Tarbiyah Bukan PKS
Wajah Tarbiyah di Indonesia mulai agak samar di pandangan subjektif saya. Sebagai gerakan yang lahir dari rahim Ikhwanul Muslimin di Mesir, Tarbiyah mulai limbung paska mendeklarasikan dirinya sebagai Partai Keadilan (Sejahtera), terutama paska Pemilu 2004. Apalagi, setalah sebagian oknum elitenya mulai di-KPK-an satu per satu.
Hanya Allah dan mereka yang tahu tentang apa yang mereka perbuat. Benar atau salahnya. Dan semoga Allah menjauhkan saya dari kesalahan praduga dan keburukan prasangka.
****
Begini, tulisan ini dibuat bukan untuk mengkritisi Tarbiyah apalagi sampai men-judge bahwa Tarbiyah sudah keluar dari jalurnya. Bukan. Toh maqom saya jauh dari itu. Sangat lancang, sebagai seorang yang dulu hanya berstatus sebagai kader kasta sudra di Tarbiyah sampai hati melakukan itu.
Namun, ini hanya sekedar memberikan pandangan (subjektif) mengapa hari ini banyak orang kecewa terhadap Tarbiyah. Banyak kader yang akhirnya meninggalkan gerakan ini. Atau bahkan, sampai menjadi musuh bagi Tarbiyah.
Dalam pikiran saya yang dangkal dan fakir ini, setidaknya ada tiga alasan pokok hal ini sampai begitu marak terjadi di internal Tarbiyah.
****
Pertama, kita tak benar-benar berta’aruf dengan politik. Apalagi politik dan demokrasi di Indonesia.
Dalam paradigma (sebagian kader) dakwah (yang
fundamental), hanya ada hitam dan putih. Tidak ada abu-abu. Padahal, di alam
demokrasi, ada ruang antara hitam dan putih. Ruang inilah yang kita sebut
sebagai ruang kompromi.
Rokok, jelas haram dalam Islam. Siapapun dan dalam kondisi apapun, jelas rokok adalah haram. Tapi dalam demokrasi, ada banyak kepentingan yang bermain disana. Kompromi akhirnya lah yang menentukan. Rokok bisa jadi haram bagi yang berusia 17 tahun ke bawah, namun mubah bagi yang telah 17 tahun ke atas. Dan itu atas dasar kompromi.
Nah, ruang kompromi inilah yang di-amin-i oleh sebagian kader “nyempal” Tarbiyah sebagai keluar jalurnya Tarbiyah dari asholah dakwah.
Terlepas dari sebagian elite Tarbiyah yang terindikasi “bermain-main” di ruang kompromi wilayah sumber keuangan dan proyek negara, kita harus paham kredo Tarbiyah: Jangan lepaskan semua, kalau tak sanggup mengambil semua. Dan njilalah kok pas dengan ruang kompromi di alam demokrasi.
Tapi, dalam pemikiran kader yang minim informasi dan klarifikasi, hal-hal semacam ini di-stempel-i dengan cap: keluar dari kemurnian dakwah.
****
Kedua, kesantunan berpolitik sebagaian oknum elite
Tarbiyah.
Barisan sakit hati. Sudah berapa hati yang sudah disakiti dan dikecewakan oleh kebijakan serta prilaku oknum di Tarbiyah dalam berpolitik. Akusisi lembaga publik menjadi lembaga milik Jama’ah. Hegemonisasi organisasi. Syuro dalam syuro. Mengusung “botol kosong” dengan membuang “botol berisi”. Kegagapan komunikasi dan kegagalan kaderisasi.
Terlepas dari akuisisi dan hegemonisasi lembaga publik yang seharusnya tidak patut terjadi, saya mafhum kenapa banyak yang kecewa dan terluka. Karena begini, struktur dan metodologi pengambilan kebijakan Tarbiyah sangat tidak cocok bagi kader yang over kritis dan cenderung mbalelo. Tingkat sami’na wa atho’na dalam Tarbiyah wajib tinggi, selevel dengan ketaatan Kopassus pada Jendralnya.
