jogja, apa yang aku Rindukan darimu?
Jogja itu ngangeni. Begitu kata mereka yang pernah hidup dan tinggal di sana. Atau hanya sekedar mampir, sejam dua jam. Maka abadi-lah kerinduan akan Jogja.
Apa yang paling kurindukan dari Jogja?
Salah satunya adalah waktu berjalan (seolah) melambat di Jogja. Lebih lambat dari hiruk pikuk nya kota besar semacam Jakarta.
Melambatnya waktu, membuatmu memiliki waktu yang lebih luas untuk belajar dan saling nasihat-menasihati akan kebaikan.
Jogokaryan, 4 April 2015. Maka aku memilih untuk "numpang" singgah sejenak sehari di Jogokaryan. Mencari kembali suasana dan lingkungan yang baik untuk mengingat Tuhan.
Naik turunnya iman di Ibukota, akan memaksamu untuk mencari lingkaran kebaikan seluas-luasnya, jika tidak ingin kehilangan untuk selamanya.
Sore itu, Masjid Jogokaryan terlihat sepi menjelang kumandang adzan Ashar. Lalu, setelah selesai salam shalat, pandanganku menyapu sekeliling. Masya Allah, Laa haula wa laa quwwata illa biLlah. Jama'ahnya meluber hingga ke selasar. Ah, pemandangan yang tak lazim saat di Ibukota. Tuhan menamparku.
Menyambut gerhana "blood moon" rembulan. Aku berijtihad untuk tidak menjadi mainstream kala itu: berburu foto dan selfie dengan merahnya gerhana.
Pikiranku melayang, mencari tempat yang (setahuku) paling kuat dalam menjalankan sunnah. Jatuh pikiranku pada Pogung. Maka menjelang isya, kukayuh motor (pinjaman)ku menuju Masjid Pogung Raya.
Laka-al hamd, anta nur-asSamaawaati wa-alArdh wa man fihinna, Rabb.
MPR dipenuhi oleh jama'ah maghrib, isya, dan khusuf. Maka tartilnya al Qiyamah, al Haqqah, at Takwir dan al Insyiqaq dari sang Imam dan nasihat taqwa dari khatib, ust Afifi abdul Wadud, hafidzhahuLlah, kembali mengingatkanku:
Apa yang kamu cari di dunia?
Jakarta, 7 April 2015
-SI-
Komentar
Posting Komentar