Catatan Suami Rindi #1 : Apa yang Harus Dipersiapkan?
Bilangan bulan sudah genap, saya menjadi suami bagi nyonya Setia Hati. Pelanginya rumah tangga menghiasi gubuk kami di 62C-3 Condet Baru, Condet Raya. Oh ya, silakan mampir jika berkenan. Jangan lupa ngetok pintunya pakai kado ya, kwokwok.
Tulisan ini adalah tulisan perdana dari serial "Catatan Suami Rindi" yang rencananya akan terbit selama...selama apa ya... selama saya lagi mood nulis... Kkkk
Pada tulisan perdana ini, saya tidak akan menulis tentang bagaimana kami bertemu dan akhirnya menikah. So last year. Apalagi cerita pengalaman malam pertama yang ternyata harus beberes tenda dan panggung. Perintah mertua. Hhhh
Kembali ke topik. Saya ingin berbagi apa yang kita harus persiapkan sebelum menikah. Kita dalam perspektif laki-laki (dan memang tulisan ini didedikasikan untuk lelaki yang sudah siap menikah atau yang diambang kegalauan). Walau baru 30 hari, ya tak apa lah ya.
Ada 3 dimensi, pertama (dan utama) adalah dimensi ukhrawi. Apa yang harus dipersiapkan? Selain niat, menurut saya adalah bagaimana interaksi kita dengan Allah, melalui al Qur'an. Kitabullah adalah dasar kita. Dan bagaimana kita menjaga interaksi dengannya menjadi dasar bagaimana kita menjaga kehidupan itu sendiri. Makin jauh darinya, makin jauh kita dari Allah, makin jauh pula kita dari barakah-sakinah.
Pun menjadi penting, bagaimana bacaan kita dan bagaimana hafalan kita. Blentat blentot bacaan Quran suami, akan menurunkan level suami dihadapan istri. Apalagi kalau hapalannya sebatas Trio-Qul (Ikhlas, Falaq, Naas). (ng)Imami solat subuh magrib isya masa' iya bacaan itu mulu. *yang ini curcol
Dimensi kedua adalah mental. Menikah itu berarti mengikhlaskan diri menjadi lelaki yang berbeda dari sebelum menikah. Karena setelah menikah, apa yang suami lakukan akan berpengaruh pada istri. Kalau mentalnya tempe, ya silakan hidup di dunia forever alone saja.
Malas. Itu adalah tabiat paling top yang harus dibunuh. Sebagai penyuka (tidur) pagi, kita akan merindukan bermalas-malasan setelah subuhan. Sebagai penyuka steak (baca: stik PS), kita juga akan mengangeni berakhir pekan dengan bermain Master League, seharian. Tapi, mau tidak mau, suka tidak suka, ya dinikmati saja kalau kita harus bekerja lebih giat lagi dan membuat hidup berdua bersama istri menjadi super-produktif. Hingga, pada suatu titik kita merasakan: sudah malas untuk bermalas-malasan.
Dimensi terakhir: duniawi. Ada dua. Yang pertama adalah komunikasi. Bagaimana kita menyiapkan diri untuk lebih "manis" dalam bertutur, lembut dalam bersikap, dan hangat dalam menjaga romantisme. Dan bagaimana membagi peran dalam kehidupan bertangga rumah. Kalau saya sih jelas pembagiannya, istri: masak; suami: ngabisin masakan istri. Jadilah saya, dalam hanya semalam ramadhan, BB naik sekilo.
Lalu, buku apa yang paling mahal yang pernah kamu dapatkan? Kalau saya: buku nikah. Buku sakti ini untuk mendapatkannya bukan hanya menguras keringat, air mata dan perasaan. Namun juga menguras tabungan, sampai receh-receh terakhir. Jadi, inilah poin kedua dari dimensi terakhir: finansial.
Finansial ini menjadi penting untuk disiapkan, saat pra, saat walimah, dan paska. Kalau masih single, lebih baik penghasilan yang kita dapatkan ditabung saja atau diinvestasikan sekalian. Jangan dihambur-hamburkan. Kita harus pandai mengatur finansial. Kapan kita harus makan mewah di resto. Kapan kita memang benar-benar butuh jalan-jalan. Karena, ada banyak percekcokan dimulai (cuma) karena selembar kertas bernama uang.
