Allah, Andai Tiap Hari Adalah Ramadhan
Suatu waktu aku termenung dalam kesendirian. Aku terdiam. Kuteringat pada satu hal yang terus menggangu tidurku. Dalam diamku, kubertanya, “Allah, mengapa Engkau menciptakan Ramadhan hanya satu bulan saja sementara Engkau masih menyisakan 11 bulan lainnya? Mengapa Engkau tidak ciptakan Ramadhan itu satu tahun penuh, 12 bulan? Mengapa?” Aku terus bertanya dan bergumam dalam lautan fantasiku.
“Andai tiap hari adalah Ramadhan, kan Engkau dapati hamba-hambaMu khusyuk dalam doa-doanya yang panjang dan dalam sujud-sujudnya yang dalam. Kan Engkau dapati masjid-masjidmu tak lagi sepi. Masjid-masjid itu akan ramai dengan lantunan dzikir dan tadarus. Kan kau dapati pula hamba-hambaMu saling berebut untuk melakukan yang terbaik dengan cara yang terbaik pula, yang belum pernah dilakukan sebelumnya.”
“Andai tiap hari adalah Ramadhan, kuyakin mata air air mata setiap insanMu yang beriman akan kering oleh istighfar dan pengharapan yang mengharu biru. Ku yakin ya Ilahi, setiap saudara kan menanggung beban saudaranya yang lain hingga tak akan ada lagi yang berhak menerima zakat. Andai tiap hari adalah Ramadhan, aku tak akan mengenal apapun di dunia melainkan satu, yaitu kebaikan.”
Aku masih belum mendapatkan jawaban hingga suatu saat itu terjadi. Aku teringat pada nasihat seorang guru. Beliau dalam satu waktu pernah berkata padaku, “engkau harus paham, Nak, Ramadhan itu adalah bulan latihan untuk menghadapi 11 bulan mendatang.” Nasihat sederhana namun penuh makna. Itulah jawaban atas segala pertanyaanku.
Ramadhan memang hanya sebulan. Namun, di satu bulan inilah, iman dan taqwa ku ditempa. Selama sebulan penuh, aku diajarkan untuk mencintaiNya lebih agar cintaku padaNya tak pudar di bulan-bulan selanjutnya. Aku layaknya seorang atlet olahraga yang menjalani pemusatan latihan untuk menghadapi olimpiade keesokan harinya. Dan Ramadhan itulah pusat latihanku untuk menghadapi olimpiade sesungguhnya di 11 bulan yang tersisa.
Kini kupaham, kemenangan Ramadhan tidaklah diukur dengan seberapa lama dzikir dan tadarusku mengisi hari-hari Ramadhan. Kemenangan Ramadhan tidaklah diukur berdasarkan khusyuknya shalat dan doaku. Bukan pula diukur berdasarkan jumlah uang yang aku keluarkan untuk saudara-saudaraku yang sedang membutuhkan. Apalagi diukur hanya dengan parameter-paratemer sederhana lainnya. Bukan itu.
Aku yakin kemenangan sejati akan datang menghampiriku manakala aku mampu mempertahankan prestasi-prestasi Ramadhanku di bulan-bulan selanjutnya. Seberapa sanggup aku beribadah sebagaimana ibadahku di Ramadhan, itulah kemenangan sejati bagiku. Dan istiqamah lah kunci kemenangan itu.
Itulah jawabannya mengapa Ramadhan hanya diciptakanNya sebulan. Allah menjadikan Ramadhan sebagai ajang latihan dan hendak menguji siapa pemenang Ramadhan sejati di sebelas bulan lainnya.
Tak terasa air mataku telah membasahi kedua pipi.
“Allah, aku malu padaMu.”
“Aku sibuk mengingatMu hanya di satu bulan sementara lalai di bulan lainnya”
“Aku malu. Andai Ramadhanku telah berlalu maka berlalu pula lah cintaku padaMu”
“Andai hari ini adalah hari terakhir Ramadhan, aku malu apabila esok hari ketika kubuka mataku maka ketaatku berubah menjadi kemaksiatan padaMu.”
“Aku malu ya Rabb. Demi Engkau yang jiwaku ada di tanganMu, aku benar-benar malu padaMu.”
