Being a Dad

Being a dad?

It's a 'nano-nano' feeling. Seperti rollercoaster, kehidupan ini tak pernah ada dalam sejarah yang hanya datar-datar saja. Hidup itu penuh lika liku. Naik Turun. Berhenti, merangkak, berlari.

Siapa yang sangka,
Saya akhirnya laku (juga). Menikah, lalu punya anak (-anak). Menjadi seorang ayah.

Saya makin meyakini hidup ini adalah lompatan dari satu ujian ke ujian lain. Dan diantara semua ujian yang kita lewati, selalu ada hikmah yang teramat indah untuk kita untai.

Menjadi ayah itu berat, kawan.
Sejak sebelum resmi menjadi ayah pun ujiannya berat. Bagaimana kondisi kehamilan yang antitesa dari kehamilan "kebo", berat calon bayi yang dibawah normal, hingga drama yang mengharuskan menyewa 2 tepat tinggal.

 Hari pertama ia dilahirkan, drama pun lebih hebat. I have never handled a "fresh from oven" baby. Ia kehausan sangat dan menjerit tangis semalam suntuk. Saat tak ada susu yag dapat ia minum dan ibu yang sudah tak berdaya dikasur tak terlelap 2 malam non stop menahan kontraksi. Ayah dadakan ini kuat tidak kuat, bisa tidak bisa, harus menenangkannya.

Lalu bagaimana ia saat tak mau makan at all. Memberantaki semua yang mampu diraih. Dan melakukan sesuatu yang diluar kelaziman yang membuat ayahnya hanya 'gedhek-gedhek'.

Tapi setelah itu adalah kebahagiaan. Anak lahir dengan lancar dan mudah, serta bertumbuh kembang dengan baik. Melihatnya mampu makan sendiri. Asyik masyuk membaca bukunya. Dan menjadi anak yang dewasa melampaui usia fisiknya.

What doesn't kill you makes you stronger

Mungkin, itulah hikmahnya betapa sulitnya menjadi ayah.
Ada buncahan bahagia saat lelahnya kita terbayarkan dengan anugrah anak itu sendiri dan tumbuh kembangnya. Kita ditempa Allah dengan beban beratnya ujian, agar kita menjadi ayah yang bukan hanya ayah berstatus ATM bagi anak dan istrinya. Beratnya ujian, membuat kita kokoh tegap dan tegar menghadapi semua hal yang akan menjadikan kita a super dad.

Itulah mengapa doa kita adalah Rabbana hablana min azwajina wa dzurriyyatina qurrata a'yun. Senyum anak dan istri, wajah bahagia mereka, tumbuh kembangnya mereka, prestasi mereka, dan ketakwaan mereka yang menggugurkan lelah kita menapaki jalan ke-ayah-an ini. Indah dipandang mata, itulah karunia yang teramat besar bagi keluarga setelah takwa.  Luluh lah lelah kita menjemput nafkah dengan senyum mereka sebakda pulangnya kita ke rumah. Ya meskpiun kalau pas tidur sih masih tetep pules ngorok kebo ya.


Jakarta, 23 Agustus 2017
Sofiet Isa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

(Bukan) Aktivis Dakwah Kampus: Maulana, Maulana!

Tarbiyah Bukan PKS

Menuju Persatuan Gerak Gerakan Islam