.......Namanya Arya
Namanya Arya (nama sebenarnya). Lebih dari 7 tahun saya mengenal (kekemploan)-nya. Dan kesendirian yang selalu menemaninya.
Dia orang hebat, kawan. Se-7 tahunan bersahabat dengannya, saya hanya menemukan satu kekurangannya: tidak punya kelebihan. Hahaha, damai!
Mengaku bonek, tapi hampir nangis, teriak-teriak ketakutan masuk rumah hantu Jatim Park 1. Padahal baru 5 meter masuk. Cih!
Berimajinasi (baca: mengkhayal) adalah keahliannya. Selain membuat desain yang ciamik, tentunya. Padahal, nasihat saya tetap sama: menghayal itu adalah pekerjaan orang-orang gagal dan menyerah.
Anyway, saya tidak sedang ingin mengupas tentang Arya. Tapi kalau ada al-ukh yang berminat, silakan PM saya. Siapa tahu, kalian cocok. *benerin sarung *siapin kopiah *makcomblang kasta brahmana mode on
Saya sedang ingin menuliskan satu dari sekian (sangat) sedikit perdebatan kami yang bermutu. Eh, tapi ini bermutu tidak sih? Yang tak (akan) pernah selesai untuk disimpulkan. Tentang: "Pernikahan antar Harakah. Realistis kah?"
Arya mengupas dari sisi dia sebagai pengamat yang cenderung pro. Dan saya jelas, mengupas dari sisi sebagai praktisi... Yang sebenarnya sih pro, tapi sangat tidak menyarankan. Herewith, my opinion describing this issue.
Ada 4 kaidah memahami issue ini, dalam pandangan saya.
Kaidah pertama, saya sebenarnya tidak suka, tapi memang itulah adanya. Menukil Anis Matta, "Lupakan cinta jiwa yang tidak akan sampai di pelaminan."
Kalau memang tidak cukup percaya diri mampu menebas perbedaan dan menembus sekat antar harakah, lupakan saja itu cinta. Kalau tidak punya nyali untuk matur kepada guru ngaji-nya, buang jauh-jauh perasaan. Jangan sampai serapuh Qais yang majnun saat tak berpelaminan bersama Layla.
Kata teman saya, cinta itu kata kerja. Karena ia adalah kata kerja, maka ia adalah sebuah pilihan. Engkau bebas memilih apakah akan jatuh cinta ataukah tidak. Maka, pikirkan dahulu sebelum memutuskan untuk mencintai pasangan jenis yang njilalah beda harakah.
Kaidah kedua, pilihlah yang se-kufu dan yang membawa ketenangan. "Pilihlah wanita-wanita yang akan melahirkan anak-anakmu dan nikahilah wanita yang sekufu." (al hadist)
Entah dalam artian sederajat, sesuku, sebangsa, sebahasa, dan seharakah. Setidaknya, dalam penerawangan saya itu akan lebih menentramkan. Dan lebih meminimalisasi konflik dan piring-piring yang terpaksa pecah.
Kaidah ketiga, luruskan niat, terutama untuk belajar Agama. Ada banyak cerita yang masuk memori otak saya tentang mereka yang berbeda harakah namun jatuh cinta. Atau mereka yang tiba-tiba "mendaftarkan diri" masuk harakah pujaan hati. Tiba-tiba ada yang meminta dicarikan murabbi dan kelompok liqo.
Boi, lebih baik luruskan niat. Jangan sampai belajar agama, liqo, taklim hanya untuk menikah dan mengejar pujaan hati. Percayalah, kalau liqo hanya untuk itu, anda sia-sia. Tidak ada korelasinya antara liqo dan cepat dapat jodoh. Toh buktinya, saya punya ratusan nama yang sudah liqo lebih dari 10 tahun, tapi belum nikah-nikah juga. See!
Kaidah terakhir, hampir mirip sebelumnya. Menikah itu bukan hanya urusan "perut ke bawah" apalagi hanya untuk pamer kemesraan di medsos. Ia adalah awal mula peradaban.
Kalau di jalan dakwah kita menikah. Dan di jalan menikah kita berdakwah. Maka ikhitiarkan untuk berdakwah dalam gerbong yang sama. Kalau berbeda gerbong, namanya LDR-an, sob.
Itu saja lah. Terlalu banyak ndobos saya. Terlalu banyak berteori. Mari berpraktek saja. Setidaknya dengan menyiapkan dan memperbaiki diri menjemput kabar baik dari langit. HasbunaLlah wa ni'mal wakiil...
Oh iya, terakhir. Arya, berdirilah di gerbong yang jelas boi. Berdiri di banyak kaki itu melelahkan.
Jakarta, 13 September 2014
Sofiet Isa M Setia Hati
Ane dibikinin kyk gini juga dong boi
BalasHapus