Catatan Tegal Alun, Papandayan, 2622 mdpl: Kapan kurusmu!

 Focus on the Journey, not the destination. Joy is found not in finishing an activity but in doing it. 
(Greg Anderson)


Papandayan itu sungguh indah, kawan!
Percayalah padaku.

Surga di kota salah asuhan

Marilah kemari, kawan. Kan kuceritakan sekelumit cacatan kecil: tentang Tegal Alun, tentang Papandayan, tentang 2622 mdpl



*******

Tak perlu kau tanyakan aku, bagaimana aku terdampar se-tengah malaman di bus terakhir menuju Garut. Lesehan kawan!

Kampung Rambutan penuh dengan manusia carrier. Dan Papandayan, one of their destination. Full..!

Anggap saja aku langsung masuk pintu kemana saja Doraemon. Tiba-tiba aku tiba di titik point: Ciseureupan. Awal masuk Papandayan. 

Oh, iya. Pasal pertama jangan kau lupakan: This is it!

Maaf, narsis sedikit kawan.
Well, kau dari Ciseureupan: pilihanmu 2: ojek atau mobil bak. Jangan bawa mobil pribadi, kecuali punya uang banyak untuk ganti as mobil. Jalanan hancur (sekali) kawan. Kusarankan naik ojek. Mobil bak, kau harus siap mabuk, dan tentu remuk.


30 menit jugijagijugijagijug, kau tiba di basecamp: parkiran, pos registrasi, dan... toilet!


Setalah menunaikan "hak", tujuanmu selanjutnya adalah kawah. Mbuh nama kawahnya apa. Waktu tempuh: 1 jam jalan, 15 menit poto-poto.

Yang jelas, kawahnya mantap jaya. 


Kawah ini, mengharuskanmu memakai masker yang kau semprotkan parfum. Percayalah, "angin" temanmu hanya 10% dari kekuatan belerang disini

Setelah lelah menciumi sulfur pekat, tujuanmu adalah menelusuri batas vegetasi.


Tujuanmu jelas: Pondok Salada. Camping Zone Papandayan. Rumah para pendaki.
Waktu tempuh: 1 Jam jalan + 30 menit leyeh-leyeh makan tahu sumedang akang-akang lewat.


























Trackmu jelas: Memutari bukit itu. Dan dibaliknya: Pondok Salada.

Sembari ngemutin tahu sumedang, ada komunitas mount biking. 
Semangat pak! Puncak tinggal,,, 80% nya lagi...
 
 Dan. Selamat datang di Pondok Salada

Camping zone Papandayan. Area seluas kira-kira, sampe saya nggak pernah sukses tanpa nyasar ke tenda sendiri. Kira-kira lah sendiri seluas apa.
Bukan tenda kami. Tenda di dekat kami.
Berhubung tenda kami masih under constructions, nikmati saja pemandangan tenda orang.
Mari istirahat sejenak. Sejam dua jam. Sebangunnya. Habis itu masak dan makan.

























Cukuplah kau beristirahat sejenak, menikmati Salada. Karena perjalananmu masih panjang. Tinggalkan tenda dan carriermu. Bawa secukupnya saja.

Saatnya kau menuju: Hutan Mati. Waktu tempuh: 15 menit jalan, plus 10 menit nyangkut di lumpur penuh jebakan.


























Inilah hutan mati. Nuansa kematian yang pekat.


























Hutan mati terbentuk, akibat erupsi hebat. Kalau tidak salah tahun 2006. Kalau tidak salah ingat lho ya. Maklum, lah nomor hape sendiri aja nggak hapal-hapal. Ya, karena ingatan saya sudah mulai full of something(one). halah.

Oh ya, jangan sombong lewat hutan ini, apalagi malam-malam. Kalau tidak mau tersesat seperti kami. Mutar-muter tak ketemu jalan keluar hutan mati malam hari. lebih dari sejaman tak jelas arah. Khawatir makin malam, karena masih ada harimau suka iseng di Papandayan.

























Death Forest facing Salada. Mulai dipenuhi oleh tenda. Apalagi kalau malam Ahad. Lah wong, malam Sabtu saja kami bingung yang mana tenda kami. Salah masuk tenda kan bisa berabe.


























