Menjemput Kebahagiaan Hakiki




Tahukah Anda, apa yang terjadi di dunia setiap 40 detik sekali? Jika kita hitung angka satu, dua, tiga, dan seterusnya, maka pada hitungan ke-40 akan Anda temukan pada saat itu ada orang yang akhirnya mati secara tragis, bunuh diri. Ya, berdasarkan data dari pusat kesehatan dunia, WHO, setiap tahunnya ada lebih dari satu juta manusia mati bunuh diri.

Bagi Anda yang mendalami ilmu psikolologi, pasti sudah tidak asing dengan nama berikut: Sigmund Freud dan Lawrence Kohlberg. Sigmund Freud adalah tokoh psikologi sekaligus pendiri aliran psikoanalisis di bidang psikologi. Sementara Lawrence Kohlberg adalah seorang professor di Universitas Harvard dan Universitas Chicago yang terkenal sebagai pakar perkembangan moral dan karakter manusia. Namun tahukah Anda bagaimana akhir hidup kedua tokoh yang sangat mengerti mentalitas manusia ini? Sigmund Freud mati bunuh diri dengan menyuntikkan tiga dosis morfin sekaligus dan Lawrence Kohlberg juga serupa, mati bunuh diri dengan menenggelamkan dirinya di Samudera Atlantik.

Belum lagi tokoh dan ilmuwan berikut ini: Vincent Van Gogh, Kurt Cobain, Alan Turing, Ludwig Boltzmann, George Eastman, hingga tokoh Nazi yang paling populer, Adolf Hitler. Mereka semua mati bunuh diri. Ironis!

***************

Ini pertanyaan kita semua. Mengapa banyak orang sukses di dunia namun mengakhiri hidupnya dengan cara-cara yang tidak gentle. Bahkan menjadi budaya sendiri di Jepang untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, harakiri. Terlepas dari segala motifnya, harakiri dan bunuh diri secara umum bagi saya adalah jalan seorang pengecut dalam memandang realita hidup.

Ada sesuatu yang terasa janggal. Kekayaan, kemewahan, pangkat, jabatan, anak dan pasangan hidup, hingga ilmu yang luas lagi dalam, rasa-rasanya tak mampu lagi membahagiakan manusia. Itu semua menjadi sebuah kebahagiaan semu.

Apa yang salah?

Sebenarnya tidak ada yang salah. Nalar manusia pasti akan membenarkan bahwa itu semua akan membawa pada kebahagiaan. Yang menjadi salah adalah sikap asasi manusia atas semua hal itu. Ya, bagaimana manusia menyikapi semua itu lah yang akan membawa manusia pada persimpangan antara kebahagiaan semu dan kebahagiaan hakiki.

Dalam karyanya, Fawaaidul-Adzakaar*, Ibnul Qayyim al-Jauziyah menyebutkan bahwa ada tiga kondisi kebahagiaan manusia. Ketiga kondisi ini lah yang harus menjadi sikap asasi tiap insan dalam menyingkapi realita kehidupan dan dalam ikhtiarnya untuk menjemput kebahagiaan hakiki, di dunia dan terutama di akhirat.

Pertama, mensyukuri nikmat. Allah subhanahu wa ta’ala tiap waktunya selalu memberikan banyak nikmat serta anugrah-Nya pada kita semua. Keimanan, persaudaraan, rasa aman lagi tentram, kehidupan di dunia adalah nikmat-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala memberikan kepada kita semua nikmat-Nya secara cuma-cuma dan tak terbatas. Tak mungkin ada satu alat ukur pun yang mampu menghitung semua nikmat-Nya, apalagi untuk membalas semua. Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya (QS. 14: 34)

Namun, kadang ada di antara kita yang seringkali mengeluh terhadap nikmat yang belum dicukupkan oleh-Nya, padahal doa tak pernah henti. Maka, ketahuilah, dalam salah satu sabdanya: “(Doa) salah seorang diantara kalian pasti akan dikabulkan selagi ia tidak terburu-buru, dengan mengatakan; Aku telah berdoa, namun tidak kunjung dikabulkan.” (HR. Muttafaq ‘alaih)

Maka, pikirkan lah kutipan dari La Tahzan** karya Dr ‘Aidh al-Qarni berikut:

Adakah Anda ingin menukar mata Anda dengan emas sebesar gunung Uhud, atau menjual pendengaran Anda seharga perak satu bukit? Apakah Anda mau membeli istana-istana yang menjulang tinggi dengan lidah Anda, hingga Anda bisu? Maukah Anda menukar kedua tangan Anda dengan untaian mutiara, sementara tangan Anda buntung?
Begitulah, sebenarnya Anda berada dalam kenikmatan tiada tara dan
kesempumaan tubuh, tetapi Anda tidak menyadarinya. Anda tetap merasa resah, suntuk, sedih, dan gelisash, meskipun Anda masih mempunyai nasi hangat untuk disantap, air segar untuk diteguk, waktu yang tenang untuk tidur pulas, dan kesehatan untuk terus berbuat.

Anda acapkali memikirkan sesuatu yang tidak ada, sehingga Anda pun lupa mensyukuri yang sudah ada. Jiwa Anda mudah terguncang hanya karena kerugian materi yang mendera. Padahal, sesungguhnya Anda masih memegang kunci kebahagiaan, memiliki jembatan pengantar kebahagian, karunia, kenikmatan, dan lain sebagainya. Maka pikirkan semua itu, dan kemudian syukurilah!
Maka, pikirkan dan syukuri lah dengan tigal hal: mengakui segala nikmat secara batin, maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan? (QS. 55: 13); mengucapkannya secara zahir, dan terhadap ni´mat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (QS. 93: 11); dan menggunakan segala nikmat tersebut sesuai kendak Sang Pemberi Nikmat.

