahasiswa, tidak pula dosen pengajar berada di sana. Padahal, seharusnya kegiatan perkuliahan telah berjalan beberapa saat yang lalu. Pertanyaannya: dimana mereka semua berada.
Pandangan mataku kulempar ke arah yang lain. Tak jauh dari ruang kuliah E5, di sebuah sudut lorong gedung JTE, sekumpulan mahasiswa sedang sibuk melakukan sebuah aktivitas. Mereka sibuk dengan kertas yang akan mereka tintai. Kureka mereka sedang menulis sesuatu yang amat penting. Sebuah pemandangan yang sudah biasa bagiku kala itu karena sepekan sebelumnya dosen pengajar memberikan pekerjaan rumah. Apalagi kalau bukan proses pemindahan jawaban dari satu kertas ke kertas lainnya yang bersumber pada satu kertas “suci”. Plagiatisme!!!
Menyedihkan. Sungguh menyedihkan ketika kulihat ada segelintir orang yang kuanggap sebagai aktivis dakwah berhimpun di majelis tersebut. Mereka tidak malu bergabung dalam majelis plagiatisme. Berkoalisi demi satu tujuan yang bersama. Seakan-akan gelar aktivis dakwah itu tak pernah melekat di dada mereka. Atau bahkan gelar ini telah tergadaikan dengan selembar kertas bernama lembar jawaban. Selembar kertas yang belum jelas keshahihan isinya. Nilai-nilai Islam terabaikan. Padahal, mereka adalah AKTIVIS DAKWAH.
Pada lembar sejarah lainnya, di lembar absensi sebuah mata kuliah tertentu, terdapat sebuah tanda tangan seorang yang mengaku aktivis dakwah. Berarti ini menandakan bahwa sang aktivis dakwah ini hadir pada kuliah tesebut. Namun, setelah mata kita lelah tuk mencari batang hidung aktivis dakwah yang satu ini, hasilnya adalah nihil. Dia tidak ada di sana. Titip absen, itulah yang dia lakukan. Padahal, titip absen sejatinya akan membongkar sikap pengecut pada dirinya. Apapun alasannya. Meskipun tuk alasan jihad sekalipun, titip absen adalah sikap seorang pengecut. Nilai-nilai telah Islam terabaikan. Padahal, mereka adalah AKTIVIS DAKWAH.
Ini hanya sebagian pemandangan bagaimana keseharian para aktivis dakwah di kampusnya masing-masing. Masih banyak pemandangan “indah” lainnya yang dapat dinikmati oleh publik. Tertidur selama proses perkuliahan, berdiskusi ketika ujian akhir, terlambat menghadiri kuliah, dan masih banyak lannya telah menjadi konsumsi publik sehari-hari. Pemandangan semacam ini secara gamblang terjadi di kalangan aktivis dakwah. Nilai-nilai Islam sekali lagi telah terabaikan. Padahal, mereka adalah AKTIVIS DAKWAH.
Allah SWT telah berfirman dalam al-Qur’an yang mulia,
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS al-ahzab: 31)
Dalam ayat di atas Allah SWT menggambarkan fungsi diutusnya seorang Rasulullah, yaitu sebagai suri teladan yang baik bagi manusia lain. Rasulullah lah sumber inspirasi kita. Beliau lah sebaik-baiknya pengejawantahan dari nilai-nilai Islam yang paripurna. Dari beliau lah handaknya semua alam mengambil teladan yang baik.
Sebagai umat Rasulullah, kita ditantang untuk dapat menjadi sebagaimana Rasulullah, menjadi suri teladan bagi seluruh alam. Ini karena kita adalah pewaris dakwah Rasulullah. Kita harus menjadi panutan bagi yang lain. Di tangan kitalah para aktivis dakwah pencitraan Islam akan ditentukan.
Namun, wajah cantik Islam telah kita coreng dengan tangan kita sendiri. Kita, sebagai aktivis dakwah sadar atau tidak telah menodai Islam dengan perilaku kita sehari-hari. Perilaku kita sehari-hari di kampus acap kali tidak menggambarkan bahwa kita adalah seorang aktivis dakwah.
