Nasibmu, Ondel-Ondel

Apa jadinya Dubai, andaikata seluruh cadangan minyak bumi se-UEA-nya sudah habis dieksploitasi? Ekspor korma, unta dan pasir di padang pasir? Jelas bukan. Maka terpujilah dan sungguh cerdaslah pemerintah UAE dalam merecanakan masa depannya. Dia bangun Dubai menjadi kota masa depan yang cantik, nyaman, sekaligus megah. Dari nol.

Pariwisata. Itu adalah satu-satunya sumber daya abadi yang memiliki nilai jual sangat tinggi. Maka, membangun Burj Khalifa sebagai ikon pariwisata adalah ide paling brilian abad ini.

"Cuma gitu doang?"
Itulah hal pertama yang terlintas saat nyasar ke Merlion Park, tempat Singa nangkring di ujung selatan Semenanjung Malaka. Dengan brilian, Lee Kwan Yew mencuci otak kita dengan sugesti: "Belum sah hidup ini kalau belum ke Merlion."

Padahal Patung Dirgantara di bilangan Pancoran itu jauh lebih megah, artistik, penuh histori, dan rumit secara struktur sipilnya. Tapi sejak saya dibrojolkan ke muka bumi hingga besar sekarang, belum pernah saya lihat ada yang selfie dengan Patung "Hai Kamu" Pancoran sebagai latarnya.

Ondel-ondel.
Ini yang nasibnya paling miris. Disisihkan ganasnya Ibukota. Diacuhkan dari hingar-bingar dan gemerlapnya Jakarta. Terbuang dari pertemuan-pertemuan penting dan sakral warganya. 

Dan sekarang, nasibnya hanya jadi (maaf beribu maaf) pengamen jalanan. Keliling kota hanya untuk mencari segenggam receh dari para pengendara kendaraan. Ia sudah tidak lagi ada dalam hajatan, sunatan, kawinan, dan pesta rakyat lainnya. Paling banter ya hanya jadi simbol di Pekan Raya Jakarta yang sayangnya juga sudah hilang ke-Jakarta-annya.

Apa yang dapat kita nikmati dari sebuah pertunjukan Ladyboy di Simon Kabaret-nya Thailand. Hiburan penuh sensualitas yang menampilkan puluhan lelaki hasil suntikan agar progresteronnya meningkat. Lelaki yang normal dan jantan (seperti saya) harusnya tak ragu mengatakan: "menjijikkan".

Ondel-ondel adalah antitesanya. Ia penuh dengan nilai seni, budaya, sejarah dan spiritualitas. Dengan tanjidor yang terlantun merdu, ia adalah musikalisasi kehidupan yang apik.

Kalau Anda ingin mengerti rasanya ditipu dengan publikasi pariwisata wah. Silakan mengunjungi Toy Museum di pulau Penang yang katanya terbesar di dunia itu. Dan memang terbesar, terbesar kaget dan kecewanya. Mahal dan hanya begitu saja. Jauh lebih keren PP IPTEK lah, jauh.

Begitulah tetangga kita. Luar biasa mempromosikan wisatanya yang sebenarnya biasa-biasa saja. 

Tiba-tiba puluhan turis Rusia terkesima menyaksikan kawanan kera bermain di sekitaran pantai. Mbak pemandu wisata kami dengan apiknya mempresentasikan kera-kera liar penghuni Monkey Beach Phi-Phi Island. Sekejap saya ingin menarik tangan turis ras Slavik Timur ini: "ayo mas'e, tak ajak ke Tawangmangu, lihat air terjun sekalian silaturahim sama kera-kera yang jauh lebih meng-kera".

Apa yang dapat diharapkan dari industri pariwisata kita. Yang kalah telak dibanding negara-negara sebelah. Publikasi, kemudahan akses, akomodasi, transportasi hingga toilet umum pun kita ala kadarnya (kalau tidak mau disebut: tidak diurus).

Imaji liar saya melompat ke tahun 2050. Periode dimana sumber daya alam kita habis di-shadaqah-i ke asing. Sementara tabungan negara ini tak cukup untuk membangun sumber daya dan revenue pengganti selain SDA. Lalu, anak-ku mau makan apa?

*****

2018, Jakarta akan menyelenggarakan Asian Games. Usulan logo pun bermunculan: kadal, cicak, buaya, buaya darat jadi kandidat. Kalau saya adalah raja di Balaikota, maka tak usah istikharah pun saya mantap untuk logo Asian Games Jakarta 2018: Ondel-Ondel!


Jakarta, 21 Maret 2015
-SI-




*keterangan foto: si abang diapit oleh ondel-ondel, Museum Wayang Jakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

25 Facts About Sofiet Isa - Edisi Revisi

Rumahku, Madrasahku

(Bukan) Aktivis Dakwah Kampus: Maulana, Maulana!