Di tangannya yang tak sempurna itu, sebotol minuman keras tergenggam erat. Sementara, di sekelilingnya ada pesta ala anak muda kota Jogja. Berpasang-pasang, menghabiskan malam purnama di remang-remang lampu kota. Bukan, ia bukan seorang penjual miras. Bukan pula seorang pemabuk. Ia hanya seorang da’i jalanan. Da’i keliling, begitu ia biasa mengenalkan diri pada khalayak ramai. Namanya Ahmad Tukiran Maulana. Lahir di Ponjong, satu kawasan di pelosok Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Maulana, begitu ia biasa disapa, terlahir dengan kondisi fisik (dalam pandangan manusia) tak sempurna. Dengan kondisi fisiknya ini, ia lahir bukan untuk menjadi manusia yang mengeluh sembari meratapi nasib. Ia lahir dengan amal-amal yang luar biasa. Hari-harinya ia habiskan berdakwah dari satu tempat ke tempat lain. Dari satu masjid ke masjid lain, dari satu pengajian ke pengajian lain. Tak peduli, ia tak pernah memandang afiliasi gerakan dan pemikiran perngajian tersebut. Ia sambangi. Pun,