Mendikte Tuhan

Kita yakin kita mampu melakukan sesuatu. Kita yakin, cara kita benar. Pun kita yakin, kita lah yang paling mengerti serta memahami ini. Yang lain, bukan apa-apa dibanding kita.

Namun, tetiba..

Ada anak kecil datang. Anak kemaren sore dan masih bau kencur itu tiba-tiba mengajari kita. Menyuruh kita melakukan ini (hanya) berdasarkan imajinya. Mendikte kita.

Ah, sok sekali anak ini. Padahal, dia siapa (?). Ah, memang dia bukan siapa-siapa. Hanya sok tahu saja. Menyebalkan bukan?

********

Begitulah manusia.. pada Tuhan-nya.

Manusia acap kali mendikte Allah yang Maha Besar. Seolah-olah kita lah yang lebih faham dan mengerti tentang kehidupan. Tentang apa yang buruk. Tentang apa yang baik. Dan tentang  apa yang terbaik untuk ditakdirkan bagi hamba-hambaNya.

Mendikte Tuhan. Menuntut dan memaksaNya mengabulkan apa kita pinta dan apa yang kita mau. Berdasar (hanya) pada imaji kita yang kadang penuh syahwat. Padahal kita hanya hamba. Allah Tuhan-nya, yang Maha Agung dan Kuasa. Serta Dia lah yang Maha Bijaksana.

Karena Dia dan hanya Dia yang Bijaksana, maka percayalah padaNya. Dia lah sebaik-baiknya penulis cerita. Sebaik-baiknya sutradara bagi hambaNya yang hanya lakon dari cerita dan takdir yang ditulisNya.

Walaupun sering, batas antara menyerah dan berpasrah padaNya itu sangat tipis. Sementara kita tak tahu, kaki kita berdiri di sisi yang mana. Tetaplah percaya padaNya. Jangan berputus asa, dari kasih sayangNya. Dan berprasangka baik selalu pada takdir baiknya, walaupun itu pahit dirasa. Itulah yang terbaik bagi kita.

Sembari kita selalu merapal doa: "Rabbi, 'adkhilni mudkhala shidqin, wa 'akhrijni mukhraja shidqin, waj'al-li mil-ladunka sultanan nashira."

 ...................Rabbi anzilni munzalan mubaarakan.
Jakarta, 2 September 2014
Sofiet Isa M Setia Hati
*dikembangkan dari sebuah diskusi kecil pada forum pekanan
*sumber gambar: memegen.com 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

(Bukan) Aktivis Dakwah Kampus: Maulana, Maulana!

Tarbiyah Bukan PKS

Menuju Persatuan Gerak Gerakan Islam