Sang Surya: Mahakarya yang Terlupakan
Pernahkah Anda mendengar kisah seorang penemu paling kontroversial abad ini. Ya, dialah Joko Suprapto. Pria asal Nganjuk Jawa Timur ini telah berhasil menciptakan suatu terobosan baru di bidang sumber daya energi. Ia mengklaim bahwa dirinya telah berhasil menciptakan bahan bakar berbahan dasar air. Bahkan, ia telah berhasil mendemonstrasikannya. Penemuannya yang terbilang gila ini tak ayal mendapat respon berbeda-beda dari berbagai kalangan masyarakat. Sebagian percaya namun sebagian lagi mendustakan. Bahkan, sampai ada sebagian kalangan yang mengatakan bahwa ia adalah seorang pembual belaka.
Inilah sekelumit cerita tentang bagaimana seseorang yang memiliki tekad membaja untuk berhasil melakukan terobosan demi terciptanya energi alternatif. Ya, tidak ada salahnya memang ketika setiap orang mengklaim bahwa dirinya telah mampu menciptakan energi alternatif. Dan kini, kita sama-sama menyaksikan setiap orang atau sekelompok orang berlomba-lomba untuk menciptakan energi alternatif.
Ini adalah hal yang wajar mengingat energi alternatif atau yang sering disebut sebagai energi terbarui merupakan kebutuhan yang penting dan mendesak. Dunia ini butuh sumber daya energi baru sebagai substitusi terhadap sumber daya energi konvensional yang dimanfaatkan selama ini. Dunia ini butuh orang-orang semacam Joko Suprapto yang dengan ide-ide gilanya mampu mengkreasikan hal-hal yang tadinya terkesan paradoks menjadi suatu hal yang nyata dan tentunya bermanfaat bagi semesta.
Bayangkan, jika kita melihat tingkat konsumsi energi di seluruh dunia saat ini, pemakaian energi diprediksikan akan mengalami peningkatan antara tahun 2000 sampai 2030 sebesar 70 persen. Keadaan ini semakin diperparah dengan persedian sumber energi berbahan bakar fosil. Sumber energi yang saat ini menyumbang 87,7 persen dari total kebutuhan energi dunia ini diperkirakan akan mengalami penurunan disebabkan tidak lagi ditemukannya sumber cadangan baru. Cadangan sumber energi ini diseluruh dunia diperkirakan hanya sampai 40 tahun untuk minyak bumi, 60 tahun untuk gas alam, dan 200 tahun untuk batu bara.
Kondisi keterbatasan sumber energi di tengah semakin meningkatnya kebutuhan energi dunia dari tahun ketahun (sebagai catatan, pertumbuhan konsumsi energi tahun 2004 sebesar 4,3 persen), serta tuntutan untuk melindungi bumi dari pemanasan global dan kerusakan lingkungan membuat dunia ini semakin menantikan sebuah terobosan baru demi hadirnya sumber-sumber energi alternatif.
Saat ini, amat sering kita menyaksikan terciptanya berbagai macam energi alternatif. Presentasi-presentasi telah sering digelar untuk mendeskripsikan hasil ciptaan berbagai pihak tersebut. Semakin banyak pihak yang mulai mematenkan karya-karya terbaiknya. Di antara sumber energi alternatif yang saat ini banyak dikembangkan adalah turbin angin, tenaga air (hydro power), energi gelombang air laut, , tenaga panas bumi, tenaga hidrogen, dan bio-energi.
Penemuan-penemuan ini mampu melegakan dunia ini ditengah kerinduannya akan inovasi besar di bidang energi alternatif. Tetapi, yang menjadi pertanyaan adalah apakah energi alternatif yang sedang dikembangkan ini mampu memberikan hasil positif bagi proses konversi sumber daya energi. Apakah ia akan menjadi model sumber daya energi masa depan. Kita tunggu saja prosesnya.
Namun, ada hal lain yang akan dibahas tetapi tidak di luar konteks pembahasan kita ini. Kita acapkali melupakan anugerah sang khaliq yang telah dihadiahi kepada kita semua secara cuma-cuma. Padahal, kita hampir setiap hari, apalagi di daerah beriklim tropis merasakan kehadirannya yang membawa kebaikan ini. Ya, dialah sang surya.
Selama ini, kita menganggap sang surya atau matahari hanya sebagai benda langit biasa yang hanya dimanfaatkan untuk kepentingan yang biasa pula. Kita hanya mamanfaatkan matahari sebagai penerang di siang hari atau hanya sebagai fasilitas untuk menjemur pakaian kita setiap harinya. Padahal, di balik semua ini, matahari memiliki potensi yang amat besar jika dimanfaatkan secara maksimal.
