Sebuah Tanya: Kisah Anak Ayam dan Sepasang Sepatu
Mitos nenek moyang kita ini memang unik: larangan lelaki Jawa menikahi perempuan Sunda, atau sebaliknya, larangan lelaki Sunda menikahi perempuan Jawa. Hasrat Prabu Hayam Wuruk, Raja Majapahit saat itu, untuk menikahi Putri Pajajaran, Dyah Pitaloka, konon menjadi asal muasal mitos ini.
Di Pesanggrahan Bubat, Negeri Majapahit, rombongan Raja Pajajaran, Prabu Linggabuana dan Putri Dyah Pitaloka beserta hulubalang Kerajaan Pajajaran yang telah menyambut lamaran Prabu Hayam Wuruk ini malah menemui hal sebaliknya. Pernikahan besar dua kerajaan Tanah Jawa ini malah dijadikan alat oleh Mahapahit Gadjah Mada untuk menekan Pajajaran agar tunduk Majapahit dengan Putri Dyah Pitaloka sebagai “tanda takluk”nya. Jelas, sebagai ksatria, Prabu Linggabuana tegas menolak. Maka terjadi lah pertempuran tak seimbang antara Majapahit dan Pajajaran yang kita kenal hingga kini sebagai perang bubat. Akibatnya, terbunuh lah Prabu Linggabuana dan Putri Dyah Pitaloka hingga muncul sumpah serapah, larangan pernikahan Jawa-Sunda.
Tapi, usut punya usut, yang menyebabkan perang bubat ini bukan lah karena motif dan intrik politik Sang Mahapatih, namun karena ricuhnya pergelaran tradisi pernikahan saat itu: adu tebak-tebakan. Ya, adu tebak-tebak saat itu seperti adu pantun dalam tradisi pernikahan Betawi kini. Prosesi ini menuju klimaksnya saat keduanya saling melontarkan pertanyaan yang tak terjawab.
Dari pihak Pajajaran melontarkan pertanyaan klasik: “Mana yang lebih dahulu ada, ayam atau telur?”. “Anak ayam pasti keluar dari telur dan telur pasti keluar dari ayam”, bingung Majapahit menjawab. Menyerah lah mereka. Namun, Majapahit tak patah arang. Dibalas lah dengan satu tebakan mematikan: “Sebenarnya, sepatu itu melindungi atau melukai?”. “Sepatu menjanjikan perlindungan kaki. Tapi, jika melindungi, mengapa sepatu butuh kaos kaki agar sepatu tak melukai kaki?”
Tak mampu berbicara Pajajaran. Hanya riuh yang ada. Dan, seperti akhir kisah berbagai konser dangdut di Negeri ini, riuh berubah jadi ricuh. Maka, ricuh berulah hingga menjadi perang. Memang seperti itu, perang besar sering bermula dari hal sepele. Seperti 40 tahun lamanya perang Dahis dan Gambra, hanya bermula karena kecurangan dalam suatu pacuan kuda.
Rasa-rasanya memang seperti itu. Banyak kerusakan besar di dunia ini bermula dari (hanya) sebuah hal kecil. Termasuk bermula dari sebuah pertanyaan yang tak perlu dipertanyakan. Maka, perang bubat adalah buktinya.
Ah, ada-ada saja.
*********
Berbicara tentang Islam, maka kita tidak berbicara tentang logika manusia. Melainkan, kita harus berbicara tentang logika iman, logika Tuhan.
Ada banyak hal dalam Agama ini yang tidak perlu, bahkan tak boleh dipertanyakan. Bukan karena sebuah larangan mempertanyakan, namun lebih karena kapasitas yang terbatas. Benar, kapasitas manusia itu sangat terbatas. Logika manusia tak akan pernah mampu membuka tabir logika iman, logika Tuhan.
“Seandainya Agama itu semata-mata (hanya) menggunakan logika manusia,” ujar Ali karamallahu wajhah menggambarkan tentang terbatasnya logika manusia, “maka seharusnya yang diusap (saat berwudhu) adalah bagian bawah sepatu ketimbang bagian atasnya."
Atau seperti ucap Ibn Khattab radhiyallahu anhu saat hendak mencium Hajar Aswad, “Sesungguhnya aku tahu bahwa kamu adalah batu yang tidak mendatangkan bahaya dan memberi manfaat, kalaulah bukan karena aku pernah melihat Rosululloh shalallahu alaihi wassalam menciummu niscaya aku tak akan menciummu.”
Maka benar apa yang pernah Rasul shalallahu alaihi wassalam sabdakan, “Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah dan jangan sekali-sekali engkau berfikir tentang dzat Allah.” Karena memang seperti itu adanya. Sering, ujung dari sebuah pertanyaan yang tak perlu dipertanyakan adalah kerusakan besar.
Dan, berbicara tentang pertanyaan yang tak perlu dipertanyakan dalam Agama ini adalah mempertanyakan segala keputusan Allah subhanahu wa ta’ala. Mempertanyakan tiap takdir Allah yang kadang tak sesuai asa manusia.
Hari ini, banyak manusia mengeluh. Merasa dunia ini tak adil. Mempersangkakan takdir dengan prasangka negatif. Dan bahkan menyalahkan takdir, menyalahkan Tuhan. Seolah-olah, Tuhan adalah terdakwa atas semua ketetapan yang Dia buat dan manusia adalah korbannya. Dalam benak manusia macam ini, takdir Tuhan terasa sangat kejam. Na’udzubillahi min dzalik.
Kita tak pernah tahu takdir Allah itu akan seperti apa. Dan, memang tugas kita bukanlah untuk mencari tahu takdir Allah itu. Karena memang bertanya atau bahkan mempertanyakan takdir Allah adalah hal yang sia-sia.
Maka, cukuplah tugas manusia, seperti nasihat Ibnu Atha’illah dalam kitabnya Al Hikmah, adalah “Janganlah do'a yang lama dikabulkan padahal engkau telah meminta dengan sungguh-sungguh menjadikan engkau putus asa, karena Allah subhanahu wa ta'ala pasti akan mengabulkan do'amu sesuai dengan kehendak-Nya bukan sesuai dengan keinginanmu dan pada waktu yang Dia kehendaki bukan pada waktu yang engkau inginkan”
Dahulu, kita diajari tentang dua tugas manusia: berdoa dan berikhtiar. “Berdoa tanpa berikhtiar adalah bohong, berikhtiar tanpa berdoa adalah sombong”, begitu yang diajarkan. Ikhtiar adalah senjata sementara doa adalah perisainya. Dan tawakkal, adalah penutup keduanya.
Kini, kita harus mengupayakan satu hal lagi agar itu menjadi sempurna: berbaik sangka pada Allah subhanahu wa ta’ala. Karena boleh jadi, asa kita belum Allah tautkan dengan takdirNya. Maka sebaik-baiknya perkataan adalah “Aku tidak tahu ini musibah atau anugrah, yang aku tahu hanyalah berbaik sangka terhadap Allah ta’ala.”
Gd JTETI UGM & Wisma Shalahuddin
27 Juni 2011, 22:56
sofietisa.co.cc
Komentar
Posting Komentar