SANG PENCERAH GUNUNG MERAPI

Penampilannya sederhana nan bersahaja. Ditengah ketaksempurnaan fisiknya, ia tetap beraktivitas seperti biasa, bahkan luar biasa. Prestasi dan karyanya begitu mempesona, begitu mencerahkan. Ahmad Tukiran Maulana adalah sosok inspiratif kita hari ini.

Ahmad Tukiran Maulana atau akrab dengan sapaan Mas Maulana, dikenal sebagai da’i keliling kesehariannya. Penjaga moral Jogja adalah profesinya. Penggiat aktivitas pengajian merupakan rutinitasnya. Dan, hari ini kita coba mengenal tokoh kita ini dalam aktivitasnya yang berbeda: relawan kemanusiaan.

Perkenalan penulis dengan beliau sebagai relawan kemanusiaan adalah saat terjadi tanah longsor di Karang Anyar tahun 2007 silam. Beliau bersama UKM dimana saya beraktivitas (Jama’ah Shalahuddin UGM) berpartisipasi dalam rangakain kegiatan bakti sosial.

Sebelum saya berkuliah di UGM pun, menurut penuturan subjek langsung, beliau juga aktif sebagai relawan saat Gempa Bantul 2006. Dan gempa Padang setahun lalu pun menjadi saksi naluri kemanusiaanya. Bukan hanya doa dan dana, tak ragu ia terbang ke Padang, mengabdi selama sebulan dalam aktivitasnya sebagai relawan.

Bau anyir darah dan busuknya jenazah tak lagi membuatnya mundur. Kurangnya dana serta minimnya sarana tak membuat semangatnya mengendur. Sendiri maupun bersama, akan tetap seorang Ahmad Tukiran Maulana jalankan sebagai relawan.

Merapi 2010 kembali bergemuruh sebagai rutinitas tahunannya. Namun kali ini ia bergemuruh hebat. Jauh melebihi aktivitasnya dalam puluhan tahun terakhir. Dan Ahmad Tukiran Maulana kembali terpanggil. Dan Merapi menjadi arena aktualisasi rasa kemanusiaanya.

Saat erupsi Gunung Merapi terjadi, beliau menjadi relawan di barak-barak pengungsian. Apalagi, sejak puncak erupsi Merapi yang mengharuskan para warga di sekitar Gunung Merapi untuk mengungsi jauh dari tempat dimana mereka biasa tinggal. Seorang Ahmad Tukiran Maulana menjadi salah satu yang terdepan.

Dengan dipusatkannya para pengungsi di Stadion Maguwoharjo Sleman, Beliau mencurahkan segala aktivitas hidupnya di sana. Beliau lah yang menginisasi pembangunan musholla darurat pertama di Stadion Maguwoharjo. Beliau mencari dana, sumber daya manusia, maupun kebutuhan material lainnya untuk membangun tempat ibadah yang amat asasi itu.

Di sana lah beliau jaga semangat spiritualitas para korban. Rasa frustasi dan buruk sangka pada takdir Tuhan, beliau coba hapuskan dari benak tiap korban. Beliau sambangi satu per satu titik pengungsian. Silaturahim dan mengajak pada kebaikan. Mengingatkan mereka untuk kembali pada Tuhan dan nilai-nilai Agama.

Pengabdiannya bukan hanya saat erupsi Merapi 7 bulan lalu, namun konsisten hingga kini, masa recovery. Masa recovery adalah masa yang sulit. Media sudah tak lagi giat meliputnya sementara relawan serta bantuan sudah sangat jauh menurun jumlahnya. Padahal, masa recovery pasca erupsi Merapi adalah masa paling penting dalam pemulihan kondisi para korban. Dan Ahmad Tukiran Maulana kembali membuktikan komitmen dan konsitensinya.

Saat masa recovery, seluruh aktivitasnya dihabiskan di shelter-shelter yang tersebar di berbagai lokasi. Jarang beliau dapat ditemui di kampus UGM dan sekitarnya saat ini dimana dulu kesehariannya beliau habiskan di sana. Di lereng Merapi lah beliau kini menghabiskan waktunya. Hanya sesekali beliau “turun”. Itupun mayoritas hanya dilakukan dalam aktivitasnya sebagai seorang relawan.

Dilakukannya aktivitas yang jarang dilakukan oleh relawan lain. Sederhana memang, tapi sangat mengena: mengingatkan para korban untuk kembali pada Tuhan, menyeru untuk selalu beribadah, mendirikan tempat ibadah dan memakmurkannya, menjadi mubaligh, silaturahim dari satu rumah ke rumah lainnya sembari mengajak kembali pada spritualisme. Dibuatnya tulisan bahkan spanduk untuk menyempurkan ajakannya secara lisan.

