Pendidikan Formal(itas)
Sepertinya kita sudah bosan dijejaji berbagai macam data kuantitatif terkait kondisi nyata anak bangsa. Hari ini, pornografi, kriminalitas, narkoba sampai masalah korupsi seolah menjadi makanan sehari-hari negeri ini. Fakta-fakta yang ada menjadi sebuah pertanyaan klasik yang mudah untuk dipertanyakan, namun sulit untuk dipecahkan menjadi solusi tepat dan aplikatif.
Penyebabnya banyak, begitu penjelasan singkat para pakar. Mulai dari lemahnya supremasi hukum hingga hipotetisis tentang konspirasi global. Namun, jika kita menarik masalah ini lebih dalam, pasti kita akan mendapatkan satu akar masalahnya: kegagalan pendidikan.
******
Hari ini pendidikan kita mengalami kegagalan. Pendidikan gagal mencapai tujuan utamanya. Ujung-ujungnya, pendidikan kita, dalam hal ini, pendidikan formal malah berakhir menjadi (sekedar) pendidikan formalitas.
Formalitas, dalam dunia pendidikan formal negeri ini, sering kita jumpai dalam berbagai realitas. Orang tua hanya menyekolahkan anak-anaknya karena sekedar gengsi. Malu, kalau anak-anaknya tak sekolah. Mahasiswa kuliah hanya sekedar mengejar tanda tangan absensi, lalu diganjar titel sarjana. Kuliah, hanya menjadi sekedar formalitas untuk memburu kerja.
Dalam realitas yang lebih mendasar, pendidikan kita hari ini dijalankan hanya untuk sekedar mengejar target kurikulum. Asal kurikulum rampung, tugas pendidikan selesai. Dan itu pun akhirnya diperumit dengan silih bergantinya kurikulum besarta paket kebijakan pendidikan. Trial and error, then error again!
Yang paling miris, tentu saja adalah kenyataan pendidikan hanya menjadi objek komersialiasi. Pendidikan seolah menjadi barang industri. Dan yang namanya industri, parameter keberhasilannya adalah materi. Semua diukur untung ruginya berdasarkan hitung-hitungan fulus.
Pendidikan juga akhirnya menjadi alat tukar kebijakan politik, baik dalam maupun luar negeri. Anggaran pendidikan Negeri ini ditekan sedemikian rupa. Hendak ditukar dengan kebijakan ekonomi yang menguntungkan pasar dan kaum kapital.
******
Formalitas-formalias pendidikan formal(itas) inilah menjadi awal petaka realita sosial bangsa dan negara ini. Dan, pasti akan yang akan selalu ditanyakan kemudian adalah apa solusinya.
Sekarang, bayangkan kita sedang makan. Manusia saat makan, normalnya akan mencari dua hal: kenyang dan enak. Dan inilah formalitasnya makan. Saat makan kita sering lupa akan nilai filosofisnya makan. Dari mana asalnya makanan kita dan untuk apa sebenarnya itu semua: kita luput. Pun, dengan kesyukuran atas makan dan nasib kaum papa yang tak sekenyang dan tak seenak kita dalam urusan makan.
Begitu halnya dengan formalitas pendidikan. Ia hanya sekedar merampungkan kurikulum sedari SD hingga SMA. Dan tujuannya, untuk memburu kerja yang ujung-ujungnya tentu materi. Pendidikan kehilangan orientasi utamanya: pembentukan nilai dan karakter.
Peserta didik kita hanya diajarkan 1+1=2 dan 2-1=1 lalu tentang perkalian dan pembagian. Langka, diajarkan tentang bagaimana mengurangi keburukan dan menambah kebaikan sembari diajarkan bagaimana berbagi dengan sesama,dan mengalikan kebaikan-kebaikan tersebut. Pendidikan agama pun, akhirnya hanya berkutat pada ibadah ritual sentris semata.
Coba kita berkaca pada polimik Ujian Akhir Nasional (UAN). Ya, ujian itu perlu, bahkan sangat perlu untuk menguji output dari proses pendidikan. Tapi sayangnya, yang diukur hanya pada aspek kognitifnya saja. Tanpa mengukur proses keberjalanan pendidikan tersebut dimana nilai dan karakter menjadi aspek vital.