Menurut hasil penelitian, setiap harinya bumi kita yang hijau ini menerima sekitar 69 persen dari seluruh energi yang dipancarkan oleh matahari. Dan yang mengagumkan adalah ternyata suplai energi pancaran matahari yang hanya sebesar 69 persen ini sangat luar biasa besarnya yaitu mencapai 3 x 1024 joule pertahun atau setara dengan 2 x 1017 Watt. Energi sebesar jika dikonversikan setara dengan 10.000 kali konsumsi energi di seluruh dunia saat ini. Atau dengan kata lain, dengan memanfaatkan 0,01 persen jumlah energi pancaran matahari yang diterima bumi saja sebenarnya sudah mampu untuk menutupi kebutuhan energi di seluruh dunia saat ini.
Pertanyaan yang kemudian muncul dibenak kita adalah bagaimana memanfaatkan potensi sebesar ini. Bagaimana pula proses konversi energi pancaran matahari ini menjadi bentuk energi lainnya semisal energi listrik. dan apakah proses konversi ini memungkinkan terjadi saat sekarang ini.
Saat ini, telah diciptakan sebuah instrumen yang mampu menjawab semua pertanyaan di atas. Istrumen ini sering disebut sebagai solar cell. Solar cell atau photovoltaic cell, merupakan sebuah instrumen semikonduktor (bahan yang mampu mengalirkan arus listrik) yang memiliki permukaan yang luas dan terdiri dari berbagai komponen elektonis dan yang terpenting adalah mampu merubah energi sinar matahari menjadi energi listrik.
Secara harfiah, photovoltaic berasal dari bahasa Yunani yaitu photos yang berarti cahaya dan volta sebagai penghargaan terhadap ilmuwan berkebangsaan Italia Alexander Volta yang telah menemukan arus listrik sehingga photovoltaic dapat diartikan sebagai cahaya dan listrik. Atau dengan kata lain photovoltaic dapat diartikan sebagai sebuah kegiatan perubahan energi dari bentuk awalnya yaitu cahaya menjadi energi listrik.
Penelitian terhadap hal ini pertama kali dilakukan oleh seorang ahli Fisika berkebangsaan Prancis Alexandre Edmond Becquerel pada tahun 1839. Ia berhasil menemukan sebuah sifat cahaya yang dapat dikonversi menjadi energi listrik dan dikenal sebagai efek photovoltaic. Atas penemuannya ini, ia dianugerahi hadiah nobel fisika pada tahun 1903 bersama dengan Pierre dan Marrie Currie.
Penemuan sifat cahaya ini kemudian menginspirasi seorang Charles Fritts untuk menghasilkan sebuah karya monumental. Pada tahun 1883, ia berhasil menciptakan sebuah instrumen untuk mengkonversi cahaya matahari menjadi energi listrik. pada saat itu, ia mampu menciptakan sebuah instrumen yag memiliki efisiensi sebesar 1 persen. Perlu diketahui bahwa efisiensi didefinisikan sebagai perbandingan antara energi yang dihasilkan oleh instrumen dalam hal ini energi listrik dengan jumlah energi yang diterima dalam hal ini adalah pancaran matahari. Instrumen yang telah diciptakan oleh Charles Fritts ini kemudian disempurnakan oleh Russel Ohl. Ia dikenal sebagai orang pertama yang mematenkan hasil penemuannya yaitu instrumen solar cell. Saat ini, tingkat efisiensi instrumen solar cell baru sekitar 5 hingga 15 persen saja tergantung bahan penyusun instrumen tersebut.
Di lain pihak, seorang peraih nobel kimia, Professor Smalley menyatakan bahwa dengan memanfaatkan teknologi nano terjadi peningkatan efisiensi solar cell antara 10 hingga 100 kali. Ia juga menyatakan bahwa cara terbaik untuk mendapatkan energi surya secara optimal telah terbukti ketika solar cell dimanfaatkan untuk keperluan satelit ruang angkasa dan alat alat yang diletakkan di ruang angkasa. Penggunaan solar cell dengan meletakkannya di ruang angkasa dapat dengan baik dilakukan karena teknologi nano diyakini akan mampu menciptakan material yang super kuat dan ringan yang mampu bertahan di ruang angkasa dengan efisiensi yang baik.
