Majelis Syuro, Majelis Ilmu, dan Majelis Amal
Ada banyak curhatan yang penulis dapatkan. Ada banyak kritik serta masukan yang penulis terima. Tentang aktivitas penulis dan sahabat-sahabat aktivis dakwah kampus. Tulisan ini mencoba untuk mengurai kembali catatan curhatan dan kritik yang terekam jelas di benak penulis.
Satu waktu, ada seorang al akh yang bercerita, atau lebih tepatnya curhat. Kira-kira begini, “Kenapa ya, ada banyak waktu yang Allah berikan. Dari banyak waktu itu, sebagian besarnya kita habiskan untuk syuro, lalu syuro, dan ditutup dengan syuro. Seperti minum obat saja. Pagi, siang, sore, penuh dengan undangan syuro. Lalu, kapan amal dan ngajinya?”
Atau, cerita-cerita berbeda namun dengan tipe yang sama. Ada mereka yang gemar menuntut ilmu, namun dipertanyakan komitmen amalnya. Atau, cerita tentang mereka yang beramal, beramal, dan terus beramal, namun tanpa ilmu dan perencanaan yang matang.
Majelis syuro, majelis ilmu, dan majelis amal. Konteks majelis syuro adalah menyusun rencana strategis. Konteks majelis ilmu adalah mengkaji dan mendalami Islam dan keilmuannya. Sementara konteks majelis amal adalah amal dakwah, menyeru serta mengajak pada Islam. Namun, antara ketiganya seakan memiliki hijab. Membatasi seorang kader berada pada ketiganya. Dalam satu waktu dan dalam satu kefokusan yang sama.
“Tak bisa kah kita berada dalam majelis ini secara bersama?” Atau, pertanyaannya kita ubah dengan diksi yang berbeda. “Apakah menjadi sebuah keharusan, jika kita, ya syuro, ya berilmu, ya beramal?” lalu kita kunci dengan pertanyaan retoris, “mungkinkah?” dan “sanggupkah?”
Inilah pertanyaan yang menjadi keresahan penulis. Karena, pertanyaan inilah realita di lapangan. Banyak yang mengeluh ini, mengeluh itu. Dan keluh kesahnya, ya seputar ini. Hingga, secara personal, penulis mendapatkan satu titik kesimpulan.
Teringat cerita seorang Ustadz dalam sebuah kajian shirahnya. Tentang kisah sahabat Mush’ab bin Umair dan Abdullah bin Umi Maktum. Perintah Rasulullah pada mereka berdua jelas, mempersiapkan hijrah di bumi Yastrib. Mush’ab bin Umair, seorang pemuda gagah, berparas menawan dan berkepribadian menarik, mendapat “jatah” yang berbeda dengan Abdullah bin Umi Maktum yang ilmu dan wawasan keislamannya sangat luas. Mush’ab bin Umair ditugasi untuk menyeru, mendakwahi, dan merekrut dengan kapasitasnya. Dengan kapasitasnya yang berbeda, Abdullah bin Umi Maktum ditugasi untuk membina.
Teringat pula pemaparan seorang Ustadz tentang ayat ke 104 dari surat Ali Imran, “dan hendaklah ada di antara kamu, segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Mereka lah orang-orang yang beruntung”. Mengapa hanya sebagian yang dituntut untuk, dalam konteks ini, berdakwah, berada dalam majelis dakwah? Kenapa tidak semuanya? Lalu, kemana sebagian yang lain? Jawabnya, ada sebagian yang keluar lalu berdakwah dan ada pula sebagian yang tetap berada di tempatnya, untuk tetap dalam majelis-majelis ilmunya.
Jadi, kesimpulannya jelas. Ada dua sisi yang berbeda dalam memandang ini. Dua sisi yang berbeda, namun tidak bisa terpisahkan.
Di satu sisi, kita dituntut untuk menjadi spesialis. Ahli di bidangnya. Anda, yang ahli dalam menyusun rencana dan strategi, masuk dan berkontribusi lah dalam majelis-majelis syuro. Sementara Anda, yang ahli dalam keilmuan dan keislaman, teruslah berkarya dalam majelis-majelis ilmu. Dan Anda, yang ahli dalam menyeru dan mengajak, tetaplah berada dalam majelis-majelis amal. Tidak ada yang salah dalam konteks ini, saat kita berada dalam mejelis kita masing-masing.
Di lain sisi. Terinspirasi dengan perkataan seorang dosen. Kita, Anda dan saya, boleh menjadi seorang ahli. Tapi, ketika ada pertanyaan “Siapa nama Anda?”, saya yakin, tak perlu kita ambil KTP di dompet kita masing-masing, lalu mengecek siapa nama kita untuk sekedar menjawab nama saya fulan bin fulan.
Ada hal-hal asasi yang harus dimiliki oleh sang Ahli. Ahli strategi haruslah memiliki hal-hal asasi dalam keilmuan dan amal. Ahli keilmuan juga harus memiliki hal-hal asasi, tentang rencana strategis dan amal. Pun, ahli dalam amal, harus memiliki hal-hal asasi terkait ilmu dan rencana strategis.
Jadi, dakwah itu adalah algoritma-algoritma, tentang pilihan demi pilihan. Sementara pilihannya adalah menjadi ahli dalam: majelis syuro, mejelis ilmu, majelis amal. Maka, selamat memilih!
Wallahu a’lam bish-shawwab
Wisma Shalahuddin,
8 April 2011, 10.55 WIB
sofietisa.co.cc
Komentar
Posting Komentar