Meskipun terlihat sederhana, “kasus” yang terjadi di kalangan aktivis dakwah ini akan menghasilkan sebuah paradigma baru dalam diri orang lain. Sebuah paradigma yang perlahan tapi pasti akan semakin menjauhkan orang lain dari dakwah kita.
Ketika para aktivis dakwah melakukan plagiat maka orang yang masih jauh dari Islam akan berpendapat, “ Dia saja yang alim nyontek, berarti kita boleh donk…” atau ketika itu ada segolongan yang beragama selain Islam melihat plagiat kita, maka bisa jadi mereka akan berpendapat, “ Oo.. gini ya Islam, katanya agama yang paling sempurna, tapi kok masih suka nyontek….” Paradigma dunia otomatis berubah total karena perilaku kita.
Apa yang salah dengan semua ini. Kenapa semua ini bisa terjadi. Kenapa kita lalai akan hal-hal yang kita anggap sederhana namun berdampak besar apabila kita salah melangkah.
Kalau ditanya tentang berapa lama kita telah mengenal Islam sebagai sistem hidup melalui tarbiyah atau pendidikan Islam maka sebagian besar kita telah melakukannya sejak bertahun-tahun yang lalu. Kalau seperti itu, berarti tidak ada yang salah dengan tarbiyah Islamiah kita. Karena idealnya, dengan proses selama itu kita idealnya telah menjad ikhwah yang telah membumikan ke-ikhwah-an dalam hati dan akhlaq kita. Berarti, bukan tarbiyah kita yang bermasalah.
Kalau yang kita salahkan adalah sistem perkuliahan yang memaksa kita untuk melakukan hal-hal yang jauh dari idealnya seorang aktivis dakwah maka itu tidak logis dan mendasar. Kenapa kita harus menyalahkan sistem, padahal dari sistem yang seperti ini telah lahir para pendahulu dakwah kita. Jadi, tidak ada hujjah bagi kita untuk menyalahkan sistem.
Kalau lingkungan yang telah mewarnai kita menjadi alasan semua ini terjadi, maka ini adalah sebuah lelucon. Bayangkan, seharusnya aktivis dakwahlah yang mewarnai para mad’u, namun mereka yang mewarnai mereka. Ini bukanlah alasannya.
Ada satu hal yang pasti. Kita, para aktivis dakwah seringkali lalai akan hal-hal yang sederhana. Entah terlalaikan atau melalaikan, kita lupa akan hal-hal kecil ini. Kita tersibukkan agenda-agenda besar yang kemungkinan besar masih jauh dari realisasi.
Karena alasan syuro yang padat kita melupakan amanah kita di kampus sebagai mahasiswa. Karena alasan aksi yang begitu menguras energi, kita sampai melupakan hak tubuh kita untuk menikmati indahnya istirahat. Bisa jadi, yang terjadi adalah mudharat yang lebih banyak dari manfaat.
Karena kita gagal memanajemen diri kita maka kita lalai akan semua ini. Oleh karena itu, mulailah atur kembali agenda-agenda kita. Kita rapikan kembali jadwal dakwah kita. Kita efektifkan semua nikmat yang Allah anugerahkan kepada kita. Kita atur kembali dakwah kita.
Sudah saatnya kita melakukan pengujian kelayakan kembali “fit and proper test” terhadap ke-ikhwah-an kita. Apakah kita telah layak disebut ikhwah yang menjadi penggiat dakwah ataukah belum. Apakah kita masih sering melalaikan hal-hal yang sepele karena terbuai hal-hal yang besar dalam menjalankan roda dakwah atau tidak.
Semoga kita menjadi aktivis dakwah yang memiliki mimpi besar namun tetep menjaga keberlangsungan hal-hal yang sederhana sehingga terwujudnya Islam sebagai ustadziatul ‘alam, Soko Guru bagi Alam. Wallahu ‘alam bish shawab.
Sofiet Isa M. Setia Hati
sumber gambar:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhhfQ6RRFF4bUP-APi-kNsGWNgJAixBmHsgtODhXOreI6SaONOWZUmy-8BXm_vqbHfZ4_2hiANWGYVaZEc1mX5hjMNECLGfwb1xZzbVSYGEkgpMPRJt3u0wZYHZSvNuZgyvyaEa6thwkd0W/s1600/ikhwah-edit_bd270__800xx.jpg
Komentar
Posting Komentar