Tahun 2014 akhir, saya menuliskan 25 fakta tentang diri saya. Nah 3 tahun ini, saya banyak berubah. Mungkin perlu merevisi 25 fakta tentang diri saya. Dan saya yakin bahkan istri saya pun tak tahu fakta ini. Here they are: 1) Apa yang paling membahagiakan di dunia ini? Melihat anak istri bahagia, itu kebahagian. Selebihnya hanya pemanis. 2) Cita-cita di lifepan apa yang masih belum terwujud sampai sekarang? Masuk Indosat trus jadi Dirut. *Njilalah Dirutnya keburu resign kemarin 3) Lagi kepengen banget hiking atau tracking menembus hutan kayak ninja hatori. Just for finding a new inspiring thing. 4) Siapa yang paling dirindukan selain keluarga? Anak-anak JS. Setelah lihat video-video JS lagi, jadi pengen kumpul bareng. 5) Kalau lagi ga ada kerjaan, biasanya ngapain? Ngelamunin masa depan, membayangkan besok mau jadi apa, istri mau jadi apa, anak mau jadi apa. Utak atik lifeplan saja 6) Emangnya kebayang apa tentang masa depan anak? Saya selalu membayangkan Q nanti jadi diplomat di
Satu waktu, sahabat saya bercerita andai besar nanti, ia akan men-pesantren-kan anak pertamanya. Harus jadi hafidzh(ah), katanya. Kalau anak pertama gagal, anak kedua yang harus dipesantrenkan (juga). Begitu seterusnya. Agar, kelak di hari akhir ia, mereka dapat memberi syafaat kepada kedua orangtuanya. Walau, kedua orang tuanya tidak hafidzh sekalipun. Keren, kata saya Tapi bukan lah Sofiet kalau tidak punya pikiran yang nyeleneh. Kan? Saya berpikir, lalu berpendapat. Tugas mendidik adalah milik orangtua. Hak anak terhadap kedua orangtuanya: dinafkahi dan dididik dengan baik. Orang tua adalah pemilik saham sekaligus penangung jawab terbesar untuk mendidik anak. Baik buruknya anak (dan istri), ada di pundak orangtuanya. Lalu dimana sekolah/pesantren/Madrasah? Sekolah, bukanlah vendor bagi pendidikan anak. Ia juga bukan tempat penitipan anak. Sorry to say, sekolah bukan vendor cuci piring setelah kita selesai dengan santapan kita. Ia hanyalah mitra bagi orang tua. Karena ad
Di tangannya yang tak sempurna itu, sebotol minuman keras tergenggam erat. Sementara, di sekelilingnya ada pesta ala anak muda kota Jogja. Berpasang-pasang, menghabiskan malam purnama di remang-remang lampu kota. Bukan, ia bukan seorang penjual miras. Bukan pula seorang pemabuk. Ia hanya seorang da’i jalanan. Da’i keliling, begitu ia biasa mengenalkan diri pada khalayak ramai. Namanya Ahmad Tukiran Maulana. Lahir di Ponjong, satu kawasan di pelosok Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Maulana, begitu ia biasa disapa, terlahir dengan kondisi fisik (dalam pandangan manusia) tak sempurna. Dengan kondisi fisiknya ini, ia lahir bukan untuk menjadi manusia yang mengeluh sembari meratapi nasib. Ia lahir dengan amal-amal yang luar biasa. Hari-harinya ia habiskan berdakwah dari satu tempat ke tempat lain. Dari satu masjid ke masjid lain, dari satu pengajian ke pengajian lain. Tak peduli, ia tak pernah memandang afiliasi gerakan dan pemikiran perngajian tersebut. Ia sambangi. Pun,
Komentar
Posting Komentar