Topeng (Monyet)

Di tahun 1920an, kontes mirip Charlie Chaplin marak digelar di berbagai penjuru dunia. Ya, berbagai kontes diadakan untuk mencari seorang yang dianggap paling mirip, baik wajah maupun pembawaannya, dengan ikon komedi dunia Charlie Chaplin.

Hari itu, sebuah kontes serupa diadakan di Monte Carlo, Monaco. Entah sengaja atau tidak, Charlie Chaplin ikut ambil bagian dalam kontes tersebut. Dan akhirnya, kontes yang diikuti Charlie Chaplin tersebut memasuki sesi pengumuman. Dan siapakan pemenangnya?

Bukan! Bukan Charlie Chaplin ‘asli’ yang menjadi juaranya. Charlie Chaplin hanya menjadi juara ketiga untuk sebuah kontes mirip dirinya. Hah!

******

Satu segmen unik kehidupan Chaplin ini mungkin dapat menggambarkan realita kita. Hari ini, kita mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi kebenaran. Sulit, bahkan hampir mustahil membedakan siapa yang benar siapa yang salah, mana yang asli mana yang palsu dan penuh kepura-puraan.

Hari ini semua serasa serba palsu. Alamat palsu, status palsu, kesaksian palsu, surat palsu, hingga plat nomor mobil palsu. Alamak!
Meminjam istilah Agama, pencampuradukkan antara yang haq dan yang batil. Dan itu realitanya. Kita tak bisa lagi memilah yang benar atas yang salah. Karena, membedakannya saja suatu yang teramat sulit. Dan kita terpaksa (baca: dipaksa) yakin itu kesebuah kebenaran padahal sejatinya adalah kebohongan.

Inilah akibatnya bila topeng menjadi barang dagangan yang paling laris hari ini. Semua memakai topeng. Menutupi bopengnya muka dengan ketampanan sebuah topeng. Pintar menutupi yang sebenarnya terjadi.

Yang namanya topeng, semua berhak memakai topeng apapun yang diinginkan. Hingga akhirnya kita kesulitan menerka mana da’i mana selebriti, mana pejabat mana penjahat, mana ahli ibadat mana ahli maksiat.

Yang namanya topeng, semua berhak memakaikan topeng apapun di wajah siapa pun. Semua berhak memakaikan seorang rupawan sebuah topeng bopeng yang akhirnya menjadi si buruk rupa. Entah dengan alasan agar si rupawan menjadi si yang memakaikan topeng. Atau, agar si rupawan menjadi objek yang melakukan suatu kebopengan sebagaimana yang dilakukan si yang memakaikan.

Juga, transaksional bisnis topeng ini seperti bisnis sigaret. Semua, dari atas hingga bawah terlibat. Semua menjadi pelaku: penjual, pembeli atau kedua-duanya sekaligus. Walhasil, membumihanguskan topeng sama dengan membunuh semuanya.

Dan akhirnya, lakon topeng yang paling populer saat ini adalah lakon topeng monyet. Ya, lakon dimana seekor monyet memakai topeng, berlagak sebagaimana manusia berlagak sembari diiringi tabuhan gendang sang majikan.

Hingga kita sulit menebak hari ini apa yang sebenarnya terjadi dari lakon topeng monyet. Apakah sang manusia yang sedang memakai topeng seekor monyet. Ataukah, sang monyet yang sedang memakai topeng seorang manusia? Entahlah!


Wisma Shalahuddin 8 Mei 2012 14:05

sofietisa.web.id

sumber gambar:
www.doctomarco.com 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

(Bukan) Aktivis Dakwah Kampus: Maulana, Maulana!

Tarbiyah Bukan PKS

Menuju Persatuan Gerak Gerakan Islam