Kutipan Doa: "Aku siap menikah! ......dengan siapapun yang Allah pilihkan"


Merekonstruksi perjalanan Khidir dan Musa. Mungkin adalah judul yang tepat untuk hikmah satu harian, pada beberapa hari lalu. Tapi saya bukan Musa, meskipun dapat sekelumit pelajaran (lebih tepatnya tamparan), hari itu. Dan saya sendirian, tidak bersama pemberi hikmah seperti Khidir. Saya hanya memilin hikmah otodidak dari akal saya yang suka nyeleneh.

Ini tentang satu fase kehidupan. Setengah Agama. Yang saya pribadi entah kapan diperkenankan Allah untuk melangkah. Mungkin karena Dia paham, saya masih pada level, yang kata Cak Nun, terjangkiti "takhayul yang enak-enak tentang rumah tangga."

Anyway, here it's. Semoga kita sama-sama mendapat hikmah. Rabbi anzilni mundzalan mubaarakan.

******

Menjelang Zuhur dalam sebuah penantian. Menanti Commuterline, maksudku. Seorang wanita berjilbab lebar, sebut saja Akhwat. Duduk di ujung peron stasiun Manggarai. Menanti Commuterline, juga. Sembari bertilawah. Masya Allah, shalihah betul.

Lupakan dia. Mari menuju Stasiun Sudirman.

Memasuki waktu Zuhur, merapat ke musholla kecil timur stasiun. Dan.. Saya bertemu akhwat itu, lagi. Namun, dia sedang menenteng, eh menggandeng  bocah usia empat tahun. Ah sudah menikah rupanya. Betapa beruntung lelaki yang memperistri wanita shalihah tersebut.

Bermasbuk zuhur. Selesai zikir dan doa, Imam melanjutkan sholat sunnah. Kemudian tilawah. Ah, shalih betul lelaki ini. Di musholla kecil ini saja dia tetap bertilawah.

Dan tetiba... Bocah kecil, putra akhwat tadi nyelonong depan saya. Menghampiri lelaki, imam tadi. Ya Allah, ternyata dia adalah seorang ayah. Sekaligus, suami akhwat tadi. Ah, saya bingung, siapa yang beruntung kalau akhir ceritanya adalah begini.

Oh dudes... Ini nasihat Allah... Saya masih petantang petenteng mengharapkan keluarga nuansa surga. Jauh, men!

Keluarga yang barakah adalah keluarga dimana ada Allah di dalamnya. Dimana al Qur'an adalah nadinya. Dan shalat berjamaah di awal waktu adalah pondasinya. Dimana nasihat Allah selalu dijaga: "Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa neraka"

*****

JCC Senayan sesore setalahnya. Adzan maghrib redup ditengah suara gemuruh para fans EXO yang tumpah ruah di area sebelah JCC.

Sepasang usia 60an bergandengan menuju musholla kecil dan terpencil di sudut jauh JCC. Ah, ini yang aku sebut cinta sejati dan abadi. Bagaimana romantisme itu tak hanya sekedar kata. Dan tak larut dalam usia yang semakin senja. Dan romantisme itu hanya semu, jika bukan Tuhan tujuannya. Disana mereka mengajarkan kembali, makna itu.

Sholatlah sang bapak yang lebih cocok disebut kakek ini, di belakang saya. Setelahnya, dia tanyakan saya sesuatu.

"Menurutmu mas, karangan bunga di sana itu berapa?" puluhan karangan bunga di selasar JCC yang memang sehabis hajatan pernikahan seseorang. "Satu juta sepertinya lebih ya?"

"Sepertinya segitu, pak. Mahal banget." jawabku yang memang tidak tahu.

"Sayang ya mas. Kalau saya yang punya hajat, saya minta untuk jangan kasih semacam itu. Mending untuk anak yatim atau fakir miskin."

"Betul, pak. Mubadzir." saya mengamini.

....... Jika zuhur tadi dinasihati Allah bahwa keluarga harus berpondasi iman dan beralaskan taqwa. Maghrib ini nasihatNya berkembang. Keluarga bukan hanya internalnya saja yang baik, namun bermanfaat bagi sekitar. Dan sederhana saja, dimulai dari hari pertama berumahtangga. Andai bisa berbagi, jangan sia-siakan apapun itu.

*****

Di dalam baik dan bermaanfaat bagi semesta. Itulah definisi keluarga yang kita idamkan. Dan Allah memberikan nasihatnya sekaligus, hari itu. Pertanyaannya: "bagaimana cara menujunya?"

Sepaginya. Sebelum zuhur dan maghrib tersebut. Pada sebuah diskusi kecil selepas forum pekanan. Guru spiritual saya memberikan nasihatnya. Kira-kira begini.

"Yang diperlukan adalah niat yang lurus. Jika ingin mendapatkan yang terbaik, maka perbaiki diri dan jadilah yang terbaik juga. Jika ingin mendapatkan mutiara, ya harus mampu menyelam ke dasar. Tidak ada cerita yang hanya di permukaan mengharapkan mutiara paling bersinar."

"Ingat saja. Jodoh tidak akan kemana. Kalau memang berjodoh, tidak akan lari dikejar. Bagaimana pun cara menujunya. Mau lewat ta'aruf. Mau lewat pacaran. Atau maaf, dihamili duluan. Jodoh sudah ada di Tangan Tuhan."

Untung saya sedang berganti imej anak nakal menuju anak manut. Kalau tidak, sudah saya timpali. "Iya sih, bang. Jodoh tak akan kemana. Tapi kalau tidak dikejar, ya tak kemana-mana. Iya sih, bang. Jodoh di tangan Tuhan. Tapi kalau tidak dijemput, ya masih di Tangan Tuhan."

Dan ada satu doa yang ia ajarkan. Sebuah doa yang bagi saya pribadi sungguh berat apalagi siapa saya yang hanya ikhwan kasta sudra. Maka berdoalah: "Ya Allah, aku siap menikah... dengan SIAPAPUN yang Engkau pilihkan."


Sebuah kado untuk sahabat,
yang sedang (akan) berposes menjemput tambatan hati

Jakarta, 8 September 2014
Sofiet Isa M. Setia Hati


sumber gambar: muslimvillage.com
  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

(Bukan) Aktivis Dakwah Kampus: Maulana, Maulana!

Tarbiyah Bukan PKS

Menuju Persatuan Gerak Gerakan Islam