Di tangannya yang tak sempurna itu, sebotol minuman keras tergenggam erat. Sementara, di sekelilingnya ada pesta ala anak muda kota Jogja. Berpasang-pasang, menghabiskan malam purnama di remang-remang lampu kota. Bukan, ia bukan seorang penjual miras. Bukan pula seorang pemabuk. Ia hanya seorang da’i jalanan. Da’i keliling, begitu ia biasa mengenalkan diri pada khalayak ramai. Namanya Ahmad Tukiran Maulana. Lahir di Ponjong, satu kawasan di pelosok Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Maulana, begitu ia biasa disapa, terlahir dengan kondisi fisik (dalam pandangan manusia) tak sempurna. Dengan kondisi fisiknya ini, ia lahir bukan untuk menjadi manusia yang mengeluh sembari meratapi nasib. Ia lahir dengan amal-amal yang luar biasa. Hari-harinya ia habiskan berdakwah dari satu tempat ke tempat lain. Dari satu masjid ke masjid lain, dari satu pengajian ke pengajian lain. Tak peduli, ia tak pernah memandang afiliasi gerakan dan pemikiran perngajian tersebut. Ia sambangi. Pun,...
Wajah Tarbiyah di Indonesia mulai agak samar di pandangan subjektif saya. Sebagai gerakan yang lahir dari rahim Ikhwanul Muslimin di Mesir, Tarbiyah mulai limbung paska mendeklarasikan dirinya sebagai Partai Keadilan (Sejahtera), terutama paska Pemilu 2004. Apalagi, setalah sebagian oknum elitenya mulai di-KPK-an satu per satu. Hanya Allah dan mereka yang tahu tentang apa yang mereka perbuat. Benar atau salahnya. Dan semoga Allah menjauhkan saya dari kesalahan praduga dan keburukan prasangka. **** Begini, tulisan ini dibuat bukan untuk mengkritisi Tarbiyah apalagi sampai men-judge bahwa Tarbiyah sudah keluar dari jalurnya. Bukan. Toh maqom saya jauh dari itu. Sangat lancang, sebagai seorang yang dulu hanya berstatus sebagai kader kasta sudra di Tarbiyah sampai hati melakukan itu. Namun, ini hanya sekedar memberikan pandangan (subjektif) mengapa hari ini banyak orang kecewa terhadap Tarbiyah. Banyak kader yang akhirnya meninggalkan gerakan ini. Atau bahkan, sampai...
“ Sebenarnya aku ini orang Ansar yang terbanyak hartanya ”, kata Saad bin Rabi’ dari kaum Anshar kepada saudara barunya Abdurrahman bin ‘Auf dari kaum Muhajjirin. “ sekarang aku hendak bagi dua, istriku pun dua, kau pilihlah mana seorang daripada mereka yang berkenan di hatimu, dan aku hendak ceraikan. Selepas habis iddahnya maka nikahilah ”, lanjutnya. “Semoga Allah memberikan keberkahan pada keluarga dan hartamu” , Jawab Abdurrahman bin ‘Auf. “ aku hanya ingin tahu dimana letak pasar ." Lalu, Saad bin Rabi’ pun menunjukkan letak pasa Bani Qunaiqa’. Inilah sebuah cerita indah dan langka yang terangkum dalam Shahih Muslim dimana persatuan serta persaudaraan melahirkan sebuah produktivitas luar biasa: peradaban Islam. Proyek persaudaraan yang dilakukan oleh Rasulullah antara Anshar dan Muhajirin itupun akhirnya menemui hasilnya. Inilah yang menjadi pondasi bagi terbentuknya peradaban Islam hingga ia tegak berdiri sampai saat ini. Bayangkan, kondisi bangsa Arab saat itu terpecah b...
Komentar
Posting Komentar