Anis Matta dan Arlogi 70 Juta


Lagi! Gaya hidup anggota dewan kita yang (katanya) terhormat kembali menuai kecaman. Kali ini tentang parade arlogi “wah” politikus Senayan. Bayangkan, puluhan hingga ratusan rupiah dihabiskan hanya untuk sekedar arlogi. Misalnya, politikus Partai Demokrat, Ruhut Sitompul mengaku memiliki arlogi senilai 450 juta. Wow!

Tentu saja, yang paling banyak disoroti adalah arlogi Sang Sekretaris Jendral abadi PKS, Anis Matta. Walau tak semahal arlogi milik Ruhut karena “hanya” senilai 70 juta, namun ini dinilai sangat mencedarai hati umat. Tak lain, karena Sang Ustadz ini merupakan seorang politisi dari sebuah Partai Islam dan menisbatkan diri sebagai Partai Dakwah.

Di tengah angka kemiskinan bangsa yang masih sangat tinggi. Di saat yang bersamaan, banyak pula kader partainya yang masih hidup dalam serba keterbatasan. Anis Matta dan juga partainya, dinilai sudah keluar dari khittah awal pendirian PKS. Benarkah?


***********

Mengomentari fenomena ini, saya menganggap gaya hidup parlente ala politisi Senayan adalah sebuah kewajaran. Ya, ini adalah sebuah kewajaran! Mari kita diskusikan mengapa gaya hidup hedon ini adalah sebuah kewajaran.
Bagi saya, ada dua alasan mendasar mengapa ini menjadi wajar. Pertama, tahukah Anda berapa gaji seorang anggota DPR RI? Dalam Surat Edaran Setjen DPR RI No. KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 disebutkan bahwa gaji pokok seorang anggota dewan adalah 4,2 juta Rupiah. Eits, ini baru gaji pokoknya saja. Jika ditambahkan dengan berbagai tunjangan, mulai dari tunjangan anak-istri hingga tunjangan kehormatan (??) maka seorang anggota DPR biasa (tanpa merangkap jabatan pimpinan alat kelengkapan dewan) dapat mengantongi take home pay sebesar 51,5 juta. (kompas.com 12 Mei 2011)
Mari kita kalkulasikan. Selama masa jabatannya 5 tahun, seorang anggota DPR RI secara legal mendapatkan gaji pokok sebesar 3 miliar rupiah. Luar Biasa! Dan sekarang Anda bayangkan, andai Anda menjadi seseorang dengan penghasilan sebesar itu. Maka sangat wajar, penghasilan sebesar itu digunakan untuk membeli sebuah arlogi mewah.
Ingat, angka 3 miliar ini hanya merupakan penghasilan legal saja. Andai penghasilan legal ini masih ditambah dengan penghasilan profesi di luar keanggotaan DPR plus penghasilan ilegal: suap, korupsi, permainan proyek negara, hingga jual beli undang-undang. Maka, penghasilan seorang anggota dewan dapat meningkat berkali-kali lipat. Misalnya, pada kasus proyek wisma atlet Kemenpora, yang melibatkan mantan Putri Indonesia, Angelina Sondakh. Pikirkan, berapa jumlah fee yang diterima Angie untuk “melicinkan” proyek di salah satu Kementrian yang tergolong “miskin” ini? Menurut pengakuan Nazzaruddin, seorang Angie menikmati fee sebesar 1,5 miliar Rupiah.
Jadi, sangat wajar bagi anggota dewan untuk bergaya glamor bak selebritis Holliwood yang berlenggak lenggok di atas red carpet saat Piala Oscar beberapa waktu silam. Bagi anggota dewan, harga sebuah arlogi tersebut serasa harga sebungkus kacang rebus bagi rakyat biasa.
Nah mungkin sekarang Anda sedang berpikir, bagaimana jika penghasilan legal anggota dewan kita ini dipotong saja untuk memangkas gaya hidup mewahnya. Bagaimana jika disamakan dengan pendapatan per-kapita rakyat Indonesia yang berkisar 3500 USD?
Hmm, tunggu dulu! Ada banyak alasan mengapa usulan ini bagi saya tidak realistis. Saya akan sebutkan dua yang utama. Pertama, pemotongan gaji anggota dewan jelas tidak akan disetujui mereka. Alasannya sederhana. Dengan gaji kecil, pasti tak akan balik modal dengan biaya kampanye. Memang begini lah resiko kita berdemokrasi. Butuh biaya politik besar untuk menjadi pemimpin negara. Maka tak ayal, gaji yang ada akan digunakan anggota DPR untuk menutupi biaya politik. Alasan yang kedua adalah tak ada korelasi yang signifikan antara gaji di Negeri kita dengan kinerja. Berbagai remunerasi diberikan, tapi kinerja juga pas-pasan. Lihat saja, bagaimana sangat rendahnya pencapaian UU yang disahkan sesuai dengan Prolegnas. Nah, jadi mau gaji berapa pun, kinerja dan gaya hidup tak berubah jauh.
Ini relevan dengan alasan kedua, mengapa gaya hidup anggota dewan ini saya anggap wajar. Ini terkait dengan kultur. (maaf), sialnya kita hari ini hidup dalam kultur yang begitu konsumtif. Kita lihat peradaran uang yang begitu besar dalam tempo yang cepat di negeri ini. Ya, di satu sisi ini menandakan semakin sejahteranya rakyat. Namun, di sisi lain ini begitu jelas mengindikasikan gaya hidup konsumtif bangsa.
