Menjemput Kedewasaan
Akhir-akhir ini aku dihadapkan oleh berbagai macam kisah dan cerita kehidupan tentang ini: kedewasaan. berbicara tentang ini, bagiku, kedewasaan tidak selalu terkait dengan tingkat usia atau tingkat kematangan biologis seseorang. Walaupun, kadang proses pendewasaan berawal dari sana.
Kedewasaan bagiku sangat erat hubungannya dengan kebijaksanaan. Sementara kebijaksaan adalah proses yang matang dari sebuah kehidupan. Di sini lah tingkat usia berperan. Namun, bukan tingkat usia fisik sebagai penentunya, melainkan usia pengalaman hidup manusia. Karena memang, usia pengalaman seseorang tak selalu linier dengan usia fisiknya.
Banyak dari manusia yang panjang usia fisiknya, tapi singkat usia pengalamannya. Tak banyak hal yang ia dapat dari tiap fragmen hidupnya. Miskin pengalaman ia. “Apa artinya usia panjang namun tanpa isi, sehingga boleh jadi biografi kita kelak hanya berupa 3 baris kata yang dipahatkan di nisan kita: "Si Fulan lahir tanggal sekian-sekian, wafat tanggal sekian-sekian””, begitu tutur (Alm) KH Rahmat Abdullah dalam Untukmu Kader Dakwah-nya.
Sementara, banyak juga yang pendek usia hidupnya, namun sarat makna. Asy Syahidul Hayy “Sang Syahid yang Hidup”, Hasan Al Banna, hanya 43 tahun saja, namun itu sudah cukup untuk mengguncang dunia dengan pergerekan Islam paling legendaris hingga saat ini, Ikhwanul Muslimin. Atau tentang seorang pemuda, Soe Hok Gie. 27 Tahun, ia tutup sejarah hidupnya di puncak Mahameru sebagai salah satu tokok aktivis mahasiswa paling fenomenal dalam sejarah Republik ini.
Ya, usia pengalaman tak melulu beriningan dengan usia fisik. Pengalaman yang panjang seorang manusia akan membawa ia pada ilmu yang luas lagi dalam. Tapi ilmu hanyalah akan menjadi sebuah knowladge belaka. Karena, ilmu juga harus berwujud sebagai value, nilai kehidupan. Inilah alasan mengapa ilmu pengetahuan dan Islam tak pernah dapat dipisahkan. Kerena, keduanya bermuara pada nilai kehidupan.
Ilmu, saat ia berwujud sebagai value, akan mengantarkan pemiliknya pada hikmah, sesuatu yang jauh tersembunyi dalam sebuah ilmu. Hikmah inilah sebenarnya intisari dari seluruh ilmu yang ada di bumi. Ia adalah harta karun yang terpendam. Maka, tak salah, dalam salah satu hadist (walaupun sanadnya dha’if, namun kandungannya benar), Rasul bertutur tentang hikmah, “Hikmah adalah harta dari seorang mu’min, maka kapan ia mendapatkannya, dialah yang paling berhak memilikinya.”
Hikmah ini spesial. Dan memang hanya dikhususkan untuk mereka yang spesial (saja). Karena di sini lah hikmah itu berperan: membuka tabir-tabir Ilahi tentang kehidupan. Maka, seorang bijak dan dewasa adalah mereka yang telah mencapai maqom ma’rifat ini hingga mampu menyibak rahasia kehidupan.
Dari sini kita belajar bahwa, menggali dan terus menggali nilai-nilai kehidupan adalah satu-satunya jalan menuju kedewasaan. Kedewasaan bukan lah sesuatu yang given. Ia butuh kerja keras, kerja cerdas, dan kerja iman. Karena, kedewasaan (lagi-lagi) adalah proses dalam kawah candradimuka kehidupan dan aktualisasi bersama kapasitas fisik, akal, dan keimanan.
Maka, kedewasaan kita hari ini adalah buah dari upaya menaiki tangga-tangga dunia menuju maqam ma’rifat ini: menyibak tabir Ilahi, membuka rahasia dan nilai kehidupan. Hingga kita benar-benar menjadi seorang bijak, seorang dewasa, yaitu seperti mereka yang, kata Ibnul Khattab, bukan karena mampu memilih yang terbaik diantara kebaikan dan keburukan, namun karena mampu memilih yang terbaik diantara dua keburukan.
Gd JTETI UGM, 2 Juli 2011, 20:11 WIB
sofietisa.co.cc
Komentar
Posting Komentar