Menghadirkan Pemimpin Alternatif Solutif
Ada sebuah keprihatinan serta kejumudan yang sangat mendalam melihat realita bahwa negeri ini hanya didominasi pemimpin-pemimpin kerdil. Pemimpin-pemimpin yang hanya cakap bersilat lidah namun zero action di dunia kepemimpinan. Padahal, negeri ini tengah dilanda krisis multidimensional yang membutuhkan pemimpin-pemimpin solutif yang mampu menghadirkan perbaikan.
Kita lihat saat ini, proses kaderisasi kepemimpinan bangsa mengalami degradasi yang luar biasa. Belum banyak pemimpin dalam arti sesungguhnya yang berhasil dicetak. Kaderisasi yang dijalankan hanya mampu menghasilkan sekerumun manusia “aneh” yang saling memperebutkan hak atas kepemimpinan bangsa. Sikut kanan sikut kiri adalah halal dalam kamus mereka selagi itu dapat mengantarkan pada pintu kepemimpinan. Padahal manusia-manusia seperti mereka ini tidak memiliki sesuatu yang menyebabakan ia layak memimpin.
Tidak ada kata lain bagi kita sebagai akademisi selain mengembalikan fitrah kepemimpinan bangsa pada proses yang benar. Dan kaderisasi yang benar adalah syarat mutlak untuk mengembalikan itu semua. Dan kita memiliki peluang besar untuk mencetak pemimpin-pemimpin berjiwa besar.
Kita harus menghasilkan pemimpin-pemimpin alaternatif solutif. Alternatif bukan karena pemimpin-pemimpin seperti ini adalah orang-orang yang baru di dunia kepemimpinan, namun lebih karena mereka setidaknya memiliki lima syarat kenapa ia berhak mewarisi kepemimpinan negeri ini. Pertama, pemimpin itu harus memiliki tujuan yang jelas atau al-ghayyatu tastahiqqul najah (winning goal) yang akan ia tuju selama memimpin. Kedua, bagaimana seorang pemimpin itu memiliki nilai yang akan ia bawa untuk memimpin atau al-qiyam tastahiqqul najah (winning value). Syarat yang ketiga, bagaimana pemimpin itu memiliki konsep yang jelas selama ia memimpin atau al-manhaju tastahiqqul najah (winning concept). Syarat selanjutnya adalah an-nizham tastahiqqul najah (winning system), bagaimana seorang pemimpin itu memiliki sytem atau tata kelola yang baik dan kokoh dalam menjalankan roda kepemimpinannya. Dan syarat yang terakhir adalah al-jama’atu tastahiqqul najah (winning team), bagaimana ia mampu memanfaatkan resource yang ada terutama tim karena kepemimpinan adalah kerja sebuah tim yang solid.
Namun, itu saja belumlah cukup. Kalau hanya itu saja yang pemimpin miliki maka itu hanya menandakan bahwa ia telah selesai dengan dirinya sendiri. Ia sama sekali belum bergerak satu nanometer pun dari tempatnya saat itu. Ia telah memiliki kompetensi personal, namun ia belum melakukan banyak hal kalau mengacu pada hal tersebut. Seorang pemimpin haruslah memiliki kapasitas sebagai seorang opinian leader. Ini menjadi penting mengingat fungsi seorang pemimpin yang begitu besar untuk mempengaruhi opini publik. Bagaimana dengan kepemimpinannya ia mampu menjadikan ide-ide briliantnya menjadi trend setter di tengah masyarakat yang plural. Intelektualitasnya seolah menjadi magnet yang mampu menyihir masyarakat yang ia pimpin untuk menjadi “hamba” opini dan ide-idenya. Bagaimana ia dapat didaulat sebagai pemimpin kalau yang ia pimpin saja belum dapat ia pengaruhi. Namun yang juga menjadi penting mengenai ide-idenya tersebut. Bukan sembarang ide yang ia lontarkan, namun haruslah sebuah ide yang mampu menghadirkan solusi untuk memperbaiki kondisi bangsa. Dan inilah yang akan kita namakan sebagai pemimpin solutif.
Kita akan melihat dalam lembar sejarah manusia kisah indah kepemimpinan alternatif solutif. Ada seorang Al Masih yang dengan kepemimpinannya mampu menggerakkan para Hawariyyun untuk mengatakan dengan lantang nahnu ansorullah, kamilah para penolong agama Allah. Ada pula kisah Talut dengan kaum minoritasnya mampu mengalahkan “raksasa” Jalut dengan kekuasaan yang luar biasa habetnya. Ada pula kisah tentang keberhasilan sang legenda Saladin yang mampu menggerakkan prajuritnya untuk merebut kunci Jerussalem. Dan yang paling fenomenal tentulah kisah seorang Muhammad yang buta huruf namun mampu menggerakkan ummatnya sehingga hadirlah Islam dengan daerah kekuasaan dakwahnya pernah meliputi duapertiga dunia.
Jika semua hal di atas dimiliki oleh para pemimpin maka ia akan mudah untuk menjalankan orkestra kepemimpinan. Dan kepemimpinan yang ia jalankan akan menjadi sebuah simfoni merdu yang dihasilkan oleh para musisi kepemimpinan yang sinergis untuk menghasilkan perbaikan bangsa.
Kita harus percaya akan hadirnya pemimpin-pemimpin seperti ini di masa serba sulit saat ini sebagaimana masyarakat kita percaya akan lahirnya seorang ratu adil. Ini bukanlah sesuatu yang paradoks karena ini adalah fitrah Ilahiah yang harus kita jemput. Kita sama-sama harus mengupayakan dengan kemampuan kita masing-masing. Minimal pemimpin model ini hadir pada diri kita sehingga kita mampu menginsiprasi orang lain untuk menjadi kita. Dan ingatlah bahwa harapan akan hadirnya pemimpin alternatif solutif itu masih akan tetap ada.