Kedua, sabar dalam ujian dan cobaan. Tiap waktu manusia selalu diuji oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana Allah menguji para Nabi dan Rasul dengan kedurhakaan umatnya, dengan penyakit, dengan kedzhaliman musuh.

Kita pun serupa, Allah menguji kita dengan kesempitan dan berbagai cobaan hidup. Bahkan, semua anugrah Allah pun sejatinya adalah sebuah ujian. Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai ujian (QS. 8:28).

Maka ketahui lah, bahwa Allah pasti akan selalu menguji tiap hambanya untuk sekedar mengetahui kapasitas keimanan. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? (QS 29: 1).

Maka, ketahui lah bahwa Allah tidak pernah menguji kecuali pada batas kemampuan hamba-Nya. Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (QS. 2:286).

Dan ketahui lah, sebagaimana perkataan (alm) KH Rahmat Abdullah, waktu ujian itu tidak pernah lebih panjang daripada waktu hari belajar, tetapi banyak orang tak sabar menghadapi ujian, seakan sepanjang hanya ujian dan sedikit hari untuk belajar. Dan Allah, menguji kita agar kita terus belajar memperbaiki apa yang menurut Allah adalah kelemahan kita.

Maka, kunci dari setiap ujian dan cobaan adalah sabar. Sabar, sebagaimana dalam Fawaaidul-Adzakaar, adalah menahan diri dari sifat membenci atas takdir-Nya, menahan diri dari ungkapan keluh kesah, dan menahan anggota badan dari perbuatan maksiat seperti menampar pipi, mencabut rambut, dan sebagainya.

Jika seorang hamba telah berhasil lulus dari ujian dan cobaan dengan kesabaran, maka ujian dan cobaan yang dialaminya akan menjadi anugrah dari Allah subhanahu wa ta’ala. Dan sungguh akan Kami berikan ujian kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (QS. 2:155).

Ketiga, taubat dari setiap dosa. Setiap manusia pasti tidak akan pernah luput dari khilaf dan salah. Kita bukan lah Sang Nabi yang maksum, yang terbebas dari dosa. Andai kamu tidak lagi melakukan dosa, maka Allah akan menggantikan kamu dengan kaum yang lain yang akan melakukan dosa, lantas meminta ampunan kepada Allah dan Allah akan mengampuninya (HR Muslim).

Rasa-rasanya benar adanya perkataan ulama: sesungguhnya seorang hamba terkadang melakukan dosa yang menyebabkan ia dimasukkan surga, dan melakukan amal baik yang menyebabkan ia dimasukkan neraka. Ya, dimasukkan ke surga karena taubat atas segala dosa dan dimasukkan ke neraka atas kesombongan dari tiap kebaikan yang ia lakukan.

Di situ lah kuncinya, taubat. Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya. (QS. 66:8). Kuncinya ada empat: menyesali segala kesahalannya, memohon ampunan, berjanji untuk tidak mengulanginya, dan menutupi dengan perbuatan-perbuatan baik. Tuhanmu telah menetapkan atas diriNya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barangsiapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya, dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 6:54)

Rasul juga mengajarkan pada kita tentang sebuah istighfar pamungkas, sayyidul istighfar.

Allahumma anta rabbi laa ilaha illa anta kholaqtani wa ana ‘abduka wa ana ‘ala ‘ahdika wa wa’dika mastatho’tu a’udzubika min syarri ma shona’tu abu-u laka bini’matika ‘alaiyya wa abu-u bidzanbi faghfirli fa innahu laa yaghfirudz-dzunuuba illa anta. (Ya Allah, Engkau adalah Rabbku. Tiada ilaha selain Engkau. Engkau telah menciptakan aku, dan aku adalah hambaMu dan aku selalu berusaha menepati ikrar dan janjiku kepadaMu dengan segenap kekuatan yang aku miliki. Aku berlindung kepadaMu dari keburukan perbuatanku. Aku mengakui betapa besar nikmat-nikmatMu yang tercurah kepadaku; dan aku tahu dan sadar betapa banyak dosa yang telah aku lakukan. Karenanya, ampunilah aku. Tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau).” (HR Bukhari)

Maka, jangan lah kita sekali-kali barputus ada dari rahmat dan ampunan Allah. Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. 39:53)

***************

Saudaraku, ini lah sumber kebahagiaan hakiki: syukur, sabar, dan taubat. Maka, mari sama-sama kita jembut kebahagiaan hakiki dengannya. Mari berbahagia!

Wisma Shalahuddin & Masjid Kampus UGM
12 Januari 2012
sofietisamashuri.blogspot.com


*Fawaidul –Adzakaar, dengan judul terjemahan Zikir cahaya kehidupan, penerbit: Gema Insani
**Pada bab “Pikirkan dan Syukurilah” halaman 3 buku La Tahzan, penerbit: Qisthi Press

Komentar

  1. syukur, sabar, dan taubat....
    Super sekali,,,,
    syukur, sabar, dan taubat....
    sangat mudah diucapkan namun sangat susah pelaksanaanya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

25 Facts About Sofiet Isa - Edisi Revisi

Rumahku, Madrasahku

(Bukan) Aktivis Dakwah Kampus: Maulana, Maulana!