LUPA JAMA’I
-Rame-rame lupa-
Semalam ada seorang sahabat curhat ke saya. Tapi demi menjaga kehormatan dan harga diri, kita sebut saja sahabat saya ini sebagai Bunga (bukan nama sebenarnya). Bunga, seorang aktivis sebuah lembaga di sebuah kampus ternama di jogja (saya tidak bilang kalo di UGM lho), bercerita.
Bunga dan beberapa temannya diamanahkan oleh pengurus harian di lembaganya untuk merancang format sebuah forum komunitas. Hari berganti hari, rampunglah amanah Bunga dan tim nya. Dikirimlah hasil berupa notulensi rapat ke salah seorang pengurus harian sebagai bentuk pelaporan.
Hari kembali berganti hari. Bunga kembali beraktivis seperti biasa. Hingga suatu ketika Bunga bertemu seorang temannya (bukan pengurus harian, tapi sama-sama aktivis di lembaga yang sama) dan seperti biasa terjadilah percakapan diantara mereka. Tiba-tiba sampail ah percapakan mereka pada topik tentang forum komunitas itu.
Perasaan sahabat saya ini tiba-tiba jadi nano-nano saat itu. Sedih, marah, kecewa, mangkel, illfeel, semua jadi satu. Karena ternyata, sudah diputuskan di rapat pengurus harian beberapa pekan sebelumnya bahwa forum komunitas bentuknya ini, arahannya ini, sturkturnya ini, dan pengurus-pengurusnya ini. Dan itu semua Bunga ketahui bukan dari pengurus harian, tapi dari orang lain. Dan yang membuat bunga lebih nano-nano lagi adalah itu semua diputuskan tanpa ada bunga dan tim di rapat pengurus harian.
Diklarifikasi, ternyata semua itu diputuskan hanya berdasar notulensi ala kadarnya itu, tanpa ada mereka disana. “Nggak OK banget sih caranya”, keluhnya. “Masa’ iya nggak ada satu pun yang inget kalo harusnya ada kami disana, karena tulisan nggak bisa ngewakilin manusia. Masa’ iya nggak ada yang inget untuk mengkomunikasikan ini ke kami” lanjut nya.
“Waduh!” komentarku, singkat.
**********
Setelah sahabat tadi meluapkan semua itu, tangan saya terasa gatal untuk segera mengomentari ini lebih lanjut dalam deretan kata. Komentar saya bukan tentang fenomena komunikasi yang kata Bunga tadi “nggak OK”. Bagi saya masalah komunikasi itu harusnya sudah lewat karena telekomunikasi kita sudah canggih. Tapi, komentar saya tentang satu fenomena unik: lupa jama’i (rame-rame lupa).
Ya, manusia itu makhluk yang sangat terbatas. Ya, manusia itu tempatnya lupa dan salah. Maka dari itu kita dianjurkan dalam Agama untuk hidup berjama’ah. Alasannya sederhana. Kalau kita lupa dan salah, ada orang lain yang mengingatkan. Tapi, dalam konteks cerita Bunga, bagaimana jadinya kalau dalam satu jama’ah itu, semuanya lupa dan tidak ada satu pun yang ingat (ya iya lah). Inilah yang saya maksud sebagai lupa jama’i.
Kemudian saya berfikir, kenapa ini bisa terjadi. Fikir demi fikir, saya teringat salah satu cerita di BLINK-nya Malcom Gladwell tentang penelitian respon semua penghuni apartemen saat salah satu penghuni apartemen berteriak meminta tolong. Yang menarik adalah semakin banyak penghuni apartemen yang ada, maka ada kecenderungan di masing-masing penghuni untuk semakin acuh, karena mengganggap tak perlu lah dia menolong karena dia yakin, pasti ada penghuni lain yang akan menolong.
Tapi sepertinya bukan di titik itu alasannya. Sampai kemudian ada wangsit yang datang ke saya. Kemungkinan yang menyebabkan lupa jama’i ini adalah karena faktor kedudukan dan kekuasaan. Kontekstualisasinya adalah anggota parlemen kita.
Banyak diantara anggota parlemen kita itu adalah orang baik. Dan husnudzhan saya, mayoritas mereka adalah orang baik. Tapi, saat mereka, yang baik ini, memikili kedudukan dan kekuasaan, tiba-tiba mereka sendiri lupa kalau mereka adalah orang baik. Dan njelalah, mereka lupa secara berjama’ah kalau mereka orang yang baik. Maka jadilah parlemen kita amburadul, tidak karuan.
Tiba-tiba mereka ini lupa semua kalau mereka adalah wakil rakyat. Yang namanya wakil itu, kalau kata Iwan Fals, seharusnya merakyat. Menjadi representasi rakyat yang istiqamah menderita. Tapi sialnya, mereka lupa semua. Jadilah anggota parlemen kita sepeti saat ini. Hobi plesiran ke luar negeri, suka bolos dari rapat paripurna dan sidang komisi. Sekalinya datang, malah tidur atau bahkan buka tablet sambil asyik nonton yang tidak-tidak. Nah lho!
Kembali ke cerita Bunga, tenyata nyambung. Pengurus harian di lembaga Bunga itu adalah representasi kedudukan dan kekuasaaan tertinggi dalam lembaganya. Dan karena kedudukan dan kekuasaan inilah yang kemungkinan besar membuat mereka rame-rame lupa.
Mencoba mancari hikmah, sepertinya kita harus kembali meresapi filosofi orang Jawa: ojo dumeh. Jangan mentang-mentang, kalau di-Indonesia-kan.
Jangan mentang-mentang sekarang jadi orang top, lalu jadi sombong dan angkuh. Padahal dulu, tiap hari makan di angkringan atau burjo. Lah mentang-mentang sekarang jadi orang, kalau tidak makan di tempat yang embel-embelnya resto ‘n cafe, jadi pura-pura masih kenyang.
Jangan mentang-mentang punya kekuasaan dan kedudukan, lalu semena-mena. Merasa yang punya hak adalah dia sementara yang lain hanya punya kewajiban. Lalu memutuskan ini dan itu, tanpa mempertimbangkan hati dan perasaan yang ada pada rakyat jelata.
Jangan mentang-mentang!
Wisma Shalahuddin, 6 Mei 2010, 09:36
sofietisa.co.cc
sumber gambar: langitberita.com
Komentar
Posting Komentar