Dalam taksonomi Bloom yang disusun oleh Benyamin S. Bloom sangat jelas digambarkan bahwa pendidikan dapat diklasifikasikan menjadi tiga ranah: kognitif, afektif, dan psikomotor. Kognitif berisi perilaku yang mengarah pada aspek intelektual seperti pengetahuan, pemahaman, dan analisis. Afektif berisi perilaku yang mengarah pada aspek perasaan dan emosi seperti minat, moral, tingkah laku, dan apresiasi. Semetara psikomotor berisi perilaku yang menekankan pada aspek keterampilan dan berhubungan pada aktivitas fisik. Dan UAN hanya menguji pada ranah kognitif saja.
Ternyata kita selama ini terjebak pada kondisi dimana sistem yang ada hanya memperhatikan masalah pengajaran saja bukan pada masalah pendidikan. Selama ini yang terjadi hanya lah transfer of knowladge saja dan inilah pengajaran. Tidak menjadi penting apakah dengan ilmu pengetahuan yang didapatkan, peserta didik mampu mengaplikasikannya atau tidak. Inilah ranah psikomotorik yang diabaikan. Tidak menjadi penting juga terkait moral dan tingkah laku peserta didik setelah menimba ilmu. Dan ranah afektif kembali diabaikan.
Lagi-lagi, yang kita harus memaksa pendidikan kita kembali pada tujuan dan jalurnya yang benar. Kita harus kembali pada tujuan dasar pendidikan nasional sebagaimana yang telah kita sepakati pada UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003.
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Senada dengan itu, pemerintah, dalam hal ini adalah Kemendikbud mulai sadar bahwa inilah titik utama kelemahan pendidikan kita. Oleh karenanya, pemerintah akhir-akhir ini menggalakkan kembali semangat dari tujuan pendidikan ini: pendidikan berkakter. Dan untuk menyukseskannya dibutuhkan kerjasama dari tiga komponen penyedia utama pendidikan: orang tua, guru, dan negara.
Orang tua, berarti juga didalamnya lingkungan, harus benar-benar mampu menjalankan fungsi pendidikan dalam sebuah keluarga. Ia menjadi awalan dari sebuah pendidikan bagi peserta didik. Ia mendidik bagaimana seorang anak berfikir, bertutur, dan beramal. Ia pula mendidik tentang adab, nilai dan karakter.
Pendidikan orang tua mendapatkan tempat yang sangat spesial dalam proses pendidikan. Semata, karena ia mendidik dengan cinta dan tanggung jawab di hadapan Tuhan. Dan, seorang peserta didik pasti tak akan mungkin mendapatkannya selain dari orang tua.
Jangan sampai, anak kita kelak menjadi “anak pembantu” atau “anak babysitter” yang lupa mendapat perhatian dan pendidikan khusus dari orangtuanya. Sementara orangtuanya malah sibuk dengan aktivitas karier semata. Pun juga kita sering dapati anak “bermasalah” itu sering berasal dari keluarga yang berantakan, broken home. Maka dari itulah, orangtua memiliki peran yang teramat vital dalam pendidikan.
Sebelas dua belas dengan peran orangtua, guru juga berperan sangat vital. Ia bukan hanya mengajarkan tapi ia juga mendidik. Guru itu harus menjadi seperti ulama yang bukan hanya mangajarkan bagaimana cara membaca Al Qur’an, namun juga mendidik bagaimana cara memahami kandungan serta mengamalkannya.
Guru pun harus menjadi “orangtua kedua” di sekolah. Walau tak mungkin sama, guru juga harus mendidik pserta didik dengan cinta dan tanggung jawab. Guru harus memposisikan seluruh anak didiknya seperti anak kandungnya.
Terakhir, semua bentuk pendidikan orang tua dan guru harus disempurnakan oleh negara. Negara, dalam hal ini pemerintah harus menyediakan pendidikan beserta seluruh paket kebijakannya yang berkualitas dan terjangkau. Juga, negara harus menyediakan kesejahteraan bagi guru yang ikhlas mengabdi.
Negara harus menjadi garda terdepan dalam melaksanakan amanah undang-undang. Ia tak boleh mengorbankan apalagi hingga menjual pendidikan kita. Angka 20% APBN sektor pendidikan bukanlah sekedar hitung-hitungan dana pendidikan. 20% harus menjadi semangat yang menggambarkan negara harus mengutamakan sektor pendidikan atas sektor lainnya. 20% harus menjadi komitmen untuk memajukan pendidikan bangsa.
******
Akhirnya, semua dari kita harus sama-sama bekerja, berperan untuk mengembalikan khittah pendidikan ini. Nilai dan karakter harus menjadi paradigmanya. Dan menjaga agar pendidikan kita bukan hanya menjadi sekedar proses formalitas belaka.
Wisma Shalahuddin, 2 Mei 2012 18:39
sofietisamashuri.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar