Apa yang Kau Kejar?
"Kerjarlah dunia, niscaya akhirat kan lari meninggalkanmu.
Kejarlah akhirat, niscaya dunia dan akhirat kan tunduk padamu." ~
Adagium yang indah untuk menggambarkan lika-liku hamba Tuhan. Berjalan tak tentu arah, entah apa dan siapa yang dikejar. Untuk siapa dan mengapa harus dikejar.
Ada 2 mata kuliah. Yang pertama kamu pasti mendapatkan A. Pasti A. Yang kedua tak tentu. Hanya Tuhan dan dosen saja yang tahu. Lalu mana yang akan kau kejar? Dengan ikhtiar yang sungguh.
Nalar yang paling tak nalar sekalipun pun akan sepakat. Tak perlu ngoyo mengejar yang pertama. Tak akan lari ia dikejar. Sementara, yang kedua lah yang menjadi sang tanda tanya. Ia yang jauh paling layak untuk kita kejar. Mati-matian.
Pun dunia. Juga akhirat.
Dunia: kehidupan, kematian, rizki, jodoh, celaka, bahagia. Ia sudah tertulis di Lauhul Mahfudz-Nya. Ia sudah pasti menjadi ketetapan atas kita. Tugas kita hanya menjemputnya. Karena ia pasti kan datang.
Akhirat lah yang misteri. Hanya tarikan nafas terakhir kita lah penentu. Apakah Dia ridhoi kita. Ataukah sebaliknya.
Tugas kita adalah mengejarnya. Memastikan kedua kaki kita tiba di altar surga. Mengantarkan amal kita pada ridha dan barakah-Nya.
Semua kita kan menyesal. Entah pengejar akhirat. Apalagi pengejar dunia.
Mereka pendamba akhirat akan menyesal. Mengapa kebajikannya tak sebanyak yang lain. Mengapa hanya segini dan segini. Sementara pendamba dunia akan menyesal. Mengapa mereka lalai dari yang kekal, mendekati yang fana. "Duhai, andai aku dulu hanya segumpal tanah.", sesalnya.
Lalu, mengapa kita masih mengejar sesuatu yang pasti?
Sementara yang misteri dan kekal abadi, lalai kita padanya.
****
Kututup tulisan untuk diri pribadi ini dengan kisah agung yang selalu membuat tertegun malu.
Ini
kisah tentang Sa’ad bin Abi Waqqash dengan Gubernur Madain, Salman Al
Farisi. Semoga Allah meridhai mereka berdua. Saat Sa’ad mengunjungi dan
menjenguk Salman yang sakit di pembaringan, sesaat sebelum ajal
menjemput Salman. Hingga Salman tiba-tiba menangis.
“Apa yang engkau tangiskan duhai Abu Abdillah (panggilan Salman)? Padahal saat Rasulullah wafat, beliau telah ridha padamu?” tanya Sa’ad heran.
“Aku
menangis bukan karena takut mati atau mengharap kemewahan dunia”, jawab
Salman.
“Rasulullah telah menyampaikan suatu pesan kepada kita:
“Hendaklah bagian kalian dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorang
musafir”. Padahal harta milikku seperti ini banyaknya.”
Sa’ad menceritakan, “Kemudian aku perhatikan, tak ada yang tampak di sekelilingku kecuali satu piring dan satu baskom.” Ah, subhanallah. Duhai Allah, Engkau ajarkan kami makna zuhud pada dirinya, Salman al Farisi.
Dan kisah Salman ini ditutup dengan nasihat Salman kepada Sa’ad. “Wahai Sa’ad, ingatlah Allah ketika kamu menginginkan sesuatu, ketika kamu memberikan keputusan, ketika kamu membagi.”
“Sesungguhnya
perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami
turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu
tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang
ternak. hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai
(pula) perhiasannya, dan pemilik-permliknya mengira bahwa mereka pasti
menguasasinya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam
atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman
yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah
Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang
berfikir.
(QS 10:24)
Disarikan dari sebuah forum pekanan,
Jakarta, 21 September 2014
Hasbunallahu wa ni'mal wakil....
Sofiet Isa M. Setia Hati
foto: captured by Aulia Muhaddi
Komentar
Posting Komentar