Di sana beliau juga dirikan tempat ibadah walau hanya seadanya. Namun dengan seadanya inilah, nilai-nilai spiritualitas dan motivasi korban dijaganya. Beliau ingatkan semua agar mengingat Tuhan dan ajaran Agama. Ahmad Tukiran Maulana lah yang pertama azan dengan lantunan yang merasuk ke hati. Beliau pula yang pertama menjadi imam. Tausiahnya menjadi pelengkap keseharian korban.

Tak hanya kepada komunitas Muslim, beliau pun mengajak komunitas non Muslim pada nilai spiritualisme sesuai ajaran dan kepercayaan masing-masing. Beliau motivitasi dan ajak seluruh korban agar kembali menjalani kehidupan dengan semangat dan spirit yang terbarukan. Tanpa mengenal siapa dan apa latarbelakang mereka.

Tak hanya dilakukan secara individu, ia juga ajak banyak relasinya untuk berpartisipasi membantu aktivitasnya hingga akhirnya banyak yang tertarik mengambil bagian. Hingga nilai kemanusiaan tak hanya ada pada dirinya seorang.

Sementara itu, santun, sopan, ramah, dan dari hati ke hati adalah bahasa seruannya. Akhlak Islam dan kultur Jawa menyempurnakan kehalusan budi serta tuturnya. Inilah yang mampu membuka hati mereka yang memang butuh perhatian dan spirit. . Dan yang terpenting adalah semua ini dilakukan tanpa pamrih bahkan untuk menjalankan aktivitasnya tak segan-segan ia cari dana sendiri: bekerjasama dengan relasi hingga berjualan majalah dan kalender.

Akhirnya, semua ini memberikan nilai yang khas serta karya yang sangat bermanfaat dalam upaya recovery pasca erupsi Merapi. Tak ayal, kini julukannya bertambah satu: Sunan Kali Gendol.

Ada sebuah pengakuan jujur dari seorang Yusuf Maulana dalam tulisannya berjudul Relawan Tanpa Batas yang menggambarkan sosok Ahmad Tukiran Maulana yang luar biasa. Berikut adalah petikannya.

Sepasang tangan dengan gesit menerima sodoran tubuh, lalu mengangkatnya ke dalam bangsal yang telah dipenuhi sesak tubuh-tubuh ringkih dan bau amis darah. Cekatan dan terampil, seakan pemilik tangan itu terbiasa menghadapi keadaan tanggap darurat.

Maka, pengabdian tanpa pamrih menjadi pekerjaan baginya. Entah dimintai orang lain atau atas dasar penawaran aktif dirinya. Bukan hanya saat gempa mengguncang Yogyakarta, Tukiran bergerak. Hari-hari sebelum dan sesudah gempa pun ia masih bergerak. Ia menjadi relawan yang tetap ada, selagi waktu sendiri masih ada.

Bahkan, masih menurut Yusuf Maulana. Tukiran menawar-nawarkan uang untuk dipinjami mahasiswa atau orang umum yang menurutnya patut dibantu. Pinjaman itu bukan investasi ekonomis untuk mendapat keuntungan bunga, galibnya para rentenir. Bagi yang mengenal Tukiran, sudah mafhum jika pinjamannya itu selain tidak berbunga juga bisa dilupakan alias tidak dibayar sama sekali. Dan, dengan ringan hati, Tukiran akan mengikhlaskan semua itu. Uang itu diperoleh Tukiran bukan dari mengemis, melainkan dari jerih payahnya memasarkan majalah-majalah Islam, selain honor atas kebaikan ia menjualkan barang-barang pihak lain seperti kalender Masjid Kampus UGM.

Seorang Sofyan Effendi (semasa menjabat Rektor UGM) hafal sosok Tukiran hingga memintanya untuk menjadi relawan UGM (meski bukan mahasiswa UGM) dalam gempa Yogya Mei 2006. Demikian pula pejabat daerah seperti Bupati Bantul mengenal nama Tukiran. Jika Rektor UGM saja kenal, bukan hal aneh tentunya jika Dekan Ilmu Sosial dan Politik kampus yang sama hafal sosok Tukiran.

Hingga ada sebuah anekdot dikalangan civitas akademika UGM tentang sosok yang satu ini: seorang mahasiswa UGM tidak akan diakui sebagai mahasiswa UGM jika ia tidak mengetahui 3 nama: Ngarsa Dalem, Rektor UGM, dan Ahmad Tukiran Maulana.

Begitu lah sosok Ahmad Tukiran Maulana yang begitu mempesona. Menjadi cahaya di tengah gelap dan suramnya Merapi. Tak salah kita sandangkan ini padanya: Sang Pencerah Gunung Merapi.



*Diajukan dalam EADC 2011 oleh Sofiet Isa Mashuri Setia Hati dan Fajar Marendra


Wisma Shalahuddin, Mei 2011
sofietisaco.cc

Komentar

Postingan populer dari blog ini

25 Facts About Sofiet Isa - Edisi Revisi

Rumahku, Madrasahku

Q dan Sapu-nya