Ketidaksantunan berpolitik yang bertemu dengan ke-kritisan berlebih seorang al-akh inilah yang menghasilkan barisan sakit hati.
****
Ketiga atau mungkin yang paling mendasar adalah bertransformasinya Tarbiyah menjadi Partai Politik.
Adalah unik kalau kita mencermati pola Tarbiyah di Indonesia di bandingkan dengan Ikhwan di negara lain. Di Republik ini, pola yang dipakai Tarbiyah adalah al-hizbu huwal-jama'ah wal-jama'ah hiyal hizb, Jamaah adalah Partai dan Partai adalah Jama’ah.
Di negara lain, umumnya partai/gerakan politik Ikhwan hanyalah salah satu sayap Jama’ah dan bukan keseluruhan Jama’ah. Di Indonesia, Tarbiyah ya PKS, PKS ya Tarbiyah. Nah, kalau ada yang bermasalah dengan PKS, yang terserang adalah keseluruhan Jama’ah.
Dengan kondisi politik Indonesia yang busuknya menusuk hidung, PKS suka tidak suka akan ikut kecipratan bau busuknya politik nasional. Dan itu otomatis juga sama-sama “membusukkan” Tarbiyah secara keseluruhan.
Dan itu disempurnakan dengan ketidaksiapan sumber daya Tarbiyah dalam berpolitik. Tarbiyah tampak tergesa-gesa mengambil kebijakan berpolitik saat rezim Soeharto yang tiba-tiba jatuh tanpa pernah diprediksi oleh internal Tarbiyah kalau jatuhnya Orba akan secepat itu.
Finansial Tarbiyah tidak siap. Jaringan professional juga masih belum cukup kuat. Kepopuleran tokoh Tarbiyah jauh di bawah level tokoh-tokoh politik partai/gerakan lain. Media massa yang dimiliki Tarbiyah pun tak sanggup menyumpal mulut media-media yang tak objektif.
Sering saya membayangkan, andai Tarbiyah tidak bertransformasi menjadi partai politik. Atau, menunda beberapa tahun deklarasi partai politik-nya sampai benar-benar siap tampil di politik nasional. Saya sangat yakin, jumlah kader Tarbiyah akan berkali-kali lipat dari jumlahnya saat ini. Dan, efek serta prestasinya akan jauh lebih dahsyat dari Ikhwan di Turki dengan AKP-nya.
****
Menutup tulisan yang karut marut ini, saya ingin mengajak semua agar kita sama-sama berdoa agar Tarbiyah tetap menjadi pelita di gelapnya malam Indonesia. Tarbiyah adalah aset bangsa dan harus tetap menjadi aset terbaik yang Indonesia punyai.
Juga, sembari kita berdoa dengan doa yang mahsyur ini: Allahumma arinal haqqo haqqo war zuqnat tiba’ah, wa arinal bathila bathila warzuqnaj tinabah. Ya Allah Tunjukilah kami kebenaran dan berikan kami jalan untuk mengikutinya, dan tunjukanlah kami kebatilan dan berikan kami jalan untuk menjauhinya
Terakhir, saya ingin menutup tulisan ini dengan kutipan seorang al-akh yang kebetulan atau tidak adalah ex-kader Tarbiyah: “Aku mencintai Jamaah Tarbiyah, tetapi aku lebih mencintai Kebenaran”
Wallahu a’lam bish-showwab. Fastabiqul Khairat.
International Financial
Centre,
24 Agustus 2013, 14:39 AM
Sofiet Isa M. Setia Hati
Aaminn
BalasHapusTerus berjuang
Mari kita semua berjuang bersama ikhwat/ukhwat Jamaah Tarbiyah..!! DAKWAH .. DAKWAH .. DAKWAH ..
BalasHapusartikelnya kok kosong?
BalasHapusPunya Plus minus jika menunggu besar akan di awali kehancuran. Jika membiarkan yang lain mengambil kepimpinan apa jadi negeri ini.
BalasHapusMari Tarbiyah dan jangan hanya fokus tarbiyah ummat menjadi Fokus Utama serta kepemimpinan