Kita lihat saat ini, proses kaderisasi kepemimpinan bangsa mengalami degradasi yang luar biasa. Belum banyak pemimpin dalam arti sesungguhnya yang berhasil dicetak. Kaderisasi yang dijalankan hanya mampu menghasilkan sekerumun manusia “aneh” yang saling memperebutkan hak atas kepemimpinan bangsa. Sikut kanan sikut kiri adalah halal dalam kamus mereka selagi itu dapat mengantarkan pada pintu kepemimpinan. Padahal manusia-manusia seperti mereka ini tidak memiliki sesuatu yang menyebabakan ia layak memimpin.
Tidak ada kata lain bagi kita sebagai akademisi selain mengembalikan fitrah kepemimpinan bangsa pada proses yang benar. Dan kaderisasi yang benar adalah syarat mutlak untuk mengembalikan itu semua. Dan kita memiliki peluang besar untuk mencetak pemimpin-pemimpin berjiwa besar.
Kita harus menghasilkan pemimpin-pemimpin alaternatif solutif. Alternatif bukan karena pemimpin-pemimpin seperti ini adalah orang-orang yang baru di dunia kepemimpinan, namun lebih karena mereka setidaknya memiliki lima syarat kenapa ia berhak mewarisi kepemimpinan negeri ini. Pertama, pemimpin itu harus memiliki tujuan yang jelas atau al-ghayyatu tastahiqqul najah (winning goal) yang akan ia tuju selama memimpin. Kedua, bagaimana seorang pemimpin itu memiliki nilai yang akan ia bawa untuk memimpin atau al-qiyam tastahiqqul najah (winning value). Syarat yang ketiga, bagaimana pemimpin itu memiliki konsep yang jelas selama ia memimpin atau al-manhaju tastahiqqul najah (winning concept). Syarat selanjutnya adalah an-nizham tastahiqqul najah (winning system), bagaimana seorang pemimpin itu memiliki sytem atau tata kelola yang baik dan kokoh dalam menjalankan roda kepemimpinannya. Dan syarat yang terakhir adalah al-jama’atu tastahiqqul najah (winning team), bagaimana ia mampu memanfaatkan resource yang ada terutama tim karena kepemimpinan adalah kerja sebuah tim yang solid.
Namun, itu saja belumlah cukup. Kalau hanya itu saja yang pemimpin miliki maka itu hanya menandakan bahwa ia telah selesai dengan dirinya sendiri. Ia sama sekali belum bergerak satu nanometer pun dari tempatnya saat itu. Ia telah memiliki kompetensi personal, namun ia belum melakukan banyak hal kalau mengacu pada hal tersebut. Seorang pemimpin haruslah memiliki kapasitas sebagai seorang opinian leader. Ini menjadi penting mengingat fungsi seorang pemimpin yang begitu besar untuk mempengaruhi opini publik. Bagaimana dengan kepemimpinannya ia mampu menjadikan ide-ide briliantnya menjadi trend setter di tengah masyarakat yang plural. Intelektualitasnya seolah menjadi magnet yang mampu menyihir masyarakat yang ia pimpin untuk menjadi “hamba” opini dan ide-idenya. Bagaimana ia dapat didaulat sebagai pemimpin kalau yang ia pimpin saja belum dapat ia pengaruhi. Namun yang juga menjadi penting mengenai ide-idenya tersebut. Bukan sembarang ide yang ia lontarkan, namun haruslah sebuah ide yang mampu menghadirkan solusi untuk memperbaiki kondisi bangsa. Dan inilah yang akan kita namakan sebagai pemimpin solutif.
Kita akan melihat dalam lembar sejarah manusia kisah indah kepemimpinan alternatif solutif. Ada seorang Al Masih yang dengan kepemimpinannya mampu menggerakkan para Hawariyyun untuk mengatakan dengan lantang nahnu ansorullah, kamilah para penolong agama Allah. Ada pula kisah Talut dengan kaum minoritasnya mampu mengalahkan “raksasa” Jalut dengan kekuasaan yang luar biasa habetnya. Ada pula kisah tentang keberhasilan sang legenda Saladin yang mampu menggerakkan prajuritnya untuk merebut kunci Jerussalem. Dan yang paling fenomenal tentulah kisah seorang Muhammad yang buta huruf namun mampu menggerakkan ummatnya sehingga hadirlah Islam dengan daerah kekuasaan dakwahnya pernah meliputi duapertiga dunia.
Jika semua hal di atas dimiliki oleh para pemimpin maka ia akan mudah untuk menjalankan orkestra kepemimpinan. Dan kepemimpinan yang ia jalankan akan menjadi sebuah simfoni merdu yang dihasilkan oleh para musisi kepemimpinan yang sinergis untuk menghasilkan perbaikan bangsa.
Kita harus percaya akan hadirnya pemimpin-pemimpin seperti ini di masa serba sulit saat ini sebagaimana masyarakat kita percaya akan lahirnya seorang ratu adil. Ini bukanlah sesuatu yang paradoks karena ini adalah fitrah Ilahiah yang harus kita jemput. Kita sama-sama harus mengupayakan dengan kemampuan kita masing-masing. Minimal pemimpin model ini hadir pada diri kita sehingga kita mampu menginsiprasi orang lain untuk menjadi kita. Dan ingatlah bahwa harapan akan hadirnya pemimpin alternatif solutif itu masih akan tetap ada.
Komentar
Posting Komentar