Itulah sedikit penjelasan tentang teknologi terbaru yang menghasilkan sebuah sumber daya energi alternatif, solar cell. Ternyata, dari sesuatu yang bagi kita adalah yang biasa mempunyai potensi-potensi besar yang sampai saat ini masih belum dimanfaatkan secara optimal.
Kemudian, bagaimana dengan negara kita. Apakah negara kita telah siap mengujicobakan teknologi yang satu ini. Apakah negara ini akan mampu menyaingi kesuksesan Portugal yang telah berhasil membangun Pembangkit Listrik tenaga Surya (PLTS) terbesar di dunia dengan luas 142 hektar atau 1,4 km persegi.
Indonesia sebenarnya sangat potensional untuk memanfaatkan teknologi solar cell ini melihat lokasi strategis yang dimilikinya. Indonesia dilalui oleh garis khatulistiwa yang memungkinkan sinar matahari dapat optimal diterima di permukaan bumi di hampir seluruh Indonesia. Dengan letaknya di daerah katulistiwa, matahari di Indonesia mampu bersinar hingga 2.000 jam pertahunnya.
Berdasarkan data penyinaran matahari yang dihimpun dari 18 lokasi di Indonesia, radiasi surya di Indonesia dapat diklasifikasikan berturut-turut sebagai berikut: untuk kawasan barat dan timur Indonesia dengan distribusi penyinaran di Kawasan Barat Indonesia (KBI) sekitar 4,5 kWh/m 2 /hari dengan variasi bulanan sekitar 10%; dan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) sekitar 5,1 kWh/m 2 /hari dengan variasi bulanan sekitar 9%. Dengan demikian, potesi penyinaran rata-rata Indonesia sekitar 4,8 kWh/m 2 /hari dengan variasi bulanan sekitar 9%.
Adalah sebuah kebodohan jika negara ini masih belum mau mengembangkan teknologi ini. Padahal di lain pihak, masyarakat kita semakin kesulitan mencari sumber daya energi terutama BBM ditengah harganya yang semakin melambung.
Harus ada sebuah langkah konkret. Kita tidak boleh tertinggal dari Portugal yang notabenenya intensitas penyinaran mataharinya jauh lebih rendah dari Indonesia. Kita harus membuka kran-kran inovasi karena kita memiliki segala potensi untuk menerapkan teknologi yang satu ini.
Oleh karena itu, diutuhkan sinergitas antara pemerintah, lembaga penelitian terutama LIPI, civitas akademika terutama universitas dan masyarakat secara umum untuk menhadirkan solusi baru bagi sumber daya energi Indonesia masa depan. Manfaatkan semua anugerah ini demi terciptanya kemashlahatan bersama. Bersama kita Bisa!
Inilah sekelumit cerita tentang bagaimana seseorang yang memiliki tekad membaja untuk berhasil melakukan terobosan demi terciptanya energi alternatif. Ya, tidak ada salahnya memang ketika setiap orang mengklaim bahwa dirinya telah mampu menciptakan energi alternatif. Dan kini, kita sama-sama menyaksikan setiap orang atau sekelompok orang berlomba-lomba untuk menciptakan energi alternatif.
Ini adalah hal yang wajar mengingat energi alternatif atau yang sering disebut sebagai energi terbarui merupakan kebutuhan yang penting dan mendesak. Dunia ini butuh sumber daya energi baru sebagai substitusi terhadap sumber daya energi konvensional yang dimanfaatkan selama ini. Dunia ini butuh orang-orang semacam Joko Suprapto yang dengan ide-ide gilanya mampu mengkreasikan hal-hal yang tadinya terkesan paradoks menjadi suatu hal yang nyata dan tentunya bermanfaat bagi semesta.
Bayangkan, jika kita melihat tingkat konsumsi energi di seluruh dunia saat ini, pemakaian energi diprediksikan akan mengalami peningkatan antara tahun 2000 sampai 2030 sebesar 70 persen. Keadaan ini semakin diperparah dengan persedian sumber energi berbahan bakar fosil. Sumber energi yang saat ini menyumbang 87,7 persen dari total kebutuhan energi dunia ini diperkirakan akan mengalami penurunan disebabkan tidak lagi ditemukannya sumber cadangan baru. Cadangan sumber energi ini diseluruh dunia diperkirakan hanya sampai 40 tahun untuk minyak bumi, 60 tahun untuk gas alam, dan 200 tahun untuk batu bara.
