Rumahku, Madrasahku
Satu waktu, sahabat saya bercerita andai besar nanti, ia akan men-pesantren-kan anak pertamanya. Harus jadi hafidzh(ah), katanya. Kalau anak pertama gagal, anak kedua yang harus dipesantrenkan (juga). Begitu seterusnya. Agar, kelak di hari akhir ia, mereka dapat memberi syafaat kepada kedua orangtuanya. Walau, kedua orang tuanya tidak hafidzh sekalipun.
Keren, kata saya
Tapi bukan lah Sofiet kalau tidak punya pikiran yang nyeleneh. Kan?
Saya berpikir, lalu berpendapat.
Tugas mendidik adalah milik orangtua. Hak anak terhadap kedua orangtuanya: dinafkahi dan dididik dengan baik. Orang tua adalah pemilik saham sekaligus penangung jawab terbesar untuk mendidik anak. Baik buruknya anak (dan istri), ada di pundak orangtuanya.
Lalu dimana sekolah/pesantren/Madrasah?
Sekolah, bukanlah vendor bagi pendidikan anak. Ia juga bukan tempat penitipan anak. Sorry to say, sekolah bukan vendor cuci piring setelah kita selesai dengan santapan kita. Ia hanyalah mitra bagi orang tua. Karena ada beberapa bagian dari pendidikan anak yang tidak cukup hanya didapatkan di rumah. Misal, sosialisasi, persahabataan, problem solving tidak cukup sempurna jika hanya dari kedua orang tuanya. Maka anak butuh sekolah untuk melengkapi pendidikan di rumah.
Kemudian, saya ingat nasihat UBN dalam suatu pengajian. Yang intinya: Janganlah jadi makelar untuk anak-anak kita. Kita hanya jadi "calo" bagi (misal) hafalan anak kita. Anak kita titipkan di sekolah tahfidz, sementara kita berleha-leha di rumah. Itu namanya makelar, kata beliau.
Saya yakin, apapun itu, orang tua adalah role model bagi anaknya. Ia adalah pencontoh yang teramat baik terhadap semua tingkah laku kedua orang tuanya. Maka, kalau anak kita ingin baik, ya kita juga harus baik. Kalau anak kita ingin menjadi hafidzh Quran, maka minimal kita ikhtiar menghafalnya bersama anak.
Tapi, at the end, tidak ada salahnya mengikhtiarkan semua jalan kebaikan bagi anak. Termasuk men-sekolah tahfidz-kan anak. It's good. Namun, sebaiknya juga dipertimbangkan motif dan nilai apa yang ingin kita tanamkan pada anak.
Semoga Allah permudah langkah kita semua
Jakarta, 110917
-SI-
just a trial and error dad
Keren, kata saya
Tapi bukan lah Sofiet kalau tidak punya pikiran yang nyeleneh. Kan?
Saya berpikir, lalu berpendapat.
Tugas mendidik adalah milik orangtua. Hak anak terhadap kedua orangtuanya: dinafkahi dan dididik dengan baik. Orang tua adalah pemilik saham sekaligus penangung jawab terbesar untuk mendidik anak. Baik buruknya anak (dan istri), ada di pundak orangtuanya.
Lalu dimana sekolah/pesantren/Madrasah?
Sekolah, bukanlah vendor bagi pendidikan anak. Ia juga bukan tempat penitipan anak. Sorry to say, sekolah bukan vendor cuci piring setelah kita selesai dengan santapan kita. Ia hanyalah mitra bagi orang tua. Karena ada beberapa bagian dari pendidikan anak yang tidak cukup hanya didapatkan di rumah. Misal, sosialisasi, persahabataan, problem solving tidak cukup sempurna jika hanya dari kedua orang tuanya. Maka anak butuh sekolah untuk melengkapi pendidikan di rumah.
Kemudian, saya ingat nasihat UBN dalam suatu pengajian. Yang intinya: Janganlah jadi makelar untuk anak-anak kita. Kita hanya jadi "calo" bagi (misal) hafalan anak kita. Anak kita titipkan di sekolah tahfidz, sementara kita berleha-leha di rumah. Itu namanya makelar, kata beliau.
Saya yakin, apapun itu, orang tua adalah role model bagi anaknya. Ia adalah pencontoh yang teramat baik terhadap semua tingkah laku kedua orang tuanya. Maka, kalau anak kita ingin baik, ya kita juga harus baik. Kalau anak kita ingin menjadi hafidzh Quran, maka minimal kita ikhtiar menghafalnya bersama anak.
Tapi, at the end, tidak ada salahnya mengikhtiarkan semua jalan kebaikan bagi anak. Termasuk men-sekolah tahfidz-kan anak. It's good. Namun, sebaiknya juga dipertimbangkan motif dan nilai apa yang ingin kita tanamkan pada anak.
Semoga Allah permudah langkah kita semua
Jakarta, 110917
-SI-
just a trial and error dad
Komentar
Posting Komentar