Kata orang, kini kita hidup di zaman smartphone and stupid-person. Dan memang seperti itu nyatanya. Kita tertipu oleh iklan dan kecanggihan teknologi yang ada. Hingga kita lupa untuk berpikir dahulu sebelum mengkonsumsi, apakah ini benar-benar kebutuhan atau bukan. Atau, jangan-jangan ini hanya untuk sekedar mendapatkan labelisasi “orang kaya” bagi kita.
Kita lihat hari ini. Ibu-ibu kita dijebak dengan iklan pemutih wajah. Yah, mau pemutik wajah se-pabrik pun orang Indonesia tak akan pernah benar-benar putih. Atau, anak-anak SD atau bahkan diri kita sendiri, di tangan kanan ada Blackberry, di tangan kiri I-phone, dan di tas ransel ada PC tablet. Padahal, dari mana anak-anak SD ini mendapatkan uang? Mayoritas pasti hanya dari beasiswa BI alias Bapak-Ibu.
Nah, wajar kan jika gaya hidup hedon dan konsumtif ini menjadi semacam akhlak bagi anggota dewan kita. Saat kecilnya saja sudah konsumtif, apalagi saat besarnya. Dan anak-anak SD kita hari ini adalah cerminan pemimpin-pemimpin Indonesia lusa.
Kultur yang konsumtif ini akhirnya disempurnakan dengan kultur keterjajahan kita. Hampir setengah milenium kita dijajah. Dan hari ini pun sejatinya kita masih dijajah. Panjangnya masa keterjajahan ini menjadikan mental kita menjadi mental budak. Dan saat akhirnya kita maju sebagai pemimpin, mental-mental ini masih mendarahdaging.
Kita kaget. Kita tak siap untuk memimpin. Maka, dengan mental yang ada, akan semakin mengukuhkan kultur penjajahan. Mengukuhkan sekat antara raja dan budak, antara kaum borjuis-kapital baru dan kaum proletar abadi.
Derita penjajahan juga lah yang mendidik kita untuk menjadi budak selamanya. Dan kita tidak pernah dididik untuk menjadi “orang kaya” (dalam takaran materi). Kita tidak siap saat takdir Tuhan menggariskan kita untuk menjadi kaya, baik kaya by process atau secara tiba-tiba. Kita dalam waktu yang sangat panjang dipaksa miskin. Dan kita miskin bukan karena pilihan hidup tapi keterpaksaan hidup.
Kita tidak pernah dididik untuk menjadi zuhud atau hidup sederhana. Karena, zuhud adalah pilihan hidup. Memilih untuk hidup sederhana lagi bersahaja di tengah-tengah kemampuannya untuk bermewah-mewahan. Maka, wajar saat kita kaya, kita lupa bahwa kita pernah miskin. Kita pun lupa bahwa ada mereka yang masih miskin.
Jadi, wajar kan anggota dewan terhormat kita hidup bermewah-mewah dengan kursi puluhan juta dan toilet milyaran rupiah harganya. Sementara rakyat masih hidup di kolong-kolong jembatan, di pinggir-pinggri rel kereta, di tengah-tengah kekhwatiran akan digusurpaksanya bedeng mereka oleh Pemda.
Wajar pula anggota dewan kita resah saat gedung mereka miring sekian derajat saat ribuan sekolah di Negeri ini jebol atapnya, runtuh dindingnya dan miskin gurunya. Wajar pula ber-arloji-kan kemewahan. Berjaskan kepongahan ala Fir’an, Hamman, dan Qarun, yang Allah pernah hempaskan di laut dan dibenamkan di bumi.
******
Sebagai penutup celoteh ini, saya ingin kembali mengingatkan tentang sebuah kisah yang layak untuk kita teladani. Ini kisah tentang Sa’ad bin Abi Waqqash dengan Gubernur Madain, Salman Al Farisi. Semoga Allah meridhai mereka berdua. Saat Sa’ad mengunjungi dan menjenguk Salman yang sakit di pembaringan, sesaat sebelum ajal menjemput Salman. Hingga Salman tiba-tiba menangis.
“Apa yang engkau tangiskan duhai Abu Abdillah (panggilan Salman)? Padahal saat Rasulullah wafat, beliau telah ridha padamu?” tanya Sa’ad heran.
“Aku menangis bukan karena takut mati atau mengharap kemewahan dunia”, jawab Salman. “Rasulullah telah menyampaikan suatu pesan kepada kita: “Hendaklah bagian kalian dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorang musafir”. Padahal harta milikku seperti ini banyaknya.”
Sa’ad menceritakan, “Kemudian aku perhatikan, tak ada yang tampak di sekelilingku kecuali satu piring dan satu baskom.” Ah, subhanallah. Duhai Allah, Engkau ajarkan kami makna zuhud pada dirinya, Salman al Farisi.
Dan kisah Salman ini ditutup dengan nasihat Salman kepada Sa’ad. “Wahai Sa’ad, ingatlah Allah ketika kamu menginginkan sesuatu, ketika kamu memberikan keputusan, ketika kamu membagi.”

“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-permliknya mengira bahwa mereka pasti menguasasinya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berfikir.
(QS 10:24)


Wallahu a’lam bish-shawwab.

Gedung JTETI UGM, 09 Maret 2012 17:13

sofietisamashuri.blogspot.com

Komentar

  1. Jadi menurutmu, Pak Anis Matta pake arloji mahal pantes dan dapat dibenarkan gak?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

(Bukan) Aktivis Dakwah Kampus: Maulana, Maulana!

Tarbiyah Bukan PKS

Menuju Persatuan Gerak Gerakan Islam