Kondisi keterbatasan sumber energi di tengah semakin meningkatnya kebutuhan energi dunia dari tahun ketahun (sebagai catatan, pertumbuhan konsumsi energi tahun 2004 sebesar 4,3 persen), serta tuntutan untuk melindungi bumi dari pemanasan global dan kerusakan lingkungan membuat dunia ini semakin menantikan sebuah terobosan baru demi hadirnya sumber-sumber energi alternatif.
Saat ini, amat sering kita menyaksikan terciptanya berbagai macam energi alternatif. Presentasi-presentasi telah sering digelar untuk mendeskripsikan hasil ciptaan berbagai pihak tersebut. Semakin banyak pihak yang mulai mematenkan karya-karya terbaiknya. Di antara sumber energi alternatif yang saat ini banyak dikembangkan adalah turbin angin, tenaga air (hydro power), energi gelombang air laut, , tenaga panas bumi, tenaga hidrogen, dan bio-energi.
Penemuan-penemuan ini mampu melegakan dunia ini ditengah kerinduannya akan inovasi besar di bidang energi alternatif. Tetapi, yang menjadi pertanyaan adalah apakah energi alternatif yang sedang dikembangkan ini mampu memberikan hasil positif bagi proses konversi sumber daya energi. Apakah ia akan menjadi model sumber daya energi masa depan. Kita tunggu saja prosesnya.
Namun, ada hal lain yang akan dibahas tetapi tidak di luar konteks pembahasan kita ini. Kita acapkali melupakan anugerah sang khaliq yang telah dihadiahi kepada kita semua secara cuma-cuma. Padahal, kita hampir setiap hari, apalagi di daerah beriklim tropis merasakan kehadirannya yang membawa kebaikan ini. Ya, dialah sang surya.
Selama ini, kita menganggap sang surya atau matahari hanya sebagai benda langit biasa yang hanya dimanfaatkan untuk kepentingan yang biasa pula. Kita hanya mamanfaatkan matahari sebagai penerang di siang hari atau hanya sebagai fasilitas untuk menjemur pakaian kita setiap harinya. Padahal, di balik semua ini, matahari memiliki potensi yang amat besar jika dimanfaatkan secara maksimal.
Menurut hasil penelitian, setiap harinya bumi kita yang hijau ini menerima sekitar 69 persen dari seluruh energi yang dipancarkan oleh matahari. Dan yang mengagumkan adalah ternyata suplai energi pancaran matahari yang hanya sebesar 69 persen ini sangat luar biasa besarnya yaitu mencapai 3 x 1024 joule pertahun atau setara dengan 2 x 1017 Watt. Energi sebesar jika dikonversikan setara dengan 10.000 kali konsumsi energi di seluruh dunia saat ini. Atau dengan kata lain, dengan memanfaatkan 0,01 persen jumlah energi pancaran matahari yang diterima bumi saja sebenarnya sudah mampu untuk menutupi kebutuhan energi di seluruh dunia saat ini.
Pertanyaan yang kemudian muncul dibenak kita adalah bagaimana memanfaatkan potensi sebesar ini. Bagaimana pula proses konversi energi pancaran matahari ini menjadi bentuk energi lainnya semisal energi listrik. dan apakah proses konversi ini memungkinkan terjadi saat sekarang ini.
Saat ini, telah diciptakan sebuah instrumen yang mampu menjawab semua pertanyaan di atas. Istrumen ini sering disebut sebagai solar cell. Solar cell atau photovoltaic cell, merupakan sebuah instrumen semikonduktor (bahan yang mampu mengalirkan arus listrik) yang memiliki permukaan yang luas dan terdiri dari berbagai komponen elektonis dan yang terpenting adalah mampu merubah energi sinar matahari menjadi energi listrik.
Secara harfiah, photovoltaic berasal dari bahasa Yunani yaitu photos yang berarti cahaya dan volta sebagai penghargaan terhadap ilmuwan berkebangsaan Italia Alexander Volta yang telah menemukan arus listrik sehingga photovoltaic dapat diartikan sebagai cahaya dan listrik. Atau dengan kata lain photovoltaic dapat diartikan sebagai sebuah kegiatan perubahan energi dari bentuk awalnya yaitu cahaya menjadi energi listrik.
Penelitian terhadap hal ini pertama kali dilakukan oleh seorang ahli Fisika berkebangsaan Prancis Alexandre Edmond Becquerel pada tahun 1839. Ia berhasil menemukan sebuah sifat cahaya yang dapat dikonversi menjadi energi listrik dan dikenal sebagai efek photovoltaic. Atas penemuannya ini, ia dianugerahi hadiah nobel fisika pada tahun 1903 bersama dengan Pierre dan Marrie Currie.