Air mataku semakin deras berjatuhan. Aku merasa begitu hina di hadapanNya. Tidak ada yang aku lakukan selain berharap, “Allah, semoga bersama Ramadhan ini masih ada Ramadhan di setiap sisa-sisa hidupku.”
“Andai tiap hari adalah Ramadhan, kan Engkau dapati hamba-hambaMu khusyuk dalam doa-doanya yang panjang dan dalam sujud-sujudnya yang dalam. Kan Engkau dapati masjid-masjidmu tak lagi sepi. Masjid-masjid itu akan ramai dengan lantunan dzikir dan tadarus. Kan kau dapati pula hamba-hambaMu saling berebut untuk melakukan yang terbaik dengan cara yang terbaik pula, yang belum pernah dilakukan sebelumnya.”
“Andai tiap hari adalah Ramadhan, kuyakin mata air air mata setiap insanMu yang beriman akan kering oleh istighfar dan pengharapan yang mengharu biru. Ku yakin ya Ilahi, setiap saudara kan menanggung beban saudaranya yang lain hingga tak akan ada lagi yang berhak menerima zakat. Andai tiap hari adalah Ramadhan, aku tak akan mengenal apapun di dunia melainkan satu, yaitu kebaikan.”
Aku masih belum mendapatkan jawaban hingga suatu saat itu terjadi. Aku teringat pada nasihat seorang guru. Beliau dalam satu waktu pernah berkata padaku, “engkau harus paham, Nak, Ramadhan itu adalah bulan latihan untuk menghadapi 11 bulan mendatang.” Nasihat sederhana namun penuh makna. Itulah jawaban atas segala pertanyaanku.
Ramadhan memang hanya sebulan. Namun, di satu bulan inilah, iman dan taqwa ku ditempa. Selama sebulan penuh, aku diajarkan untuk mencintaiNya lebih agar cintaku padaNya tak pudar di bulan-bulan selanjutnya. Aku layaknya seorang atlet olahraga yang menjalani pemusatan latihan untuk menghadapi olimpiade keesokan harinya. Dan Ramadhan itulah pusat latihanku untuk menghadapi olimpiade sesungguhnya di 11 bulan yang tersisa.
Kini kupaham, kemenangan Ramadhan tidaklah diukur dengan seberapa lama dzikir dan tadarusku mengisi hari-hari Ramadhan. Kemenangan Ramadhan tidaklah diukur berdasarkan khusyuknya shalat dan doaku. Bukan pula diukur berdasarkan jumlah uang yang aku keluarkan untuk saudara-saudaraku yang sedang membutuhkan. Apalagi diukur hanya dengan parameter-paratemer sederhana lainnya. Bukan itu.
Aku yakin kemenangan sejati akan datang menghampiriku manakala aku mampu mempertahankan prestasi-prestasi Ramadhanku di bulan-bulan selanjutnya. Seberapa sanggup aku beribadah sebagaimana ibadahku di Ramadhan, itulah kemenangan sejati bagiku. Dan istiqamah lah kunci kemenangan itu.
Itulah jawabannya mengapa Ramadhan hanya diciptakanNya sebulan. Allah menjadikan Ramadhan sebagai ajang latihan dan hendak menguji siapa pemenang Ramadhan sejati di sebelas bulan lainnya.
Tak terasa air mataku telah membasahi kedua pipi.
“Allah, aku malu padaMu.”
“Aku sibuk mengingatMu hanya di satu bulan sementara lalai di bulan lainnya”
“Aku malu. Andai Ramadhanku telah berlalu maka berlalu pula lah cintaku padaMu”
“Andai hari ini adalah hari terakhir Ramadhan, aku malu apabila esok hari ketika kubuka mataku maka ketaatku berubah menjadi kemaksiatan padaMu.”
“Aku malu ya Rabb. Demi Engkau yang jiwaku ada di tanganMu, aku benar-benar malu padaMu.”
Air mataku semakin deras berjatuhan. Aku merasa begitu hina di hadapanNya. Tidak ada yang aku lakukan selain berharap, “Allah, semoga bersama Ramadhan ini masih ada Ramadhan di setiap sisa-sisa hidupku.”
Sofiet Isa M. Setia Hati
sumber gambar: http://mushalla-amanah.net
Komentar
Posting Komentar