Cinta dan Sesuatu Setelah Kata






Saying I love you

Is not the words I want to hear from you
It's not that I want you not to say
But if you only knew
How easy it would be to show me how you feel
More than words is all you have to do to make it real
Then you wouldn't have to say that you love me
Cos I'd already know
[More Than Word_Extreme/Westlife]





Cinta adalah ekspresi paling primitif manusia yang pernah ada. Cinta ada, sejak pertama kali manusia diciptakan. Manusia dan cinta, seperti kata dan makna. Tanpa cinta, manusia tak bermakna. Dan hari ini, kita akan berbicara tentang cinta.

Cinta adalah rasa. Ia hadir dalam gelora hati, gejolak jiwa. Cinta hadir seperti angin. Tak berwujud, tapi terasa energinya. Atau seperti al Qur’an yang menjelaskan, saat disebut namaNya yang kau cinta, bergetarlah hatimu karena dahsyatnya rasa. Atau seperti saat cinta menyapa, hatimu resah, jiwamu gundah.

Dalam cinta, kita butuh bahasa. Diekspresikan dalam kata. Inilah alasan mengapa kita tiba-tiba menjadi pujangga dadakan saat cinta bersemi hingga menjadi rasa di dada. Di sini lah kata menjadi bagian penting dalam seni mencinta.

Kata bukan sebuah gombal-isasi cinta. Tapi ia adalah ekspresi romantisme. Dan romantisme, adalah udara dunia bagi cinta. Romantisme lah yang membuat jantung mampu berdetak mengalirkan jingganya cinta. Hingga cinta menjadi energi yang dahsyat.

Tapi cinta tidak akan pernah benar-benar menjadi cinta, saat ia hanya berupa rasa dan kata. Cinta butuh integritas: realisasi dan aktualisasi. Seperti iman, cinta hadir dalam tiga dimensinya yang berbeda: rasa, kata, dan amal nyata.

Benar bahwa cinta butuh deklarasi. Seperti Sapardi pernah berucap: “Aku mencintaimu dengan sederhana.” Atau saat cinta hadir dalam deklarasinya yang indah: “Aku mencintaimu bukan karena paras cantikmu, tapi karena imanmu. Jika imanmu pudar, maka pudar lah jua cintaku padamu.”

Tapi, ada sesuatu setelah kata. Karena kata butuh amal, agar cinta menjadi nyata. Cinta butuh perwujudan dalam segala bentuknya yang berupa-rupa.

Cinta harus menjelma dalam pengorbanan. Berkorban dengan segala daya yang ada demi yang dicinta. Berkorban untuk selalu membahagiakan, walau kadang harus mengorbankan perasaan diri. Berkorban untuk mengubah bahasa, “ini salahmu!” menjadi “maafkan aku, Cinta”.

Cinta harus bermetamorfosis menjadi energi memberi dan sifat yang peka. Inilah cinta dalam bahasa perhatian, care. Karena acapkali cinta datang dalam sifat penuh perhatian hingga ia tumbuh dan berkembang dalam perhatian itu. Bahkan, marah dan cemburu adalah ekspresi perhatian dalam cinta. Tapi, mereka dibungkus dalam bahasa kasih sayang. Hingga semua itu berakhir pada cinta yang makin jingga.

Cinta harus berwujud dalam semua sifat kebaikan. Pengorbanan, perhatian, kejujuran, kesetian, tanggung jawab, dan segala bentuk kebaikan lainnya harus melekat dalam tiap cinta. Kebaikan itu dibungkus, satu paket dengan cinta. Karena cinta tak pernah dijual terpisah dengan itu semua.

Cinta itu bukan diam. Cinta butuh pembuktian. Dan pembuktian inilah sumber keabadian cinta. Atau, meminjam istilah Agama, janganlah para pencinta menjadi munafik dalam mencinta. Bilang cinta, tapi dusta. Mengaku cinta tapi ingkar. Mendeklarasikan cinta, tapi khianat.

Rasa-rasanya, lagu di atas, more than word, mampu menggambarkan kegelisahan tentang semua ini. Karena sering, ada duga dimana cinta hadir dan menyapa hanya dalam bahasa dan kata. Padahal, lebih dari sekedar kata, untuk mencinta.

Kita semua ingin mencintai hingga sempurna. Hingga satu saat dalam fragmen cinta kita, cinta tak butuh lagi kata. Hingga yang dicinta jujur berkata, you wouldn’t have to say that you love me, cos I’d already know.

Wisma Shalahuddin, May Day 2011, 20:37

sofietisa.co.cc

Komentar

Postingan populer dari blog ini

25 Facts About Sofiet Isa - Edisi Revisi

Rumahku, Madrasahku

Q dan Sapu-nya