Penemuan sifat cahaya ini kemudian menginspirasi seorang Charles Fritts untuk menghasilkan sebuah karya monumental. Pada tahun 1883, ia berhasil menciptakan sebuah instrumen untuk mengkonversi cahaya matahari menjadi energi listrik. pada saat itu, ia mampu menciptakan sebuah instrumen yag memiliki efisiensi sebesar 1 persen. Perlu diketahui bahwa efisiensi didefinisikan sebagai perbandingan antara energi yang dihasilkan oleh instrumen dalam hal ini energi listrik dengan jumlah energi yang diterima dalam hal ini adalah pancaran matahari. Instrumen yang telah diciptakan oleh Charles Fritts ini kemudian disempurnakan oleh Russel Ohl. Ia dikenal sebagai orang pertama yang mematenkan hasil penemuannya yaitu instrumen solar cell. Saat ini, tingkat efisiensi instrumen solar cell baru sekitar 5 hingga 15 persen saja tergantung bahan penyusun instrumen tersebut.
Di lain pihak, seorang peraih nobel kimia, Professor Smalley menyatakan bahwa dengan memanfaatkan teknologi nano terjadi peningkatan efisiensi solar cell antara 10 hingga 100 kali. Ia juga menyatakan bahwa cara terbaik untuk mendapatkan energi surya secara optimal telah terbukti ketika solar cell dimanfaatkan untuk keperluan satelit ruang angkasa dan alat alat yang diletakkan di ruang angkasa. Penggunaan solar cell dengan meletakkannya di ruang angkasa dapat dengan baik dilakukan karena teknologi nano diyakini akan mampu menciptakan material yang super kuat dan ringan yang mampu bertahan di ruang angkasa dengan efisiensi yang baik.
Itulah sedikit penjelasan tentang teknologi terbaru yang menghasilkan sebuah sumber daya energi alternatif, solar cell. Ternyata, dari sesuatu yang bagi kita adalah yang biasa mempunyai potensi-potensi besar yang sampai saat ini masih belum dimanfaatkan secara optimal.
Kemudian, bagaimana dengan negara kita. Apakah negara kita telah siap mengujicobakan teknologi yang satu ini. Apakah negara ini akan mampu menyaingi kesuksesan Portugal yang telah berhasil membangun Pembangkit Listrik tenaga Surya (PLTS) terbesar di dunia dengan luas 142 hektar atau 1,4 km persegi.
Indonesia sebenarnya sangat potensional untuk memanfaatkan teknologi solar cell ini melihat lokasi strategis yang dimilikinya. Indonesia dilalui oleh garis khatulistiwa yang memungkinkan sinar matahari dapat optimal diterima di permukaan bumi di hampir seluruh Indonesia. Dengan letaknya di daerah katulistiwa, matahari di Indonesia mampu bersinar hingga 2.000 jam pertahunnya.
Berdasarkan data penyinaran matahari yang dihimpun dari 18 lokasi di Indonesia, radiasi surya di Indonesia dapat diklasifikasikan berturut-turut sebagai berikut: untuk kawasan barat dan timur Indonesia dengan distribusi penyinaran di Kawasan Barat Indonesia (KBI) sekitar 4,5 kWh/m 2 /hari dengan variasi bulanan sekitar 10%; dan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) sekitar 5,1 kWh/m 2 /hari dengan variasi bulanan sekitar 9%. Dengan demikian, potesi penyinaran rata-rata Indonesia sekitar 4,8 kWh/m 2 /hari dengan variasi bulanan sekitar 9%.
Adalah sebuah kebodohan jika negara ini masih belum mau mengembangkan teknologi ini. Padahal di lain pihak, masyarakat kita semakin kesulitan mencari sumber daya energi terutama BBM ditengah harganya yang semakin melambung.
Harus ada sebuah langkah konkret. Kita tidak boleh tertinggal dari Portugal yang notabenenya intensitas penyinaran mataharinya jauh lebih rendah dari Indonesia. Kita harus membuka kran-kran inovasi karena kita memiliki segala potensi untuk menerapkan teknologi yang satu ini.
Oleh karena itu, diutuhkan sinergitas antara pemerintah, lembaga penelitian terutama LIPI, civitas akademika terutama universitas dan masyarakat secara umum untuk menhadirkan solusi baru bagi sumber daya energi Indonesia masa depan. Manfaatkan semua anugerah ini demi terciptanya kemashlahatan bersama. Bersama kita Bisa!
Komentar
Posting Komentar