Donna.. Donna..!
Jika Anda pernah menyaksikan film ‘Gie’ besutan Riri Riza dan dibintangi Nicholas Saputra, pasti Anda tidak akan lupa dengan salah satu lagu yang menjadi soundtrack film ini. Judulnya ‘Donna Donna’, yang dalam film ini dinyanyikan oleh Sita ‘RSD’ yang memerankan tokoh Ira. ‘Donna Donna’ merupakan lagu yang dialihbahasakan dari Ibrani menjadi Inggris dengan aransemen ulang. Dan dalam ‘Gie’, ‘Donna Donna’ juga mengalami aransemen ulang.
‘Donna Donna’ menggambarkan sebuah semangat kebebasan dan perjuangan menuntut kebebasan tersebut. Sangat cocok untuk menggambarkan sosok Soe Hok Gie. Dalam ‘Donna Donna’ dikisahkan seekor anak sapi bersedih, mengeluhkan nasib dan takdir hidupnya. Ia mengeluh, mengapa takdirnya menjadi sapi, membajak sawah dan akhirnya disembelih, tanpa tahu alasannya. Ia iri pada burung, pada angin. Ia iri pada mereka yang terbang bebas di angkasa, tertawa riang sepanjang hari.
Hingga seorang petani menegurnya. “Berhentilah mengeluh!”, kata petani. “Mengapa engkau tidak punya sayap yang dengannya engkau dapat terbang laksana burung yang bangga dan bebas. Carilah harta itu. Carilah kebebasan, seperti seekor anak buruk yang sedang belajar untuk dapat terbang”, begitu ujarnya.
******
Donna Donna, sangat cocok untuk menggambarkan manusia yang pasti mendambakan kebebasan. Hidup seperti burung yang bebas bernyayi, bebas terbang di angkasa luas. Tak terkungkung pada sekat, pada batas.
Ya, hari ini semua ingin bebas dan menuntut kebebasan. Aktivis feminisme menuntut kebebasan dan kesetaraan gender. Rakyat Palestina menuntut kebebasan dan kemerdekaan dari zionis-Israel. Kaum homoseksual dan lesbian menuntut kebebasan berekspresi dan pengakuan legal. Gerakan Islam konservatif menuntut kebebasan menjalankan syariah dan legalisasi hukum Islam. Anak-anak punk dengan ideologi anti kemapanan pun menuntut kebebasan hidup. Dan rakyat jelata Indonesia hari ini masih menuntut kebabasan dari belenggu kemiskinan dan kebodohan.
Akhirnya, definisi dan batasan kebebasan menjadi absurb. Semua punya makna kebebasan masing-masing. Definisinya menjadi berbeda-beda, beragam, dan sangat subyektif, tergantung kapasitas intelektual dan hasrat manusia tersebut.
Tak adil pula jika definisi dan batas kebebasan itu ditentukan dari suara mayoritas. Karena kebebasan tidak bisa diukur pada domain mayoritas dan minoritas. Maka, harus ada definisi dan batasan tunggal. Tapi pertanyaannya, bagaimana merumuskan batasan tunggalnya?
Kembali ke Donna Donna, ada satu bait yang bisa menjadi penengah. Kata petani, “who told you a calf to be?” Ya, pasti ada satu yang berhak memaksa kita untuk melakukan dan menjadi sesuatu menurut kehendaknya. Tapi siapa?
Dalam hierarki kehidupan dunia, manusia menempati urutan bawah. Ya, manusia hanya makhluk. Dan makhluk, pasti diciptakan. Manusia hanya “budak”. Dan budak, tidak boleh protes kepada tuannya.
Lalu, dalam hierarki kehidupan ini, siapa yang berada pada tingkat teratas? Siapa yang berhak menjadi tuan atas budak-budak? Tuhan, jawabnya. Nah, karena Tuhan berada pada tingkat teratas, maka Dia adalah Pencipta segala sesuatu. Karena Dia Pencipta, maka Dia berhak memaksa manusia menurut kehendakNya.
Dalam konteks definisi dan batas kebebasan, Tuhan pasti juga punya definisi dan maknanya. Dan itu bersifat titah. Semua harus tunduk dan patuh. Lalu apa definisi dan batasnya?
Manusia, menurut titah Tuhan, pasti tiap-tiapnya telah diilhami atas jalan kebaikan dan atas jalan keburukan. Fujuuraha wa taqwaaha. Antara pembangkangan dan ketakwaan. Manusia berhak dan bebas memilihnya. Tiada paksaan didalamnya. Dan ini makna kebebasannya.
Tapi, Tuhan masih melanjutkan titah-Nya. Sungguh (!) sangat beruntung orang yang mensucikan dan sungguh (!) sangat merugi orang yang mengotorinya. Ya, beruntung bagi mereka yang mensucikan, yang mengikuti jalan ketakwaan, jalan kebaikan. Dan sungguh merugi bagi mereka yang mengotori, yang mengikuti jalan pembangkangan, jalan keburukan.
Nah, sebagai budak atau hamba Tuhan, manusia memiliki kebebasan berdasar titah tersebut. Apakah akan mengikuti kekebasan dalam definisi Tuhan: memilih jalan kebaikan. Atau akan mengikuti kebebasan yang absurb hingga menabrak batas-batas kebebasan dalam definisi Tuhan: memilih jalan keburukan. Dan akhirnya semua berpulang pada tiap manusia.
Wisma Shalahuddin, 24 April 2012 09:37
sofietisamashuri.blogspot.com
sofietisamashuri.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar