Mengikhtiarkan Keajaiban

“Jika ini adalah ketetapan dari Allah, maka pergilah, karena Allah tak akan pernah menyia-nyiakan hamba-Nya”. Dengan hati yang mantap, Hajar mengakhiri tanya-nya pada Ibrahim alaihis salam. Maka, berlalu lah Ibrahim alaihis salam meninggalkan Hajar dan Ismail kecil di sebuah lembah tandus tak bertuan, Mekkah.

Waktu terus berlalu, sementara perbekalan telah habis dan Ismail kecil terus menangis karena dahaga dan laparnya. Di sebuah lembah tandus seperti Mekkah saat itu, rasa-rasanya mustahil menemukan air serta sumber penghidupan lainnya. Tapi, bagi Hajar, selagi masih ada Allah, maka (sekali lagi), Allah tak akan pernah menyia-nyiakan hamba-Nya.

Pergilah hajar mencari air. Berlari ia, dari bukit Shafa hingga bukit Marwa. Lalu, kembali dari bukit Marwa ke bukit Shafa. Begitu terus ia lakukan, berlari dari Shafa menuju Marwa dan kembali hingga tujuh kali ia lakukan itu tanpa henti. Namun, tak ada yang ia dapatkan. Tidak air, tidak pula makanan.

Berhenti Hajar di titik kepayahannya. Hingga Ismail kecil menghentak-hentakkan kaki mungilnya ke tanah. Zam-Zam! Begitu bangsa Arab menggambarkan bunyi kaki yang dihentak-hentakkan. Maka, cerita selanjutnya adalah keajaiban. Dari tanah yang dihentakkan itu, seketika muncul lah mata air abadi. Hingga kini tiada pernah henti memancarkan airnya. Zam-zam!

*******

Fragmen kisah keluarga Ibrahim ini mengajarkan kita, minimal, satu hal: mengikhtiarkan keajaiban. Ya, karena keajaiban memang tidak akan pernah mungkin datang dengan sendirinya tanpa diikhtiarkan. Maka, dari kisah ini, dapat kita tarik kesimpulan bahwa setidaknya ada empat syarat agar Allah subhanahu wa ta’ala berkenan membukakan pintu keajaiban-Nya.

Pertama, ikhtiar.

Dalam sebuah kesempatan, (alm) KH Rahmat Abdullah mengomentari kisah keluarga Ibrahim ini. Tanya beliau, butuh berapa kali sih untuk memastikan bahwa sepanjang perjalanan antara bukit Shafa dan bukit Marwa itu tak ada air. Logikanya, hanya butuh dua sampai tiga kali untuk memastikan bahwa tidak ada air di sana. Tapi, Hajar melakukannya hingga tujuh kali bolak-balik hingga tak sanggup lagi ia melanjutkannya. Baginya, tujuh kali ini adalah bukti kesungguh-sungguhannya dalam ikhtiar. Dan ia ingin menunjukkan kesungguhan ikhtiarnya itu pada Allah.

Inilah ikhtiar sejati. Mastatha’tum min quwwah, dalam bahasa al Qur’an. Kekuatan yang semaksimal mungkin yang kita miliki.

Seorang Professor di Mesir suatu ketika mencoba menjelaskan makna kalimat mastatha’tum min quwwah kepada para mahasiwanya. Di ajak lah para mahasiswanya ke sebuah lapangan di siang hari Mesir yang terik. Lalu, Professor ini berlari mengitari lapangan. Berlari dan terus berlari, tanpa henti. Hingga akhirnya, Professor jatuh pingsan dalam larinya. Saat telah sadar dari pingsannya, professor mengatakan pada para mahasiswanya: “inilah mastatha’tum min quwwah!”

Mustahil bagi seorang montir memperbaiki sebuah mobil yang rusak tanpa ia menyentuh mobil itu. Bahkan, sesekali ia harus rela kotor sembari memperbaikinya dari kolong mobil yang sempit itu. Begitu pun, mustahil bagi kita mengharapkan datangnya keajaiban tanpa adanya ikhtiar untuk mencapainya. Dan, tak hanya ikhitiar biasa nan ala kadarnya, tapi ikhtiar yang luar biasa, mastatha’tum min quwwah!

Kedua, doa.

Doa itu, senjata kaum muslimin. Benar memang. Bahkan doa, menurut Nabi adalah pangkal dari segala ibadah. Tanpa doa, kita dimurkai Allah. Seperti sebuah istilah yang populer di kalangan kita: doa tanpa ikhtiar adalah bohong; ikhtiar tanpa doa adalah sombong.

Sombong, begitu manusia yang di setiap amalnya tanpa menyertakaan Allah. Manusia itu lemah dan memang sengaja diciptakan Allah begitu lemah. Sebabnya manusia butuh doa, aktualisasi kelemahannya di hadapan Tuhan. Allah lah yang Maha, sementara manusia sejatinya adalah tiada. Dan doa, adalah jembatan penghubung antara ke-Maha-an Allah dan ke-tidakMaha-an manusia.

Sejarah para Nabi dan Rasul adalah sejarah keajaiban doa. Musa diselamatkan dari otoritarianisme Fir’aun dengan doa. Ibrahim diselamatkan dari api Namrudz yang menyala-nyala dengan doa. Nuh, Shalih, Luth diselamatkan dari umatnya yang terlaknat dengan doa. Bahkan, Rasulullah diselamatkan dari derita perang Badar dengan “doa yang mengancam”: “Ya Allah, jika sekumpulan kaum muslimin ini binasa, maka tak kan ada lagi yang menyembah engkau di muka bumi ini”.

Ketiga, tawakkal.