Tulisan ini adalah tulisan perdana dari serial "Catatan Suami Rindi" yang rencananya akan terbit selama...selama apa ya... selama saya lagi mood nulis... Kkkk
Pada tulisan perdana ini, saya tidak akan menulis tentang bagaimana kami bertemu dan akhirnya menikah. So last year. Apalagi cerita pengalaman malam pertama yang ternyata harus beberes tenda dan panggung. Perintah mertua. Hhhh
Kembali ke topik. Saya ingin berbagi apa yang kita harus persiapkan sebelum menikah. Kita dalam perspektif laki-laki (dan memang tulisan ini didedikasikan untuk lelaki yang sudah siap menikah atau yang diambang kegalauan). Walau baru 30 hari, ya tak apa lah ya.
Ada 3 dimensi, pertama (dan utama) adalah dimensi ukhrawi. Apa yang harus dipersiapkan? Selain niat, menurut saya adalah bagaimana interaksi kita dengan Allah, melalui al Qur'an. Kitabullah adalah dasar kita. Dan bagaimana kita menjaga interaksi dengannya menjadi dasar bagaimana kita menjaga kehidupan itu sendiri. Makin jauh darinya, makin jauh kita dari Allah, makin jauh pula kita dari barakah-sakinah.
Pun menjadi penting, bagaimana bacaan kita dan bagaimana hafalan kita. Blentat blentot bacaan Quran suami, akan menurunkan level suami dihadapan istri. Apalagi kalau hapalannya sebatas Trio-Qul (Ikhlas, Falaq, Naas). (ng)Imami solat subuh magrib isya masa' iya bacaan itu mulu. *yang ini curcol
Dimensi kedua adalah mental. Menikah itu berarti mengikhlaskan diri menjadi lelaki yang berbeda dari sebelum menikah. Karena setelah menikah, apa yang suami lakukan akan berpengaruh pada istri. Kalau mentalnya tempe, ya silakan hidup di dunia forever alone saja.
Malas. Itu adalah tabiat paling top yang harus dibunuh. Sebagai penyuka (tidur) pagi, kita akan merindukan bermalas-malasan setelah subuhan. Sebagai penyuka steak (baca: stik PS), kita juga akan mengangeni berakhir pekan dengan bermain Master League, seharian. Tapi, mau tidak mau, suka tidak suka, ya dinikmati saja kalau kita harus bekerja lebih giat lagi dan membuat hidup berdua bersama istri menjadi super-produktif. Hingga, pada suatu titik kita merasakan: sudah malas untuk bermalas-malasan.
Dimensi terakhir: duniawi. Ada dua. Yang pertama adalah komunikasi. Bagaimana kita menyiapkan diri untuk lebih "manis" dalam bertutur, lembut dalam bersikap, dan hangat dalam menjaga romantisme. Dan bagaimana membagi peran dalam kehidupan bertangga rumah. Kalau saya sih jelas pembagiannya, istri: masak; suami: ngabisin masakan istri. Jadilah saya, dalam hanya semalam ramadhan, BB naik sekilo.
Lalu, buku apa yang paling mahal yang pernah kamu dapatkan? Kalau saya: buku nikah. Buku sakti ini untuk mendapatkannya bukan hanya menguras keringat, air mata dan perasaan. Namun juga menguras tabungan, sampai receh-receh terakhir. Jadi, inilah poin kedua dari dimensi terakhir: finansial.
Finansial ini menjadi penting untuk disiapkan, saat pra, saat walimah, dan paska. Kalau masih single, lebih baik penghasilan yang kita dapatkan ditabung saja atau diinvestasikan sekalian. Jangan dihambur-hamburkan. Kita harus pandai mengatur finansial. Kapan kita harus makan mewah di resto. Kapan kita memang benar-benar butuh jalan-jalan. Karena, ada banyak percekcokan dimulai (cuma) karena selembar kertas bernama uang.
Ditulis pada angka-7 yang sama,
Sepeti pada angka-7 purnama lalu,
Saat aku berjanji menggenapkan hidup bersamanya
-SI-
so sweet, mas sof.. follow blog baru aku ya.. makasih
BalasHapus