Manusia, Cinta, dan Takdir Tuhan

Cinta adalah bahasa paling primitif dalam sejarah hidup manusia. Cinta ada sejak manusia pertama ada. Adam dan Hawa saling mencinta. Hingga turun ke bumi dengan cinta. Lalu terpisah, hingga kembali disatukan di Jabal Rahmah, Bukit Cinta.

Cinta dan manusia, seperti langit dan bumi. Langit cinta melindungi bumi manusia dengan kasih sayang. Begitulah cinta dan manusia sejak dulu. Tak ada cinta tanpa manusia. Tak ada manusia tanpa cinta.

Cinta dan manusia. Hanya ada satu yang membatasinya. Seperti ada tabir tak tampak antara keduanya. Logika cinta dan logika manusia, tak mampu menerawang tabir ini. Ialah takdir Tuhan, skenario lakon antara cinta dan manusia.

Takdir Tuhan lah yang membuat cinta begitu misterius. Hadir dalam bentuk dan waktu yang tak pernah terduga. Tiba-tiba saja, cinta memenuhi hati, merasuki jiwa. Tiba-tiba saja manusia terbuai cinta yang begitu memabukkan. Takdir Tuhan pula lah yang membuat cinta lenyap seketika. Pergi entah kemana dari diri manusia.

Takdir Tuhan inilah yang membuat pilihan manusia untuk mencinta hanya tinggal dua: destruktif dan konstruktif. Seperti gambaran pilihan manusia terhadap hidup dan matinya: fa’alhamaha fujuraha wa taqwaha, maka kami ilhamkan pada jiwa manusia: kefasikan dan ketakwaan. Inilah pilihan manusia atas efek cinta.

Cinta menjadi destruktif. Seperti kisah Qais yang menjadi majnun, gila, karena cintanya terbentur takdir Tuhan. Begitu dramatis, Syaikh Nizami menggambarkan kisah cinta yang mendustruktifkan Qais yang terpisahkan oleh yang dicinta, Layla. Hingga Qais gila dan mati dalam kegilaan.

Atau, seperti berita dewasa ini yang begitu memilukan. Bunuh diri karena gagal cinta. Seperti begitu murah harga sebuah nyawa. Hingga nyawa tak berarti lagi hanya karena cinta.

Cinta menjadi konstruktif. Seperti cerita cinta Muhammad dan Khadijah. Saat takdir Tuhan memisahkan mereka berdua di dunia, Muhammad tak lantas gila seraya menyerah kalah. Ya, itu memang menjadi hari yang sangat menyedihkan bagi Sang Nabi hingga terbersit untuk enggan melanjutkan cintanya dengan wanita lain. Tapi, Muhammad bangkit hingga kisah cintanya selalu mempesona dunia hingga kini dan nanti.

Cinta yang konstruktif adalah hak bagi manusia biasa yang memaknai cinta dengan cara yang luar biasa. Terhadap cinta, mereka tak pernah mengutuki takdir Tuhan sembari membunuh masa depan. Mereka tegar terhadap semua kehendak Tuhan atas cintanya.

Sekali lagi, takdir Tuhan adalah skenario paling apik dalam panggung cinta manusia. Satu saat, dalam sebuah fragmen perjalanan cinta manusia, cinta hadir. Dalam fragmennya yang lain, cinta pergi. Hadir dan perginya cinta adalah takdir Tuhan. Sementara pilihan manusia atas cinta: destruktif atau konstruktif, adalah cerita yang manusia buat sendiri.

Wisma Shalahuddin, 19 Mei 2011, 15:37

sofietisa.co.cc

Komentar

Postingan populer dari blog ini

25 Facts About Sofiet Isa - Edisi Revisi

Rumahku, Madrasahku

Q dan Sapu-nya