Antara Tahiti, Inggris… dan Tentu Indonesia!




Ada yang menarik dari perhelatan Piala Konfederasi 2013 di Brasil kali ini. Ya, apalagi kalau bukan kehadiran timnas Tahiti, juara Oseania 2012. Tahiti? Tahukah Anda itu nama Negara sebelumnya?

Anda dapat membayangkan bagaimana 99% pemain sepakbolanya adalah amatir, hanya menyisakan satu personel saja yang benar-benar pemain professional. Bayangkan, para pemain amatir ini sehari-hari adalah seorang kuli, seorang supir, seorang pengangguran, bahkan seorang pemanjat pohon kelapa. Dan kini, mereka bertanding melawan raksasa, semacam Spanyol, juara Dunia dan Eropa.

Itulah Tahiti. Mereka datang untuk menang. Memenangi hati rakyat Brasil dan dunia, terutama hati lima ratus ribu rakyat Tahiti. Mereka datang untuk mengenalkan dunia tentang negaranya. Dan, mereka datang kepada kita dan mengajarkan bahwa sepakbola adalah permainan hati, bukan hanya kaki; tentang kebanggaan dan prestasi.

Walau akhirnya menjadi lumbung gol saat bersua Nigeria dan Spanyol, tapi Anda dapat rasakan bagaimana mereka berpesta saat berhasil mencetak gol dan berselebrasi ala pengayuh kano. Serasa, mereka  telah menjuarai Piala Dunia.

Dan, standing ovation pun diberikan pada mereka. Serta, target meraka pun tertunaikan: memenangkan hati dunia dan bermain dengan kebanggaan.

****

Lalu, kita coba beralih pada Inggris, Negara dimana sepakbola pertama ditemukan. Juga, Negara dimana liga modernnya menjadi liga paling kompetitif dan paling “wah” sedunia.

Kapan terakhir Inggris juara dunia? 1966, 47 tahun lalu, di negaranya sendiri. Kapan terakhir Inggris juara Eropa? Belum pernah saya sekali.

Anda dapat bayangkan bagaimana sebuah Negara yang liga klubnya adalah nomor wahid, tapi timnasnya sendiri minim prestasi. Itulah Inggris.

Saat sepakbola hanyalah urusan hiburan dan uang, prestasi pun redup seiring zaman. Bahkan, sempat tersiar ide, liga utama Inggris tanpa degradasi. Tersebab, para taipan pemilik klub tak sudi pundi-pundinya berkurang akibat klub yang dimilikinya terdegradasi. Ya bagitulah, saat uang menutup kebanggaan dan prestasi.

****

Bagaimana dengan Indonesia?

Bagaimana ya?

Sepakbola kita masih sama. Rusuh dan kisruh. Prestasi terakhir hanya di 1991 di Sea Games di Manila, kita juara. Tak ada kebanggaan prestasi seperti dulu. Kala kita masuk piala dunia 1938 walau kalah telak lawan Hongaria. Atau, kala kita berhasil menahan imbang Lev Yashin dkk (Uni Soviet) di Olimpade Melbourne 1956, walau akhirnya harus menyerah di pertandingan ulangan keesokannya. Atau saat kita nyaris masuk piala dunia 1958, kalah WO karena menolah melawan Israel. Tak ada lagi.

Sepakbola kita kini masih menyedihkan. Kerusuhan supporter, dualisme liga, mafia skor, tak dibayarnya gaji pemain & offisial, hingga meninggalnya pemain yang kehabisan dana untuk berobat. Menyedihkan, memang.



Padahal, sepakbola adalah milik kita. Itu kebanggan kita akan Indonesia. Itu hiburan kita di tengah gaduhnya politik, bobroknya ekonomi, dan instabilitas keamanan negeri. Sepakbola kita harus memangggakan. Sepakbola Indonesia harus juara!

Karena praktis, tinggal Badminton dan Sepakbola saja kita bangga menjadi Indonesia. Hanya Badminton dan Sepakbola saja kita lantang meneriakkan: “Indonesia... Indonesia...!!!”. Dan membuat kita tulus meletakkan Garuda, tepat di atas jantung kita.

Salam olahraga. Salam satu jiwa.


Jakarta, 22 Juni 2013, 11.14
Sofiet Isa M. Setia Hati
-penyuka sepakbola Indonesia, Persija, dan Arema-


sumber gambar: google.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

(Bukan) Aktivis Dakwah Kampus: Maulana, Maulana!

Tarbiyah Bukan PKS

Menuju Persatuan Gerak Gerakan Islam