Gairah Nikah Ala ADK


"Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak suka, bukan golonganku!"
(HR. Ibnu Majah)


“Jodoh itu di ada tangan Tuhan, bro” kata seorang fulan, “makanya, buruan diambil! Kalau nggak diambil, ya bakalan tetap di tangan Tuhan terus!” ia melengkapi. Menarik!

********

Hari berganti hari, waktu terus berjalan tak kenal henti. Saat usia makin menua sementara takdir cinta dari-Nya tak kunjung hadir dan menyapa. Keresahan lah yang muncul. Saat sahabat dan rekan se-liqa’at silih berganti memberi undangan bahagianya, sementara diri masih sibuk menimbang dan terus menimbang. Kegalauan pun melanda. Saat gairah makin membuncah, sementara nikah hanya angan dan mimpi belaka, meminjam istilah seorang guru, inilah impotensi! Cita tanpa daya dan tanpa kuasa.

Ini fenomena. Mungkin hanya sebagian saja. Atau lebih mungkin lagi, adalah sebagian besar di kalangan aktivis. Aktivis dakwah kampus (ADK) khususnya. Nikah itu sunnah, juga syariah. Namun, saat hal itu hanya menjadi diksusi, canda, dan retorika di selasar Masjid Kampus, di sela-sela kuliah, di diskusi-diskusi pra nikah. Saat hanya menjadi bincang tengah malam atau menjadi dessert kala makan siang. Nikah hanya menjadi gairah.

Wajar, mungkin. Secara biologis, ADK sudah siap menikah. Secara psikologis, dinilai sudah cukup dewasa untuk hidup bersama pasangannya. Dari sisi Agama pun, nikah sangat dianjurkan. Dalam bahasa Agama, nikah itu selain mampu menjaga hati, menjauhi zina, juga dapat membuka pintu-pintu rizki yang sebelumnya masih tertutup. Logis!

Tapi, (sebagian besar) ADK ini (sangat mungkin) terjangkiti, meminjam istilah Emha Ainun Nadjib, takhayul yang enak-enak tentang rumah tangga. Tak selamanya nikah, yang ujungnya adalah berumah tangga, selalu manis.

Menurut banyak sumber, penulis (yang kebetulan juga belum menikah dan sepertinya masih ADK) kemudian mendapati banyak hal yang berseberangan tentang nikah. Tak selamanya laut itu tenang, pasti ada ombak dan gelombang yang datang. Tak selamanya pula pernikahan diwarnai dengan keindahan, kebahagiaan, dan kelezatan. Ada onak, ada duri yang menghiasinya. Ada kerikil-kerikil kecil yang mengganggu dalam langkah-langkahnya. Ada tangis, ada marah, ada cemburu yang membuatnya goyah.

Ada ujian selalu. Saat ego pribadi mengalahkan cinta, maka marah jadi pelampiasannya. Saat emosi masih saja labil, cemburu terus menjadi bumbu, romantisme mulai memudar, sementara prasangka buruk selalu menghantui. Saat anak terus menangis, karena perutnya yang minta diisi, sementara uang di dompet sudah nihil. Maka rumah tangga makin bergejolak. Saat pasangan sudah tak se-shaleh(ah) seperti saat bertemu dulu dan anak mulai berani durhaka. Ini menjadi fitnah.

Tak salah Rasulullah mengajarkan doa pernikahan: barakallahu laka, barakallahu alaika, wa jama’a bainakuma fi khair. Tentang barakoh, dua doa pertama berbicara. Namun dalam konteks berbeda. Dalam bukunya, Barakallahulaka: Bahagianya Merayakan Cinta, Salim A. Fillah menjelaskan beda dua doa ini. Seperti al Baqarah 286, LAHA maa kasabats wa ALAIHA maktasabats, doa pertama ditujukan bagi hal-hal yang baik dan membawa kebahagiaan sementara doa kedua ditujukan bagi hal-hal yang buruk dan membawa lawan dari kebahagiaan.

*********

Pertanyaannya, apakah menjadi salah apabila nikah muda? Apakah salah jika mendamba-dambakan diri untuk segera menikah? Tidak ada yang salah memang. Tak salah jika nikah saat ini, atau esok, atau di jauh-jauh hari selanjutnya. Tidak ada yang salah, meminjam judul buku Mas Udik Abdullah, bila hari rindu menikah.


Yang menjadikannya salah adalah pada posisi niat dalam menikah. Ada mereka yang meniatkan untuk menikah dalam koridornya yang benar. Nikah, bagi mereka, adalah legalisasi dari sifat naluriah manusia: kebutuhan biologis dan melanjutkan keturunan. Atau juga sebagai penjaga mata dan hati serta kemaluan atas zina. Atau, bagi penulis ini adalah niat yang paling baik, dalam konteks dakwah, ada mereka yang meniatkan nikah hingga pada posisi sebagai kebutuhan dalam dakwah, menciptakan keluarga dakwah dalam aktivitas rabbaniah. Seperti konsep Hasan al Banna dalam maratibul amal, 7 tahapan dakwah, dimana tahapan kedua adalah takwin baitul muslim, membentuk keluarga muslim.


Tapi, ada banyak dari mereka yang salah dalam memposiskan niatnya. Ada mereka yang berniat menikah untuk mencari yang enak-enak saja. Ada juga yang hanya terprovokasi oleh rekan-rekannya untuk menikah. Atau mereka yang hanya mencari status baru saja. Atau bahkan, ada merea yang meniatkan pernikahan untuk ajang pamer bagi yang lainnya. Semoga Allah melindungi kita dari yang demikian.


Maka, kejujuran niat menjadi kunci pertama dan utama dalam pernikahan. Jujurnya niat akan menentukan keberhasilan proses pernikahan dan berumah tangga. Jujurnya niat akan membawa pernikahan pada harapan dan doa mereka yang mendoakan: barakah dari Allah. Niat yang jujur inilah yang harus menjadi titik refleksinya.

*********

Terakhir, ada satu lirik nasyid yang menjadi favorit bagi penulis sejak dulu. Jika terhempas di lautan duka, tegar dan sabarlah tawakal padaNya. Jika berlayar di sukacita, ingatlah tuk selalu syukur padaNya. Dan tegar, sabar, serta syukur adalah buah dari kejujuran niat.
Maka, marilah jujur, lalu menikah, hingga barakah.



Gedung JTETI UGM
10 April 2011, 16:14WIB


sofietisa.co.cc

Komentar

  1. suka sekali tulisan ini... so inspiring! jazakumullah khoir... ^^

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

(Bukan) Aktivis Dakwah Kampus: Maulana, Maulana!

Tarbiyah Bukan PKS

Menuju Persatuan Gerak Gerakan Islam