Perjalanan selanjutnya adalah alun-alun Papandayan, named: Tegal Alun. Waktu tempuh: 1 jam jalan, plus 45 menit break berkali-kali.

Ini track paling sulit dari Papandayan. Tidak tega saya ambil gambar di track ini. Takut yang lihat jadi ogah naik. *halah bilang saja memang ga kuat foto, habis tenaga untuk naik

























Dan... Selamat datang di surganya Papandayan: Tegal Alun!

























Tradaaaaaaaaaaaaa.... Tegal Alun, men!

























Edelweis sepanjang mata memandang. Cantik!

























Tegal Alun: Rumah abadi bagi bunga Keabadian, bunga Cinta, bunga Pengorbanan tertinggi dari segala kasih sayang: Edelweis. Anaphalis Javanica.

























Kau bisa nari-nari India di segala penjuru Tegal Alun. Memutari Edelweis. Sembari menyetel, kuch-kuch hotahai. -.-'


























Jangan lewatkan momen sholat di sini. Nikmati syahdunya berkhalwat dengan Tuhan.


























Untuk sumber air, sudah dekat. Di belakang Tegal Alun ada sungai jernih, dan segar. Omong-omong, belakangnya Tegal Alun yang mana ya?

























Puaskan dirimu guling-guling di Tegal Alun.
Karena setelah ini kau harus menuju: Puncak Papandayan, 2622 magl. Waktu tempuh: 1 jam. Melewati semak-semak vegetasi perintis. Siapkan penutup kepala, pakaian lengan panjang, dan sarung tangan. Kecuali, kalau memang niat dari Jakarta untuk meninggalkan jejak Papandayan di muka dan tangan (kebeset).

Dan inilah pohon tanda, you're finish the game.
Tidak ada tanda penunjuk macam "ini puncak lho". Entah mengapa tidak ada berani menginisiasi menancapkan tanda "anggap saja puncak". Tapi dari dongeng para leluhur, inilah top of Papayan. And i reach it. hosssh!

Mentari menghempaskan kabut yang turun di puncak Papandayan. Semacam menyapaku: "Selamat datang, Sof. kok kamu kuat sampai sini, sih". Helloooo...

2622 mdpl. Geser dikit, langsung sampai bawah lagi. Yaiyalah

























Menanti sepasang sandal berikutnya. Terinspirasi foto-foto petualangan Murad Osmann.

























Saatnya turun, menikmati senja turun di Tegal Alun.

























Semburat mentari senja di Tegal Alun. "Maka nikmat Tuhanmu mana lagi, sof, yang akan kamu dustakan"
 

























Mari kita tutup malam. Semoga tak ada cerita: robohnya tenda kami. Andong jilid II

Dan selamat datang pagi. Mari sarapan.
Dan nikmati masakan ala kami, (ide gue sih), dengan memn-jogres-kan: Sarimie rebus soto koya, Indomie goreng, Popmie, dan kornet. 
Jangan tanya rasanya. *tak tega melanjutkan deskripsinya*


Selamat datang mentari pagi. Menyelinap di balik tenda dan dedaunan Pondok Salada. Sembari menyeruput wedhang uwuh panas. Sluurrrp!
Pagi Papandayan pagi. Saatnya berkemas dan kembali ke Jakarta.
Jangan lupa: bawa sampahnya turun!


Well... Itu catatan kecil saya. Semoga terhibur. Sampai jumpa di catatan kecil-catatan kecil selanjutnya. Suryakencana dan Mandalawangi menanti. Semoga Allah memberikan izinNya.

See u later, Papandayan...
Kau begitu memesona!


Jakarta 19-20 April 2014
Sofiet Isa M. Setia Hati


Catatan foto: diambil dari Lenovo A800 5MP dan Camdig Kodak A753 7MP. Editing via Adobe Photoshop CS3

Komentar

Postingan populer dari blog ini

(Bukan) Aktivis Dakwah Kampus: Maulana, Maulana!

Tarbiyah Bukan PKS

Menuju Persatuan Gerak Gerakan Islam