Saat ikhtiar telah terlaksana. Saat doa pun telah terpanjatkan pada-Nya. Maka, tawakkal adalah selanjutnya. Menyerahkan semua hasil atas segala ikhtiar serta doa pada-Nya. Hanya pada-Nya. Biarkan Allah yang menilainya. Ikhlas kan Allah sebagai penentunya.

Serahkan semua pada Allah. Biarkan Allah yang menambal amal-amal yang tak sempurna. Biarkan Allah yang menuliskan akhir dari segala cerita kehidupan, tentang ikhtiar, tentang doa para hamba. “Dan hanya kapada Allah hendaklah kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”. (QS 5: 23)

Seperti jawaban seorang istri ulama yang ditanya setelah suaminya wafat, “Darimana engkau dan anak-anakmu bisa makan sepeninggal suamimu?”, “Semenjak aku mengenal suamiku, aku senantiasa melihatnya makan dan tidak melihatnya sebagai pemberi rezeki. Orang yang bisa makan pasti akan mati, sedang yang memberi rezeki tidak akan mati.” Atau seperti jawaban Hajar, “Allah tak akan pernah menyia-nyiakan hamba-Nya.”

Tawakkal, penyerahan total seorang hamba hanya kepada Allah. Bukan kepada siapa-siapa. Bukan pula kepada amalnya. Seolah-olah segala yang dimiliki sepenuhnya karena usahanya semata. Seperti Qarun, hingga hartanya dibenamkan ke perut bumi karena menyandarkan kepada amalnya semata. Maka, “Jika engkau ingin memiliki keperkasaan yang tiada pernah sirna,” kata Ibnu Athaillah, “Janganlah engkau bersandar pada keperkasaan yang bisa sirna.”

Keempat, berprasangka baik pada Allah.

Kita tidak pernah tahu skenario Allah. Dan memang kita tidak pernah ditugaskan untuk mencari tahu seperti apa skenario Allah itu. Maka, saat ikhtiar dan doa dirasa sempurna, serta tawakkalnya hanya pada-Nya, berbaik sangka lah pada setiap keputusan yang diberikan-Nya.

“Janganlah do'a yang lama dikabulkan padahal engkau telah meminta dengan sungguh-sungguh menjadikan engkau putus asa, karena Allah SWT pasti akan mengabulkan do'amu sesuai dengan kehendak-Nya bukan sesuai dengan keinginanmu dan pada waktu yang Dia kehendaki bukan pada waktu yang engkau inginkan”. Begitu ujar Ibnu Athaillah.

Berbaik sangka kepada Allah, seperti saat kita membaca kisah ini. Apa yang ada dibenak kita, seolah-olah prasangka kita mengatakan Allah tidak adil?

Alkisah, ada dua raja yang telah renta di dua kerajaan yang berbeda. Yang satu shalih lagi adil, yang satu jahat lagi dzhalim. Dan keduanya sama-sama diuji Allah dengan penyakit langka. Segala upaya telah dilakukan, agar raja shalih dan raja jahat dapat segera sembuh. Hingga suatu ketika, berkat usaha para pembantu dan tabib di negerinya, raja jahat ini akhirnya dapat sembuh seperti sedia kala. Sementara nasib sang raja shalih malah berkebalikan. Penyakitnya semakin menjadi-jadi dan diderita dalam jangka waktu yang sangat lama. Tak ada yang sanggup menyembuhkannya hingga tak tertolong lagi nyawanya.

Bagi saya dan Anda, kemungkinan kita akan berprasangka bahwa Allah sangat tidak adil. Begitu pun para malaikat pada kisah ini. Para malaikat mempertanyakan ini kepada Allah, mengapa Dia menyelamatkan raja satu padahal ia begitu jahat, begitu dzhalim pada rakyatnya, sementara Dia siksa raja yang lain padahal ia begitu shalih lagi adil pada rakyatnya.

Allah menjawab dengan sederhana, bahwa pada suatu ketika raja jahat pernah melakukan kebajikan, maka Dia balas di dunia dengan kesembuhan, agar tak ada lagi yang menghalanginya tuk masuk neraka. Sementara, pada suatu ketika raja shalih pernah melakukan keburukan, maka Dia balas dengan penyakit yang tak tersembuhkan, agar tak ada lagi yang menghalanginya tuk masuk surga.

Begitu lah, kita diajarkan untuk selalu berprasangka baik pada tiap keputusan-Nya terhadap amal, doa, dan tawakkal kita. Apa pun keputusannya. Baik, atau kah buruk. Karena, “Boleh jadi, kamu tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi, kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS 2:216)

*******

Akhirnya, kita kali ini kembali belajar bahwa keajaiban bukan hanya hadiah langit yang diturunkan secara cuma-cuma. Tapi ia butuh ikhtiar dn doa, lalu diakhiri dengan tawakkal serta dibungkus dengan prasangka baik pada-Nya.

Maka, indah nian ungkapan Dr ‘Aid al Qarni dalam bukunya yang fenomenal, La tahzan, dan saya ingin menutup tulisan ini dengannya. “Tidak ada gembok yang tak bisa dibuka. Tidak ada simpul yang tak bisa dilepas. Tidak ada jarak yang jauh yang tidak bisa didekatkan. Dan tidak ada yang hilang yang tidak bisa ditemukan. Dan semua itu ada saatnya.”

Laa tai’asu min rouhillah! Jangan berputus asa dari rahmat Allah. Mari mengikhtiarkan keajaiban.


Wisma Shalahuddin
20 Oktober 2011, 21:19

sofietisa.co.cc

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

(Bukan) Aktivis Dakwah Kampus: Maulana, Maulana!

Tarbiyah Bukan PKS

Menuju Persatuan Gerak Gerakan Islam