Jakarta Baru, Jakarta Kita
“…..Nampaknya Allah hanya
menguji kita mulai pada titik yang
paling lemah.”
(KH.
Rahmat Abdullah)
1527-2013, 486 sudah Ibukota Republik berdiri. Atas nama
Jayakarta, kota ini dilahirkan. Sedari masa Fatahillah, JP Coen, Ali Sadikin,
hingga kini Joko Widodo. Tua memang, bahkan lebih tua dibanding usia sang
Republik itu sendiri.
21 tahun sudah saya menjadi bagian dari ibukota. Walau tak
dilahirkan di atas tanahnya, tapi cukuplah sudah merasakan jatuh bangunnya
menjadi Jakarta. Ya, menjadi Jakarta, menjadi bagian dari segala prestasi serta
problemanya.
Kita pun percaya, 486 adalah usia yang sudah menua. Tapi,
problema tak urung selesai jua.
****
Sengaja saya kutip tulisan almarhum KH Rahmat Abdullah di
awal tulisan ini. Agar, kita dapat mencerna serta memilin kembali benang kusut:
keruwetan dan problema ibukota.
Ya, di sinilah Jakarta kita diuji. Di titik terlemah Jakarta
berikut manusianya. Di tiga titik terlemahnya: ketaatan, kesabaran, dan
keteraturan.
Inilah titik terlemah kita sebagai manusia ibukota. Bermula
dari tiga ini, semua problema terjadi: kemacetan, banjir, sampah, dan
semua-muanya.
Ada jutaan manusia yang tak sabar, tak taat, tak teratur.
Mobil dan motor berebut jatah masuk jalur busway. Sementara trio: angkot,
metromini, dan kopaja dengan seenaknya nge-tem
sembarangan. Dilengkapi dengan pejalan kaki yang tega menyebrang jalan
tepat di bawah jembatan penyebrangan. Macet lah akibatnya.
Ada ratusan Mall dibangun. Ada jejeran apartemen
didirikan. Menggusur taman kita, hutan kita, resapan air kita bahkan lapangan
sepakbola anak-anak kita. Juga, ratusan villa liar berdiri di pegunungan di
sekitar Jakarta. Lalu, kenapa kita harus mengeluh atas banjir yang melanda?
Allah (hanya) akan menguji kita pada titik terlemah kita,
sampai kita benar-benar “selesai” di titik ini. Allah akan selalu menguji
Jakarta kita dengan problema, hingga kita dapat menuntaskan titik terlemah
kita: ketaatan, kesabaran, keteraturan.
****
Beruntunglah kita, memiliki Gubernur baru yang dicintai
warganya. Partisipasi publik harusnya meningkat tajam. Dan, kita hanya tinggal
berharap Gubernur baru benar-benar tulus mendorong kita menuju Jakarta yang
beradab, sejahtera, dan bernuansa surga.
Lalu,
kita bersama membenahi jakarta kita. Bersama. Bersama pemimpin dan segenap
rakyatnya. Membenahi jakarta pada titik terlemahnya.
Terakhir,
mari kita ucapkan selamat dirgahayu pada Jakarta kita. Jakarta, yang makin tua.
Jakarta, yang makin tenggelam bersama keangkuhan dan individualistis
manusianya. Jakarta, yang makin larut bersama mimpi-mimpi anak-anaknya.
Semoga,
di hari jadinya, Jakarta kita dapat berbenah. Berbenah bersama. Menuju: Jakarta
Baru, Jakarta Kita.
Jakarta Kita, 22 Juni 2013, 09.30
sofietisa.com
sumber gambar: jakarta.go.id
Komentar
Posting Komentar